.quickedit{ display:none; }
Hanya Sehari

Oleh; Hafara el Quds*


Di sore yang indah. Pemandangan yang elok. Kanan kiri jalan yang di tumbuhi pepohonan nan rindang. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negara khatulistiwa, negara yang beriklim tropis. kau katakan inilah surga dunia. Katamu juga, aku takkan mendapatinya di negaraku. “Ah itu hanya bualanmu,” sanggahku kala itu. Sebenarnya kau tak tahu apa-apa tentang keindahan negeriku. Kau hanya sebentar saja singgah di negaraku, hanya empat tahun. Waktu yang sebentar bukan. Lagi pula, ketika kau di negaraku, kau hanya berkutat di Qaherah saja. Rumah kontrakanmu pun terletak di daerah kumuh, di distrik sepuluh. Bagi kami, tempat itu tidak layak untuk ditempati oleh manusia berpendidikan. Karena melihat tingginya tingkat kriminal, orang-orang di tempat itu pada tidak beradab, dan tentu saja yang namanya tempat kumuh ya pasti banyak sampah, jalanan yang becek, huh menjijikkan.

Berbeda denganku, aku ditakdirkan menjadi anak orang kaya, selalu berkecukupan. Bahkan, orang tuaku tidak pernah menggelengkan kepala ketika aku minta sesuatu darinya. Ya, walaupun kita tinggal di satu kota, tapi kita tetap berbeda. Karena kau tinggal di daerah kumuh dan aku di daerah yang elit. Itulah yang membuat status kita tetap berbeda. Selain itu, kau orang A’jam. Dan perbedaan kita yang paling mendasar karena kepercayaan kita berbeda. Faktor inilah yang mungkin membuat ayahku sulit untuk menerimamu masuk dalam kehidupanku.

Kuakui, ayahku termasuk orang yang berpegang teguh dengan ajaran nenek moyangnya, tapi dia sebenarnya baik. Buktinya ia bisa memberikan kepada seluruh anak-anaknya kasih sayang yang lebih. Dan itupun kalau masalah kasih sayang. Kalau masalah harta jangan kau tanya. Ayahku sanggup membelikanku Renault Megan yang biasa aku kemudikan sendiri ketika aku berangkat kuliah di Cairo University. Padahal kau tahu sendiri kalau aku bukan anak satu-satunya. Karena adat di negeriku yang sangat mempercayai kata orang bijak “Banyak anak, banyak rejeki”. Aku masih punya empat orang kakak walaupun dua diantara mereka sudah menikah. Sedangkan adikku ada empat juga. Kau tahu adikku yang paling kecil, ya yang masih kelas enam ibtida’i, itu saja sudah di belikan ayahku handphone Nokia 6680. Apa kau masih meragukan taraf ekonomi keluargaku.

*****

Aku masih ingat pertemuan yang tak disengaja itu. Tepat awal Juli saat liburan musim panas tahun lalu. Ketika aku ingin memasang papan nama di nisan mendiang ibuku bersama Pastor Yossef yang terletak di pekuburan Gereja Mary Girgis, di samping reruntuhan Roman Tower. Kau yang masih kelihatan lugu dan tak tahu apa-apa menanyakan perihal makam para kristus domba Allah. Pada waktu itu, Pastor Yossef kelihatan tidak senang denganmu yang menganggu upacara pengantian papan nisan itu. Aku juga tidak tahu alasan apa yang membuat Pastor berbuat seperti itu. Bisa jadi dari caramu berpakaian yang tidak menggambarkan kalau kau seorang Qibti, tapi itu sebenarnya wajar, karena kau orang A’jam. Mungkin juga dengan tidak adanya tatto salib di pergelangan tangan kananmu.

Pastor Yossef tetap diam saat kau tanya, aku tak tega melihatmu diperlakukan seperti itu, lalu naluri kemanusiaanku bangit untuk segera menanggapimu. Kuberikan sebuah senyuman kearahmu, dan kuisyaratkan agar menunggu sebentar, sampai acara ini selesai.

Kau yang kemudian mundur beberapa langkah mencoba mencari hal-hal baru yang sepertinya takkan kau temui selain di tempat ini. Kau tak salah jika ingin mengetahui seluk beluk tentang kaum Nasrani disini. Karena disinilah tempat yang dahulunya kemajuan kerajaan Roma yang mayoritas memeluk agama Nasrani itu maju pesat. Salah satu bukti omonganku, coba kau lihat Gereja Mary Girgis yang masih satu komplek dengan pekuburan ini. Gereja dengan desain Romawi kuno yang megah, yang di dalamnya terdapat foto-foto Pastor dari jaman Roma. Nasehatku, jangan kau tinggalkan ruang bawah tanah gereja karena di sana kau akan melihat ada beberapa buah alat hukuman pada jaman Roma. Di sana juga ada gua persembunyian hampa udara yang aku sendiri tak tahu siapa dulu yang bersembunyi di situ.

Kau pun mencoba mengabadikan semua yang kau lihat dengan kamera bututmu. Mencari objek yang pas.

Upacara itu selesai dan kau tampaknya menagih janjiku. Dengan perlahan kau mendekatiku ketika kau melihat Pastor Yossef berjalan meninggalkanku. Wajahmu menggambarkan rasa ketidaksenangan kepada Pastor Yossef. Aku bisa melihatnya.

Kukira kau seorang turis, yang akan bertanya dengan bahasa Inggris, aku sudah minder karena tak bisa berbicara dengan bahasa asing itu. Karena aku tidak suka dengan apa-apa yang berbau kapitalisme. Walaupun dengan bahasanya. Tapi tebakanku salah, kau ternyata seorang mahasiswa tingkat akhir Universitas al-Azhar.

“Kau pasti seorang muslim?” tanyaku.

Kau gerakkan kepalamu mengangguk.

Sudah kuduga.

*****

“Erlita, astagfirullah,” teriakmu ketika melihatku di pojokan jalan Abbas Saqot. Samar-samar kulihat kau membopongku sambil mencarikan taksi. Aku yang setengah sadar karena pengaruh minuman keras mabuk berat tak kuasa menahan tulang-tulangku untuk berdiri.

Di dalam taksi berwarna hitam putih yang sudah tak layak disebut taksi ini, kulihat wajahmu memamerkan kekhawatiran. Aku tidak sanggup membuka mata seutuhnya, resah. Diatas pahamu, sambil menggeliat kusandarkan kepalaku untuk sedikit mendapatkan kenyamanan. Kau yang sesekali mengipasiku dengan buku tipis yang kau bawa, aku sedikit mendapatkan angin segar.

“Maafkan aku,” kataku lirih.

“Maaf atas apa Erlita?”

“Maafkan aku yang diam-diam mencintaimu. Maafkan aku yang mencari orang lain yang mirip denganmu, lalu aku anggap dia itu kamu. Aku tahu kita tidak mungkin bersama karena kita berbeda kepercayaan. Aku Nasrani dan kau Islam. Kau tidak mungkin berpindah kepercayaan, aku pun begitu. Kalau boleh aku bercerita, sekitar dua bulan yang lalu, aku berkenalan dengan orang yang sangat mirip denganmu, dia berkebangsaan Libanon. Kalian sangat mirip, jika mataku ini ditutup, lalu salah satu dari kalian berbicara, aku pasti tidak tahu suara siapa itu. Aku sudah menganggapnya dia adalah dirimu. Kalian teramat mirip. Aku terlalu bahagia waktu itu. Aku kelepasan. Mahkotaku yang paling berharga telah kuberikan padanya,” aku sesengukan tak kuasa menahan butiran kristal yang meleleh di pipiku.

Kau hanya bisa termangu memahami apa yang baru aku ucapkan. Terpantul dari sinar matamu, aku tahu sebenarnya kamu juga memendam perasaan yang sama terhadapku. Tapi apalah daya, orang mempunyai kepercayaan masing-masing yang tidak bisa digadaikan dengan kebersamaan.

Mobil peugeut 405 yang terbungkus balutan hitam dan putih ini sudah memasuki gerbang rumah sakit Rab’ah el Adawiyah. Aku masih bisa melihat kau berbicara dengan dokter jaga bahwa ada pasien kritis yang butuh pertolongan secepatnya. Aku juga masih melihat kepanikan itu belum hilang dari wajahmu.

*****

Sekarang aku percaya apa yang kau katakan itu adalah sebuah kebenaran. Negerimu memang lebih indah dari negeriku. Dan Jogja memang jauh lebih indah dari Qaherah. Aku tak akan menyangkal lagi. Dan yang paling aku suka dari negerimu adalah kesopanan dalam bertingkah laku yang tidak aku temui di negeriku. Padahal kalau dipikir, negeriku lebih dekat dengan peradaban Islam dan tentunya mengajarkan tentang perilaku orang beradab. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Aku baru sehari memeluk Islam. Dan aku baru mengerti keindahan agamamu di negerimu. Sungguh aneh. Semalam, aku menghafal surat al-Ikhlas. Alhamdulillah, aku sekarang sudah hafal tiga surat. Kata orang yang suka pakai sorban putih dan yang menjadi saksi keIslamanku, aku hafal triple Qul. Ah, ada-ada saja.

Udara subuh yang segar mengirim aroma surga. Pelan-pelan masuk ke hidung, melewati bulu-bulu halus, terus masuk kedalam sampai paru-paru, membuat badan siap untuk menghadap Ilahi. Langit sebagai alas bagi para bintang untuk saling bercanda, terang. Ritual setiap pagi di langgar yang hanya dua rekaat itu cepat diselesaikan para jamaahnya. Tak puas hanya terpejam semalam, aku pun hanyut dalam dekapan selimut.

Seperti suara dentuman bom atom yang jatuh di Herosima dan Nagasaki, suara itu kembali, tepat di bawah bumi tempat kuberpijak. Ranjang tempat kutertidur, bergerak sendiri dengan irama maha dahsyat. Samar kudengar masyarakat pada teriak, panik, tak karuan. Aku sendiri bingung dengan apa yang harus kuperbuat. Untuk mencapai pintu saja, aku harus merangkak. Takut, panik, bingung.

“Gempa..! Gempa..!” teriakan mereka yang kudengar. Aku tidak tahu apa maksud mereka. Aku masih mencoba meraih gagang pintu yang tinggal sedikit lagi kuraih. Dalam hati, aku mengira inilah akhir dunia. Inilah kiamat. “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa semua orang mukmin dan orang muslim yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal,” doa tulusku dalam hati.

Dinding di sekitarku sudah pada retak. Bumi masih bergoyang kuat membuatku lebih susah meraih gagang pintu. Bruak.. Aku mendengar seperti sesuatu runtuh. Aku tak perduli. Yang penting sebentar lagi aku bisa membuka pintu lalu keluar menyelamatkan diri. Harapan tinggal harapan. Kakiku terjepit reruntuhan dinding. Berdarah, sakit, tak bisa bergerak. “Ya Allah, bantu aku,” pekikku. Dalam keadaan tak berdaya seperti ini, aku hanya bisa menyebut namaNYA. Praak.. aku mendengar suara itu lagi. Atap kamarku jatuh, aku mencoba melindungi kepalaku dengan kedua tanganku. Tapi manusia hanya bisa berusaha. Salah satu genteng yang jatuh mengenai tengkukku. Merah pekat darah segar segera meleleh melewati leher. Aku tak tahu, aku pingsan atau mati.

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget