.quickedit{ display:none; }
Semalam Dalam Senyap

Oleh; Dina Rosa



Di sebuah Mahathah kawasan Rab’ah al-Adawea

Malam Kairo sebentar lagi menggenapkan gelapnya. Menepis senja yang sudah lama tak kelihatan sejak beberapa jam yang lalu. Mobil-mobil pun mulai sedikit yang lewat di jalan itu. Sementara, seorang gadis berdiri gelisah di mahathah tersebut. Sesekali dia duduk di bangku mahathah. Namun, kesendirian mengenyahkan kenyamanan di hatinya. Teman-temannya yang dari tadi bersamanya satu persatu telah menaiki bis idamannya.

Alicia mondar-mandir, menoleh ke samping dan kebelakang. Lalu matanya melirik jam di hp-nya, pukul sepuluh lewat. Badannya meremang. Rasa takut mulai menyelinapi hatinya. Dia teringat obrolannya dengan Kak Moni beberapa hari yang lalu.

“Udah denger belum isu tentang pembunuh mania di Kairo?”

“Belum. Emang gimana ceritanya?”

“Tuh orang kalo lagi kepengen bunuh orang dia akan bunuh siapa aja yang ditemuinya”

“Yang bener aja!! Di Kairo?”

“Iya. Jadi sekarang mesti hati-hati. Jangan sering pulang sendirian. Dan jangan pulang kemaleman. Pokoknya wasapada saja, jangan terlalu percaya dengan orang yang tak dikenal”

Alicia sempat bergidik. Membayangkan seperti apa orang tersebut. Ada ya orang seperti itu?

“Kenapa gak ditangkap aja?”

“Katanya sekarang lagi dicari”

Ya Allah, jangan sampe ketemu ama tuh psikopat. Aku tuh anak Ayah dan Ibu satu-satunya. Jangan sampe mati sia-sia. Tapi gimana kalo malam ini aku ketemu ama orang gila itu? Aku tak ada alat untuk melindungi diri. Ah, semoga aja penyakitnya gak kumat. Eh, kalo lagi kumat. Ya, lari dong. Ih, salah sendiri gak mau diajak Laras nginep di rumahnya tadi. Tahu rasa, lo.

Alicia meredam bisikan-bisikan aneh hatinya dengan istighfar. Dia terus berdoa dan berdoa. Mobil-mobil yang lalu lalang semakin sedikit.

“Masa sih gak ada mobil sampe sekarang?” Alicia menghentakkan kakinya yang letih. Dia pun duduk lagi.

Sebuah mobil sedan metalik berjalan lamban lalu mundur dan berhenti pas di depan Alicia. Pengemudinya menurunkan kaca mobilnya dan mengatakan sesuatu yang tidak ia pahami. Alicia termasuk orang baru di negri ini. Jadi kosa kata ‘amiyahnya belum memadai. Terkadang ia lama mikir untuk memahami percakapan orang Mesir. Alicia mendekati mobil tersebut.

“Eih?” tanya Alicia meminta laki-laki yang memakai kacamata itu mengulang kata-katanya. Laki-laki itu mengulanginya di tambah dengan isyarat tangan. Seolah-olah dia berkata, masuk saja dan aku akan memberi kamu uang.

Wajah Alicia langsung pias, badannya gemetaran. Ia menggelengkan kepalanya dan lari. Yah, lebih baik lari dan terus berlari. Airmatanya secara perlahan keluar dari matanya.

Setelah agak jauh Alicia menoleh ke belakang. Mobil tersebut tak ada lagi. Ia menarik nafas lega. Dan berjalan pelan. Letih juga rasanya. Aliran nafasnya naik turun. Sebentar lagi simpang Masjid Nuril Khitob, semoga aja di simpang itu bis yang ia tunggu ada. Ketika tiba di mahathah samping masjid, dia duduk melepas letihnya.

Di saat ia duduk tenang, lagi-lagi sebuah mobil berhenti di dekatnya. Sebelum pengemudinya menurunkan kaca mobilnya, Alicia bangkit dan mengayunkan langkah dengan cepat. Mobil tersebut mengejarnya. Alicia pun lari.

“Adek…adek… tunggu..”

Alicia menajamkan telinganya. Suara wanita. Gadis itu menghentikan ayunan kakinya lalu menoleh ke belakang. Sepotong wajah berjilbab biru menyembul dari dalam jendela mobil. Wajah khas Indonesia.

“Mau kemana, Dek?”

“Ke Hay Tsamin Mbak”

“Ikut saya aja ya? Jam segini sudah jarang mobil yang lewat”

Alicia tersenyum dan mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil tersebut dengan hati yang mulai merasa nyaman. Di samping Mbak itu seorang laki-laki yang mengemudikan mobil. Pasti suaminya, tebak Alicia.

“Anak baru ya?”

“Iya, Mbak”

“siapa namanya?”

“Alicia, Mbak”

“Oh, kalo saya panggil saja Mbak Setyo. Ini Mas Agus, suami saya”

Mereka pun ngobrol panjang lebar di sepanjang pejalanan. Alcia tidak merasa rikuh, mereka sangat ramah. Dalam hati Alicia bersyukur bisa bertemu beliau malam ini.

“Imarahnya yang mana, Lis?” tanya Mas Agus.

“Yang itu, Ustadz” Alicia menunjukkan tempat di mana imarahnya berdiri. Perlahan mobil berhenti di depan imarahnya. Alicia turun dengan perasaan lega.

“Lain kali, usahain jangan pulang terlalu malam ya?” pesan Mbak Setyo sebelum menutup kaca mobilnya dan beranjak pergi.

Alcia nyengir.

“Insyaallah, Mbak”

* * *

Alicia tersenyum lucu mengingat kejadian barusan. Dia menaiki tangga dengan bernyanyi kecil. Malam ini rumah sepi. Teman-teman serumahnya menginap di rumah Mbak Sally yang semalam melahirkan. Kalau di rumah, dia tidak terlalu takut untuk sendirian. Sesampai di depan pintu rumahnya ia mengambil kunci di sakunya. Tapi…

“Loh, kok kuncinya gak bisa masuk” Alicia mencoba beberapa kali. Tetap saja seperti semula. Sia-sia.

Tapi ini kan kunci yang sering di pakai Mbak Moni. Alicia mengingat-ngingat lagi. Ia tetap merasa yakin. Dengan tergesa dia menuruni tangga imarah. Tujuannya adalah Box Minatel di depan imarah. Ia harus menghubungi Kak Moni di rumah Mbak Sally. Saat ini juga. Siapa sih yang rela menunggu di depan pintu rumah semalaman.

“Aduh, Lis, ma’alisy banget. Gantungan kuncinya udah Kakak ganti. Itu kunci lemari kakak. Ya udah, sekarang kamu ke sini aja. Nggak jauh kok”

Pertahanan Alicia pun jebol. Dia menangis sekuat-kuatnya. *

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget