.quickedit{ display:none; }
Belaian Padang Pasir

Oleh; Nadia Ulya*


“Menuntut ilmu itu jihad fi sabilillah, Insyaallah teman kita Shofi termasuk dalam golongan para syuhada” Kak Sidiq menjelaskan dengan bijak. Kulihat tetes-tetes bening jatuh penuh haru membentuk danau kecil di pelupuk mata para pelayat saat pemakaman itu. Akupun tak kuasa menahan loncatan air mata yang terus mendesak keluar. Mati syahid, benarkah? Aku tak habis fikir, hatiku kembali bertanya. Shofi mungkin bisa disebut sebagai seorang syahidah. Tapi seandainya yang meninggal itu Aku? Bulu kudukku bergidik.


****

“Darimana Na, jam segini baru pulang?” kulirik jam di dinding ruang tamu, jarumnya menunjukkan pukul 12:10 malam.

“Mmm… habis dari jalan sama Oma mbak” Jawabku asal

“Jangan sering pulang malam nggak bagus, ini demi keselamatan kamu juga, hati-hati dalam bergaul. Mbak Diah Cuma bisa ngingatin, “

“Iya mbak” Jawabku singkat. Uh, sok nasehatin segala kakak kelasku ini, malam-malam Khutbah. Rutukku dalam hati.

****

Hatiku kecut. Enam bulan di Kairo bermacam rasa kucicipi. Antri panjang di kuliah, berdesak-desakan di bis seperti sarden, tumpukan diktat kuliah tebal yang sulit dipahami, dijahili ammu-ammu yang kurang kerjaan. Kecopetan Ha Pe. Semua ini terpaksa kutelan. Ah, ternyata Kairo tak seindah yang kubayangkan, tak senyaman anganku. Akupun tak tahu, bunga-bunga mimpiku dulu kini berlabuh entah kemana. Yang kutahu kecewa itu hanya milik masa lalu…

Enam bulan yang lalu aku meninggalkan tempat kelahiranku, pulau Bangka. Kini kakiku telah menjejak di negeri seribu menara berkabut debu. Bapak rela menjual sepetak tanah warisan miliknya untuk biaya keberangkatanku. Keluargaku memang bukan tergolong keluarga yang mampu, Bapak bekerja sebagai nelayan. Sedangkan Ibu tukang jahit biasa. Berbeda dengan Shofi teman seberangkatku ke Kairo. Bapaknya mempunyai toko kerupuk terkenal di Bangka. Namun sayang, goresan takdir telah memanggilnya terlebih dahulu, usus buntu yang dideritannya merenggut cita dan meranggas masa mudanya.

Aku terhempas, terngiang digendang telingaku pesan bapak ketika itu, tatkala senja mulai menjelang. Mengingatkanku kembali akan memory yang hampir terpisah bagai puzle-puzle yang berserakan.

“Belajar yang baik nak, jangan mikir yang macam-macam. Bapak dan Ibu pengen melihat kamu pulang dengan sukses”

“Ok Pak, Bu. Ina akan berikan kado terbaik buat kalian” Jawabku tegas. Bayangan itu menambah nyeri lubuk hatiku. Titian waktu menorehkan tinta lain. Apa yang telah kulakukan disini, akankah mimpi indahku hadir kembali? Akankah kado yang telah kujanjikan dapat kuhadiahkan kepangkuan Bapak dan Ibu?

****

Padatnya aktivitas di Kairo, telah mengajariku setitik demi setitik arti memilih. Memotret realita, sebenarnya Akupun tidak bisa mengisolasi bahwa mesir adalah tempat yang sangat membosankan. Karena kutahu banyak sisi positif yang dapat kutemukan. Semuanya ada disini. Terbentang luas. “Kebebasan memilih” penggalan kata inilah yang mungkin menjadi alasanku. Hitungan detik inilah yang telah mengajariku beragam warna, Aku telah tergelincir bersama panorama yang ada. Pulang malam, aktif organisasi di mana-mana, chatting, nge-game, menganggap remeh muqarrar yang terlunta-lunta, jalan dan makan bersama Robet pacarku. Ya itulah Aku Nirina anak seorang nelayan yang terpoligami oleh keadaan. Survei mebuktikan, waktuku terus mengalir tanpa terasa yang menyisakan kesia-siaan dan kesenangan sesaat. Kurasakan jiwaku kini begitu tandus. Ruhiku kosong, Aku perlahan terbangun dari mimpi panjangku, Aku lelah dalam keterpurukan ini.

Aku tak yakin seandainya saat ini Allah memanggilku, apakah aku pantas menyandang predikat syahidah sebagai seorang penuntut ilmu, yang memperjuangkan agama-Nya? Semburat fajar seakan tersenyum sinis turut mengejekku.

****

Ah, sebenarnya bibir ini terasa kelu tuk berucap. Bayangan wajah lelah Bapak berlapiskan peluh, lembut belaian jari-jari Ibu yang perlahan mulai keriput membuatku tak sanggup mencipta kata. Berat rasanya, tetapi harus kukatakan.

“Pak, Bu, Ina mo minta izin nikah” Ujarku gugup. Kutangkap keterkejutan Bapak dan Ibu di seberang. Kulanjutkan kata-kata walau berbagai rasa bergelayut di hati.

“Bantu Ina Istikharah, semoga diberikan-Nya yang terbaik”. Kurasakan helai-helai kecewapun tercipta.

Solusi! Ya inilah solusinya. Namun aku sendiri belum bisa meyakininya. Benarkah menikah satu-satunya jalan? Aku kembali dalam bimbang yang melelahkan. Ya Allah hanya siraman rahmat dan petunjuk-Mu yang kuharapkan…

Oh, Adakah mimpiku ini suatu yang realitis atau hanya fantasi? Hanya bayangan pesona indah-Mu yang kini semakin dekat dan menggelitik relung hatiku, menghentakkan langkah-langkah kakiku. Serpihan bingkai cita-citaku kini kembali tertancap di dalam dada. Semoga dapat kusempurnakan kembali pada kesempatan ini…

Di penghujung musim dingin 2007

Kututup buku harian bersampul hijau bermotif kotak-kotak yang mulai pudar dimakan usia itu. Kubaca tulisan yang tertera disampul bagian depan. “Belong to Nirina” Kuambil segelas air putih, kuteguk sampai habis. Nirina sebuah nama yang masih melekat dalam ingatanku, sosok bidadari yang selalu mengisi hari-hariku. Mengiringi langkah dakwahku. Ia sosok isteri yang sholehah, seorang ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan jundi Allah, Nur Habibah buah hati kami. Tak terasa bulir-bulir bening mengalir dipipiku.


Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget