.quickedit{ display:none; }
Nyawa Kedua Nabila

Oleh; Pahdina Daniyati



Aku masih punya kaki. Tentu saja aku lebih baik dari padamu gadis sialan. Diam-diam kalimat itu menelusupi benakku. Astaghfirullah. Kuhampiri cermin besar yang ada di kamar sempitku. Cermin tersebut dengan jujur mengakui bahwa kakiku cukup indah dan bahkan lebih baik daripada kaki gadis sialan itu yang bahkan berdiri pun tidak mampu.


"Akhhh..." teriakku mencoba melepas penat dan bosan yang menyelimutiku. Selendang yang tadinya meliliti kepalaku kulemparkan ke cermin.


Suhu darahku mencapai puncak derajat tertinggi. Aku benar-benar marah pada Nabila. Masalahnya sangat sepele, tapi karena kekesalanku padanya memang benar-benar bertumpuk dan baru hari ini tertumpahkan.

Tadi ketika menunggu jemputan Madam Nagla', aku bertemu 'Abdu, teman lamaku ketika masih duduk di Tsanawi. Sudah lama kami tidak bertemu. Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi ngobrol dengannya, namun Nabila terus saja memanggilku.


Melihat Nabila yang sepertinya tidak suka dengan kehadiran 'Abdu, tentu saja 'Abdu merasa tidak enak dengan kami dan mohon pamit untuk pulang. Aku meradang.

“Enti taf'al kedza leeh?"

Asma', isma'iini. Tidak baik berbincang-bincang dengan laki-laki sedekat itu. Sadarkah kamu tadi matanya itu bergentayangan...ah tidak usah dibahas lagi"

Hhh!!! Omong kosong apa lagi itu? Tadi aku melihat 'Abdu biasa saja.

"Tapi apa yang kamu lakukan tadi sudah membuatnya tersinggung, Nabila!!!" aku menekankan kata 'tersinggung' dalam kalimatku.

"Atau kamu iri ya melihat aku berbincang-bincang dengannya? Karena kamu tidak bisa melakukannya kan? Mana ada orang yang mau denganmu" ‌cecarku. Wajahku menghangat, aku benar-benar sudah muak. Bukan sekali ini Nabila mencampuri urusanku, sudah sering dan aku mencoba bersabar.

Astaghfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu"

Wajahnya terlihat memelas. Aku lalu meninggalkannya yang kini memanggilku.

"Asma' ...Asma'"

Kenapa masih memanggilku? Tidak ada yang akan menuntun ya? Sebentar lagi juga Madam Nagla' menjemputmu. Aku pun terus berlalu dan menjauh dengan hati kesal.


###


Bis ini benar-benar sesak, semua orang berjejalan. Banyak mahasiswa asing dalam bis ini yang mayoritas dari mereka bermukim di Nasr City. Mereka terlihat akrab ngobrol bersama teman-temannya tanap meperdulikan orang sekeliling mereka. Akrab sekali. Aku sendiri berdiri di dekat mereka. Kakiku terasa pegal. Aku menyesal menaiki bis ini. Mungkin karena sudah lama aku tidak naik bis ke kuliah semenjak aku menemani Nabila. Yah...aku selalu ikut mobil ibunya bila kami pergi ke kuliah.

Namun untuk hari ini aku tidak ingin menemani Nabila juga tidak ingin bertemu dengannya.

"Kuliah banat... kuliah banat". Teriakkan sopir bis membangunkan aku dari lamunanku. Aku tersentak. Sudah sampai. Dengan bergegas aku menuruni bis menyebalkan ini.

Ketika menjejak tanah sebuah kaleng kosong menyambutku. Kutendang benda itu sebagai pelampiasan kerisauanku yang tidak juga hilang. Lalu kembali mengayunkan langkah yang tertunda.

Langkah kakiku mendadak kuurungkan ketika kulihat sebuah sedan merah berhenti di depan gerbang kuliah. Aku mengenalinya. Aku mundur dan berlindung di balik tiang mahathah Metro depan kuliah. Nabila turun dari mobil itu dibantu ibunya. Ternyata dia masih saja nekat ke kuliah. Tak lama kemudian sang ibu masuk setelah sebelumnya dia mencium pipi anaknya.


Nabila melambaikan tangannya. Kebiasaannya setiapkali mobil itu akan melaju dan menjauh. Jika mobil tersebut tidak lagi kelihatan barulah Nabila menjalankan kursi rodanya.

Entah dia sedang memikirkan apa, dia hampir saja menabrak seseorang namun dengan sigap tangannya memutar kusi rodanya. Malangnya kursi itu berputar ke arah yang salah dan menuruni tanjakan ke arah jalan raya, kursipun terbalik. Nabila terjatuh ke aspal. Sebuah mobil yang sedang melaju berhenti mendadak. Aku tertegun sesaat. Ah, hampir saja. Nabila merangkak mencoba meraih tasnya dengan susah payah. Orang-orang disana langsung turun tangan membantunya menaiki kursi roda.

Dasar ceroboh. Batinku. Rasa iba mengetuk-ngetuk pintu hatiku tapi tetap saja tidak menggerakkanku untuk mendekatinya. Entah setan apa yang sedang menahanku.

Aku bingung apakah aku tetap akan kuliah atau tidak. Kuputuskan untuk tidak saja.


###


Nabila adalah anak bungsu Tuan Ismail yang tinggal di tingkat 3 di imarah yang dijaga ayahku. Sebelumnya dia kuliah di 'Ain Syams, sebuah universitas bergengsi di Kairo yang pastinya tidak terjangkau oleh orang rendahan sepertiku. Kuliahnya terhenti di saat dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan kakinya. Waktu itu dia jatuh dari balkon rumahnya, ketika dia mencoba menggantungkan pot bunga ke ujung langit-langit balkon. Benar-benar sebuah kecerobohan. Bagiku Nabila adalah gadis yang ceroboh.


Hampir setahun dia depresi disebabkan kecelakaan yang menimpanya tersebut. Ketika suatu hari keluarganya dikejutkan dengan permintaannya untuk kuliah lagi. Bukan di 'Ain Syams tapi Azhar. Penampilannya pun berubah. Sebelumnya Nabila menolak memakai jilbab, dengan alasan jilbab sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Baginya bukan saatnya lagi wanita terkungkung oleh tradisi agama. Wanita muslimah zaman sekarang harus bisa mengalahkan orang-orang barat. Hingga semuanya berubah total. Nabila yang dulu telah mati bersamaan dengan kematian kakinya. Rencana Tuhan memang tak terbaca.


Ibunya pun memanggilku. Saat itu aku memang baru menyelesaikan bangku Tsanawiy. Dia memintaku untuk menemaninya kuliah dan dia akan memberiku uang. Untuk hal ini Nabila tidak tahu apa-apa. Tentu saja aku mau. Dengan hanya menemani Nabila aku bisa mendapatkan uang, yang tentu saja akan kuperlukan pada saat aku kuliah. Karena gaji ayahku yang hanya seorang bawwab tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhanku yang semakin hari semakin bertambah.


###


Ayah sakit. Tangga-tangga imarah ini belum dibersihkan. Ibu menyuruhku dan ke dua adikku untuk menggantikan ayah membersihkannya. Dengan enggan aku melaksanakannya. Semuanya kukerjakan dengan cepat. Setelah selesai aku mencuci mobil para penghuni imarah kami.


Asma'...Asma' ta'aliy" itu suara Nabila, aku melihat dia melambaikan tangannya ke arahku dari balkon rumahnya. Ah... ternyata dia dari tadi memperhatikanku. Nabila tersenyum ramah, sepertinya dia tidak marah dengan kejadian kemarin sewaktu aku meninggalkannya sendirian di depan kuliah. Kuakui dia cantik sekali hari ini. Tentu saja, karena dia pasti dengan rajin merawat tubuhnya dengan alat-alat kosmetik mahal.


Yalla, ta'ali, wahesytini awiy" teriaknya lagi.

Aiwa, istanniy aku selesaikan pekerjaanku dulu", balasku berteriak. Dari arah dalam Madam Nagla' muncul dan memanggilku.

“Oh iya Asma', sebelum naik tolong belikan pesananku ya?"

Dia menurunkan sebuah keranjang dari balkon rumahnya. Setengah berlari aku menyambutnya. Di dalamnya terdapat uang 50 pound dan secarik ketas berisi catatan pesanannya.


###


Nabila menyambutku dengan sumringah ketika aku memasuki rumahnya. Madam Nagla' meraih kantong belanjaan yang ia pesan.

“Maaf kami tidak bisa menjengukmu, aku sangat sibuk di rumah sakitأ

“Menjengukku?" mataku beralih menatap Nabila heran. Dia mengedipkan matanya.

Yalla ya mama masakan mama di dapur menunggu" kata Nabila memperingatkan tapi bagiku itu hanya untuk mengalihkan perhatian Madam Nagla'.

Ma'alisy" aku bilang pada mama bahwa kamu sakit beberapa hari ini"‌jelasnya. Lalu dia menarik tanganku.

“Ayo ke kamar, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu"

Aku mendorong kursi rodanya memasuki kamarnya. Seketika penciumanku menangkap keharuman dan suasana yang indah ketika memasukinya. Kamar Nabila berwarna biru, warna kesukaannya. Kamar yang apik dan rapi. Karpetnya juga empuk. Dilengkapi satu dipan dengan sprei biru berbunga-bunga kuning dan lemari pakaian berukuran sedang dengan motif ukiran bunga. Di samping lemari ada meja belajar dengan seperangkat komputer di atasnya. Komputer itu aku sering aku gunakan menjelajah dunia maya. Nabila tidak keberatan dengan kebiasaanku tersebut. Di dinding dekat pintu masuk ada poster berbingkai. Satu-satunya gambar yang menghiasi kamar ini. Gambar seorang tua dengan janggut putih memenuhi wajahnya dan di atas kepalanya sehelai kain putih menutupi. Aku mengenalnya sebagai seorang pejuang hamas yang meninggal karena dibom oleh Israel beberapa waktu yang lalu.


Aku duduk di atas kasur, sedang Nabila keluar kamar. Mengambil minuman, katanya.

Mataku masih tetap terpaku dengan gambar itu. Aku sudah sering keluar masuk kamar ini, tapi gambar ini tetap saja menarik perhatian. Aku hanya heran saja jika gambar sebesar ini tergantung di kamar seorang gadis. Biasanya seorang gadis memasang sebuah lukisan atau foto dirinya di kamarnya.

“Sedang apa?" tegur Nabila yang masuk tanpa aku menyadari. Dia meletakkan sebotol 'ashir di sampingku. Aku mengangkat pundakku.

“Tidak ada...hanya... gambar itu, awet sekali berada di tempatnya" aku memutar telunjukku mengarah ke gambar tersebut.

“Oh gambar itu ya, sepertinya sudah sangat kotor"

Tangannya mencoba meraihnya. Melihatnya seperti kesusahan, aku membantu mengambilnya. Dia membuka laci bawah meja dekat dipannya, dan mengeluarkan secarik kain lap dari sana. Tangannya pun mulai berkerja.

“Apa kau tidak ingin menggantinya dengan gambar yang lain?"

Kepalanya beralih ke arahku. Dia berpikir sesaat lalu menggelengkan kepalanya.

“Kurasa tidak.."آ‌ujarnya pelan.

“Kenapa?"

“Gambar ini memberi aku sebuah motivasi dalam menjalani hari-hari. Perjuangannya dalam mengarungi hidup benar-benar menggugah hatiku. Aku telah jatuh cinta dengan semangat dan pengorbanannya"

Aku mengernyitkan dahiku mencoba memahami perkataannya.

أBeberapa bulan yang lalu aku membaca riwayat hidupnya di Internet. Saat itu aku masih depresi karena kecelakaan yang merampas ke dua kakiku" Nabila menghentikan kalimatnya sejenak dan melanjutkan.

"Setelah aku membaca riwayatnya. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibanding dia. Dia lumpuh semua anggota badan sedang aku hanya tidak bisa mempergunakan kakiku. Aku masih punya tangan dan masih bisa melakukan apa-apa. Dia dengan kelumpuhan di hampir semua anggota badannya bisa menjadi figur buat semua orang. Sedang aku? Apa yang telah aku lakukan selama ini? Tidak ada artinya"

"Lalu aku?"

"Aku mendapatkan peluang lebih banyak darinya. Aku ingin mengabdi untuk semua orang. Karena itu aku memutuskan untuk kuliah lagi. Sebelumnya aku pesimis dengan niatku. Yah tapi segala sesuatu yang kita putuskan pasti ada resikonya. Dan perjalanan yang kita lalui tidak mungkin selamanya mulus. Dengan azam ini aku mencoba untuk terus maju"

"Eh Asma' ashirnya diminum"

"Oh iya...iya"

Meski begitu, aku juga masih takut akan masa depanku. Terkadang aku tak tahan dengan tatapan iba orang-orang di sekelilingku. Aku benci dengan kaki yang tidak berguna ini. Aku iri denganmu, Asma'. Kau punya anggota tubuh lengkap dan cerdas. Kau punya banyak kesempatan lebih dariku untuk beramal. Tapi aku tetap harus bersyukur, karena Allah masih memberiku kesempatan hidup untuk memperbaiki diri. Allah memberiku nyawa ke dua dengan jiwa dan semangat yang berbeda. Ah, jika menengok kebelakang melihat masa laluku, aku benar-benar malu.


Kata-kata Nabila mengalir seperti air dan seketika berhimpun menjadi ombak besar yang menerjangku. Aku memang punya banyak kesempatan beramal daripada Nabila, tapi tersia-siakan. Aku juga mengakui kecerdasan akademisku lebih tinggi dari Nabila, tapi Nabila juga mempunyai "kecerdasan" yang melebihiku. Dia sangat tekun dalam belajarnya. Buku-bukunya juga berjilid-jilid.

“Oh iya aku lupa, kemarin mama membelikan aku beberapa abaya. Kamu mau lihat?"

Tanpa menunggu persetujuanku, Nabila membuka daun pintu lemarinya. Dia mengeluarkan sebuah kantong bermerk nama salah satu mall terkenal di Kairo ini. Isinya abaya-abaya cantik beserta jilbab yang sepadan. Pikiranku menerawang, andai saja aku mampu membelinya.

“Kamu boleh pilih sesukamu?" ‌bisik Nabila.

“Untukku? Benarkah?"

Nabila mengangguk dengan senyum ketulusannya. Ah kau sekali lagi melampaui aku Nabila. Meski tanpa aku katakan aku akui dari dulu aku iri padamu sebagaimana kau iri padaku.♀

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget