Oleh; Mukhlis Rahmanto
Hati pertama yang ku dapat adalah lantunan seorang qari
Mengisi dan memecah gemuruh teriakan mereka kaki
Menuju mihrab
Menuju sebelahnya dengan putaran suhbah hadiah
Menuju gang-gang bercinderamata khas
Hingga tiba riak jatuh selembar seratus piesters
Harga pas untuk satu ujung
barisan lantunan ayat
Huseinku, tangisku
Aku kira mengenang adalah jalan pemberian sejarah
Helai rambut, tempat celak, secarik kain jubah
Pegang pula itu pedang keberanian Baginda
Dekap pula itu kelambu putih selimut keabadian sang cicit
Hingga jadi satu kebaikan sejarah adalah mengobar rindu
Pun sejarah menempatkan jiwa di tengah perempatan jalan pilihan
Ketidakjelasan
Lebih kuat sanadnya palsu
Kami berhenti sebentar
Kerumunan orang-orang bule bermatakan tiga;
Mata ujung senjata dan mata serdadu penjaga
Wanita-wanita besar baladina berpakaian hitam meratap dewasa;
Jalan hidup yang tidak bisa ditakwilkan
Anak-anak meneriaki balon jingga-kuning yang mengudara
Bus-bus mengucur deras denah pariwisata
Patung-patung Firaun mencoba hidup
Merah karkade tak semerah warna pajangan pakaian penari perut
Bangunan istana Mamalik seperti tak mau mengeriput tua
Lalu terekam dan terkenang begitu saja
dalam sebuah kamera
Dua arah pilihan sepanjang Husein dan Khan Khalili
Satu jalan bernama dunia fana
Satu jalan bernama akhirat penuh nikmat
Posting Komentar