.quickedit{ display:none; }
Pura-Pura Gila

Oleh; Meta Hirata



Tangis pilu seorang lelaki setengah tua suatu senja disebuah gubuk dipinggiran danau ngebel daerah timur kabupaten Ponorogo. Sunyi senyap sore itu tak seorangpun tahu dalam sujud simpuhnya mengalirkan air mata yang memilukan.

Lelaki itu adalah Suroso. Yang akrab dipanggil kang Roso. Su artinya manusia dan Roso artinya kuat, Manusia yang kuat begitulah orang tuanya dulu memberi nama berharap suatu saat anaknya menjadi orang yang kuat menghadapi kerasnya terjangan badai hidup.


Dan sorepun beranjak berganti petang, Selimut keemasan senja berlahan digantikan jubah malam yang pekat. Kang Roso masih saja terdiam termenung ditempat Ia bersimpuh pasrah. Sepertinya sedang meratapi sesuatu. Pangdangannya terarah pada air danau yang tenang berhiaskan suara hewan malam dan kecipuk ikan dikaramba-karamba yang bisu.

..."Andaikan aku adalah engkau..." Katanya dalam hati seolah sedang berbicara pada danau ngbebel yang menemaninya malam ini.

Ia kini sangat kecewa bahwa Ia sadar Ia bukanlah air yang suci itu. Ia merasa dirinya tak lebih dari genangan limbah kotor, Keruh dan seperti selokan yang dipenuhi bermacam sampah plastik, Kotoran manusia dan hewan, Berbagai macam kuman dan penyakit serta onggokan sampah-sampah tak berguna. Pikirannya semrawut kacau tidak keruan.

Sesekali wajahnya menatap langit seolah ingin menumpahkan gejolak jiwanya, Ingin memprotes ketidak adilan hidup yang menimpa dirinya. Ingin rasanya Ia menggugat Tuhan.

..."Dimanakah keadilan? Protesnya pada Tuhan...".

Malam ini bulan sabit temaram memantulkan cahayanya diatas permukaan danau. Seberkas cahayanya menyapu muka kang roso yang sedari tadi masih merenung. Alam sekitar menyaksikan dan menjadi saksi atas segala keluh kesah yang mulai ditumbuhi bibit-bibit pembangkangan yang diklaimnya sebagai pembenaran atas dirinya demi untuk menuntut satu keadilan versinya. Segala isi hatinya berhamburan keluar memprotes segala skenario Tuhan sepuas-puasnya.

Tak lama kemudian, Setelah memanjakan mulut baunya, Ia berlari ditengah hutan rimbun yang ditumbuhi bermacam-macam pohon tua. jubah malam pun sempurna tak mengizinkan secercah cahaya menelusup diantara batang-batangnya yang rimbun.

Namun Ia masih terus saja berlari. Laju langkah terus maju tanpa menubruk sesuatu apapun. Terdengar semakin cepat seolah ada dedemit hutan yang mengejarnya. Instingnya tajam.

Langkah cepat kang Roso berangsur tenggelam larut dalam kesunyian hutan. Alampun membisu dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan keras yang memekakkan telinga.

..."huuu...waaa..." Dengan begitulah mungkin beban beratnya benar-benar musnah atau setidaknya berkurang.

###

"Kang datang-datang kok gak salam. Dari mana saja kang?"

Dengan terburu-buru seorang wanita muda meninggalkan sapu ijuknya dan bergegas menghampiri laki-laki itu. Si lelaki hanya terdiam membisu tanpa sepatah katapun dan bergegas masuk kamar merebahkan tubuhnya yang kusut diatas diapn bambu tua yang reot.

"Kang... kang...?"

"Jangan ganggu aku dulu Sri, Aku ngantuk sekali biarkan aku istirahat sejenak."

Percakapan pun berhenti wanita yang punya nama Sri seolah mengerti maksud suaminya. Dengan sedikit berat hati, Sri lantas berlalu menuju ruang depan ruamhnya untuk melanjutkan bersih-bersih. Melajutkan pekerjaannya kembali dengan masih diliputi dengan tanda tanya, Ada apakah dengan suaminya.

Lelaki yang diakmar itu adalah kang Roso. Seorang lelaki yang telah mengarungi bahtera ruamh tangga dengan Sri. Kini mata kang roso terpejam, Nmaun pikirannya tak dapat Ia istirahatkan barang sejenak. Padahal sejak semalam mata dan pikirannya terjaga. Ia tersiksa lantaran tak bisa tidur juga karena pikirannya buntu, Disamping himpitan ekonomi. Ia gelisah, Pesimis menghadapi hari-hari kedepan.

Bayang-bayang kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit semakin menghantuinya. Paranoid, Takut kalau kemiskinan tak kan bertepi.

Sudah sewajarnya kang Roso pantas dikasihani. Pasalnya dari segi ekonomi Ia sangat kekurangan bahkan mungkin sengsara. Ia hanya seorang buruh keramba yang berpenghasilan tak seberapa. Cobaan demi cobaan datang silih berganti tanpa ampun. Belum selesai satu cobaan datang cobaan lain dengan status dan tingkat yang lebih mengenaskan. Ini sudah barang tentu atas penilaian mahkluk saja. Sementara Tuhan lebih tahu kadar segala sesuatau yang diciptakanNya. Sayang kang Roso adalah tipe lelaki rapuh, Sehingga hakikat hidup telah Ia lupakan dan tidak mengambil hikamah yang terkandung.

Kemiskinan, Kehinaan, Lilitan utang juga semua ujian keduniaan lainnya berubah seketika. Fantastis, Spontan dan instan. Itulah harapan terbesarnya barang kali bisa membayar semau derita yang selama ini menimpanya.

Dalam kesunyian pagi man terus mencari akal untuk merubah garis takdirnya.

Sementara itu semilir angin masuk menelusup lewat jendela kamr dimana kang Roso merebahkan tubuhnya yang galau. Sang angin terus berhembus sepoi mengajak daun daun jendela bermain. Membuka dan menutupnya pelan, Konsisten dan romantis.

Sewaktu jendela tertutup serta merta anginpun hengkang, Kini suasana sunyi senyap seperti di danau ngebel sore itu.

"Jalan pintas? Ya... tapi apa?" Ternyata keremangan tersebut telah dimanfaatkan setan untuk membuat suatu makar."yah dari pada miskin terus".

Jalur pikirannya meluncur negatif. Seperti roda mobil yang lepas dan menggelinding terjun diantara kotoran dan bermuara pada jurang terjal kesesatan. Terlepas tiasa kendali. Pikiran kang Roso benar-benar lepas kendali iman.

Maka terjadialh dialog seru seperti keramaian pasar, Namun hanya hati kang Roso sendiri yang mendengarnya, Ya hanya kang Roso seorang.

"Pesugihan saja?"
"boleh tuh!" tapi aku tidak mau keluargaku jadi tumbal.

"Ngerampok saja gimana?"
"Siapa yang harus kurampok, Aku kurang minat dengan hal begituan terlalu beresiko kalu ketangkap polisi. Lagian bandanku terlalu kurus dan lemah untuk melakukan aksi itu."

"Oh jadi apa yang mesti aku lakukan?"

Beberapa alternatif untuk menjdi kaya mendadak berloncatan dari pikirannya, Tapi begitualh nyalinya menciut kemudian.

Begitulah. Ia memeras otaknya untuk menemukanjalan menjadi kaya mendadak dan segera lepas dari himpitan kesengsaraan yang mengurungnya. Hingga Ia bebas membeli semua yang di inginkan dan memarkan pada orang-orang kaya terutama pak lurah dan juragan-juragan keramba yang selama ini menindasnya tiada ampun. Terus sehingga dan sehingga. Nafsu telah mnguasainya hingga impiannya terlalu muluk. Impiannya hanya digantungkan saja tanpa ada usaha untuk mengupayakannya. Ia memang relatif lama menganggur setelah setelah berhenti jadi buruh tambak tiga bulan yang lalu Ia mencoba mencari pekerjaan dikota, Alih-alih semakin berhasil ternyata ia malah semakin terpuruk setelah ditangkap polisi karena dianggap gelandangan dan dipulangakn kembali kedesanya.

Saat ini ia tengah putus asa, Gawatnya lagi hatinya diambang kekafiran.

Ya, Seajk menganggur tabiatnya berubah drastis. Ia lebih banyak murung, Bawannya uring-uringan, Kusut dan minder bila bertemu orang lain. Barangkali itulah Kang Roso yang sebenernya. Sebab jika orang dalam posisi terpepet maka tabiat aslinya akan muncul.

Sebenarnya Kang Roso pernah mendapt bantuan pinjaman dari pemerintah modal untuk mengelola karamba ikan di danau ngebel seperti warga sekitar temapt tinggalnya. Namun uang itu tak jelas rimbanya, Ia yang tak bisa mengelola uang dan menghasilkannya membuatnya terpuruk dan menyesali jalan hidupnya. Yaitu kenapa masa mudanya dulu acuh terhadap ilmu ketrampilan. Kang Roso lupa bahwa belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.

Mulai saat itulah hidup Kang Roso dan keluarganya tergantung pada mertuanya yang tak jauh dari rumahnya. 2 kilo meter disebelah bukit yang membatasi kecamatn ngebel dan kecamatan sooko. Jarak itu terbialng dekat bagi orang desa yang biasa jalan jauh.

Mertuanya setiap hari berdagang sayur dipasar kecamatan. Dan rumahnya tepat dibelakangnya. Selain strategis untuk peluang usaha disore hari biasanya para pedagang emnurunkan harganya hingga tuju puluh persen, Begitulah hingga kini bisa tetap eksis menghidupi Kang Roso dan keluarganya.

Sebagai lelaki tumpuan keluarga harga diri kang roso hilang dan sifatnya berubah sensitif.

"Kang bangun, Sudah adzan lo!" Lembut suara Sri membangunkan suaminya.

"Ya, Aku juga dengar"

"Bangunlah, Kang, Waktunya shoalt dhuhur lo"

"Ngapain sholat segala, Biarpun sholat tiap hari gak akan bikin aku kaya"

mendengar jawaban suaminya Sri terkejut bukan main.

"Istighfar, Kang, Nyebut?"

"Alah... pokoknya kau sudah gak mau shalat lagi, titik."

Ketegangan mewarnai percakapan itu. Namun mendadak berhenti ketika terdengar ketukan pintu dari luar. Sri berlari menuju pintu melihat siapa yang bertamu, Roman mukanya masih menyisakan kegalauan, Matanya sembab menahan tangis.

"Eh, Yu karti ada apa ya?"

"Begini, Tadi aku dipasar ketemu si mbokmu, Kamu san suamimu disuruh kesan katanay ada masalah penting, Intinya kamu disuruh kesana siang ini juga.

"Wah, Ada apa ya Yu? Kok kayaknya penting sekali"

"La mboh aku ndak tau kalau itu, Yo sudah aku pamit dulu lagi buru-buru aku mau pulang dulu"

Sri begegas menemui suaminya dan melaporkan hal itu. Kendati hatinya masih sakit dengan pernyatan nyeleneh suaminya tapi Ia masih bisa mengontrol emosinya. Ia akan tetap mendesak suaminya untuk menjelaskan kata-katanya barusan. Ia berharap suaminya lagi tidak sadar ketika berkata-kata demikian, Dan akan berubah ketiak perasaannya sudah normal. Namun jika meang suaminya sudah terlanjur begiut adanya Sri berharap bisa meluruskkan iamn suaminya yang sudah bengkok, Suatu hjati nanti tidak sekarang karena Ia tahu suaminya masih marah. didekatinya suaminya yang masih tiduran diatas dipan, Lembut suaranya menjoba membujuk Kang Roso untuk pergi bersam kerumah si mboknya.

"Kamu saja yang datang kesana, Aku malu, Bilang saja sama si mbok kalau aku lagi sakit."

"Tapi kang?"

"Jangan banyak tanya?". Bentak Kang Roso sambil melotot. kalau sudah marah Sri harus menuruti kata-katanya kalau tidak akan menjdai seperti banteng ngamuk, Akibatnya fatal.

###

Begitulah Kang Roso akhir-akhir main bentak, Main perintah seenaknya saja. Tambah hari tambah semakin gak karuan.

"Ya sudah aku keruamh si mbok dulu nanti kalu thole sudah pulang sekolah tolong antar dia kesana, Ya Kang?" Kata Sri sambil melangkah menjauh tidak betah dengan perilaku suaminya.

"Wo jan tenan, Kurang Asem."Naik pitamlah Kang roso.Terlihat istrinya keluar rumah dengan sedikit berlari. lantas Kang Roso terdiam mendengar suaranya kata-katanya sendiri. Tak lam kemudai Ia terkekeh berbinar bola matanya menemukan jawaban sebagai solusi ampuh problem hidupnya.

"Wah akhirnya ketemu juga, Aku pura-pura stres saja biar lepas dari semau problem ekonomi dan hutang-hutangku". Katanya sambil terus cekikikan layaknya orang gila beneran.

Dengan senangnya Kang Roso melepas baju kusutnya, Diaduk-aduknya lemari pakaian tuanya. Rupanya dai masih sibuk mencari piranti yang bisa Ia gunakan untuk aksi pura-pura stresnya. Tak lama kemudian ketemulah asesoris yang dicarinya, Celana kolor totol-totol warna warni milik anak lelakinya yang baru beruamur dua belas tahun.

Dengan senyum gembira Kang Roso mematut dirinya didepan cermin, Celana butut, Baju usang yang biasa dipakainya ketambak dan topi aneh yaitu color warna-warni punya nak lelakinya.

"Alangkah jeniusnya aku", guamnnya sabil mengacak-acak rambutnya.

Kang Roso telah membulatkan tekadnya untuk pura-pura stres. Dan hari ini adalah hari perdananya memulai aksi yang dianggapnya jenius. Ia akan keliling kampung, Menari, Mennyanyi bertingkah polah sesuka hatinya. Semakin banyak yang tau semakin bagus. Pikirnya.

"Jika nanti orang-orang tau, maka aku akan diaksihani, Disantuni dan semua hutang-htuangku akan dianggap lunas. Aku tidak perlu bekerja lagi. Lantas kang roso keluar rumah menjalankan aksinya.

###

Dirumah mbok Asih yaitu mboknya Sri, Terliaht dua orang sedang berbicara serius dengan muak yang sumringah.

"Seratus juta untuk saya mbok? Banyak sekali mbok?" Seru Sri setengah tak percaya.

"Lha wong sawahnya juga laku tinggi sawah kitakan dipinggir jalan raya, Jadi yo segitu bagianmu, Digunakan baik-baik ya? Bagian adikmu masih mbok simpan, Nanti setelah dia pulang dari jakarta lebaran nanti mbok kasih."

Panjang lebar mbok Asih berpesan pada anaknya untuk menggunakan harta warisannya sebaik-baiknya. Dan berdoa semoga harta warisan yang dia beriakn diberi barokah oleh Allah.

Dengan diliputi kegembiraan dan rasa syukur Sri menerim harta warisan itu, Dengan dibungkus kertas koran bekas Ia tampak tergesa-gesa. Simboknya pun tak henti-hnetinya menasehatinya agar hati-hati membawa uang banyak. Akhirnya uang dalam koran diamsukkan keresek hitam oleh Sri.

Bagi Sri tiada hari yang lebih bahagia melebihi hari ini, Hatinya terus memuji dan bersyukur atas kemurahan gusti Allah. Ia kini benar-benar tahu bahwa setealh kesulitan akan datang kemudahan. dan kemudahan setelah kesulitan akan serasa sangant membahagiakan. Ya setaip orang pada hakekatnya kan menemui suratan takdirnya sendiri, seperti roda kehiduapn kan terus berputar, Adakalnya dibawah dalam kesusahan dan ada kalanya juga diatas dalam masa kejayaan. begitualh Sri sekarang sedang diatas menemui kejayaannya.

Usai berbasa-basi akhirnya Sri undur diri. Membawa kegembiraan dihati. Ia berjalan setengah berlari melewati jalan berkerikil yang kurang bersahabat. Kerikil-kerikil tajam acap kali menusuk kaki telanjang Sri, Angin berhembus kencang, Debu-debu berterbangan, Langit semakin gelap pertanda hari mau turun hujan. Ia semakin bergegas. Tak peduli dengan semua itu Ia tetap berlari dengan senyum yang terkulum, Ia berharap lekas sampai rumah secepatnya.

Ditengah perjalanan alangkah terkejutnya Sri melihat sosok lelaki yang sangat dikenalnya, Meskipun tersamar oleh debu namun suara celotehan, Nyanyian serta postur tubuh itu hanya dimiliki oleh suaminya. Lelaki tersebut sedang menari-nari, Berjoged-joged konyol di ikuti arak-arakan anak-anak kecil yang menyorakinya.

"Orang gila... orang gila... Kang Roso gila....Kang Roso gila" riuh suara anak-anak kecil menyoraki Kang Roso.

Sri berdiri mematung dan rak-arakan itu semakin mendekat. Kang Roso yang dari tadi sibuk berjoged tidak sadar kalu istrinya berdiri persis didepannya.

Hilanglah semua kegembiraan Sri, Air matanya mengalir deras, Mendahului huajn yang telah dikabarkan oleh mendung. Lalu pandangan mata mereka beradu, Jogetan Kang Roso dan nyanyian anak-anak itu berhenti. Sejenak Kang Roso terdiam sedangakn anak-anak yang mengikutinya berlari berhamburan. Hanya ada Kang Roso dan Sri yang kini berhadap-hadapan. Kang Roso mencoba menutupi kegugupannya dengan pura-pura tidak mengenal Sri. Ia tetap pura-pura gila.

Mulut Sri menganga. Seakan kakinya tak lagi berpijak pada bumi. Pandangannya mulai gelap, Hatinya kosong namun bergejolak, Tangannya lemas bungkusan uang dalam tas kresek hitampun jatuh ketanah. Terbentur batuan jalan yang runcing, Mulai sobek dan terbuak oleh hembusan angin. untung angin segera berhenti, uang itu hanya tercecer dikaki Kang Roso dan Sri.

Menyaksikan itu mata Kang Roso melotot dan melongo...


Cairo, 03 Okotber 2009
Selengkapnya...

Sepucuk surat maaf dari Ibu

Oleh; Meta Hirata



Hari berlarian dalam rintik hujan yang sore ini mengguyur kota kecil dimana ia tinggal, Basah kuyup tak dihiraukannya. Meliuk-liuk diantara keramaian mahasiswa yang sore ini baru pulang kuliah. Hari semakin petang dan sebentar lagi bedug adzan maghrib akan terkumandang dari masjid-masjid yang bertebaran diseluruh sudut kota.

Kota yang damai penuh wahana iman yang membentuknya menjadi seorang mukmin sejati. Di kanan-kiri jalan yang dilaluinya penuh sesak dengan kendaraan yang saling berpacu untuk mengejar waktu berbuka. Di teras-teras masjid para pemuda menyiapkan buka puasa gratis yang sudah menjadi tradisi dikota itu, tradisi yang sudah turun temurun dari leluhur para wali yang selalu mereka kagumi.

Beberapa menit sebelum adzan berkumandang Hari telah sampai di masjid dimana dia selama ini berteduh dan menumbuhkan benih-benih imannya. Sore ini seperti hari-hari sebelumnya dia akan mengumandangkan adzan sekaligus sebagai relawan yang menyiapkan berbuka puasa. Setelah mandi dan berganti baju seadanya Hari bergegas menyiapkan minum dan makanan yang diantar warga secara suka rela. Walaupun terliahat lelah dia tetap bersemangat melakukan semua mungkin karena dia tau di masjid inilah pertolongan Allah menghampirinya. Beberapa tahun yang lalu.

"Allahu akbar Allahu akbar"...adzan maghrib pun berkuamandang saatnya berbuka puasa.

###

Seorang ibu tua duduk dipojok ruangan yang hanya diterangi temaram lampu duduk yang hampir sama tua dengan usianya. Seolah redupnya cahaya diruangan itu mengungkapkan hati pemiliknya yang suram tak bercahaya.

Dipandanginya foto seorang pemuda disamping jendela tepat di depan dia duduk di kursi goyang yang sudah tua. Pemuda itu adalah anak semata wayangnya. Kini dia sangat kesepian diusianya yang senja dia hanya berteman sepi setelah suami yang menemaninya selama ini meninggal mendadak beberapa tahun yang lalu.

Dari sinilah kesepian hidup mulai membalut seluruh tubuhnya yang renta, rapuh termakan usia dan jiwanya yang selalu kosong.

Lirih terdengar suaranya berkata pada hujan yang turun sore ini. Sambil diamatinya patung salib yang jatuh kelantai menyisakan puing-puing yang berserakan. Akidah yang dianutnya selama ini mulai hancur barantakan menyisakan puing-puing layaknya salib itu. Semua hanya dibiarkannya begitu saja.

"Nak kembalilah, Ibu sudah sadar tentang apa yang ibu anggap dulu kamu lakukan adalah sesat, kini Ibu hanya ingin meminta maafmu untuk yang terakhir kalinya"

"Pulanglah anakku"

###

"Har, Sini bapak mau bicara sama kamu". Seorang bapak separo baya memanggilnya dari teras masjid yang sudah sepi.
"Iya pak" Jawabnya sambil berjalan membawa dua gelas teh hangat sisa buka puasa tadi.
"Har gini lo sekarang sepertinya memang sudah waktunya, kamu sudah lulus kuliah dan sudah bekerja, pastinya 5 tahun merupakan waktu yang lama untuk memulai kembali bagian hidup kamu yang sudah hilang."
"Iya pak haji saya tahu" Jawabnya singkat denagn penuh rasa hormat, tak patut rasanya dia membantah seorang guru sekaligus penolong yang menuntunnya menuju cahaya hidayah Allah.
"Ya sudah bapak pulang dulu, inget pesen bapak ya". Kata bapak itu sambil berlalu pulang kerumahnya disamping masjid.

Hari masih saja merenung diteras masjid hingga larut malam itu, Ditemani rintik hujan yang dari tadi tak kunjung reda hatinya mulai gundah.

"Sudah saatnyakah aku kembali?"

Hatinya masih tampak ragu menimbang semua permasalahan yang setiap menjelang idul fitri selalu menghimpitnya. Dia hanya ingin minta maaf.
Angannya kembali menelusuri jejak masa lalu yang pernah menjadi cerita dalam hidupnya. Beberapa tahun yang lalu sewaktu baru saja menamatkan SMA dia putuskan untuk mengejar panggilan batin yang terus mengusiknya. Perbadaan keyakinan dan keputusan untuk mencari hidayah dalam Islam membuatnya diusir oleh bapaknya, Bukan karena bapaknya seorang pastor namun bapaknya tak kuat menanggung malu karena setelah mendapat beasiswa selama 6 tahun sejak kelas satu smp dari gereja katolik dimana mereka beribadah anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan oleh sang pastur untuk menjadai penggantinya malah berbelok mencari jalan baru dalam hidupnya.

Malam itu hujan turun dengan derasnya, Petir dan halilintar mengelegar menjilat-jilat diluar sana. Suasana semakin mencekam. Tangis sesenggukan seorang ibu yang bagaikan siraman hujan menetes tiada henti dan harus beradu dengan gelegar kemarahn sang ayah yang mirip petir diluar sana, Menyeruak diantara kesunyian malam.

"keluar kamu dari rumah ini, Bapak sudah tidak menganggap kamu anak lagi, keluar!!!"
Saat itu pula dia langkahkan kaki untuk pergi bersama deraian tangis ibu dibawah guyuran hujan yang tiada henti, Pikirannya bergejolak hebat menerima keputusan seorang ayah dengan kemarahan menggelegar bagaikan peitr yang terus saja menyambarkan lidah-lidah cahaya yang meremukkan seluruh kesadarannya. Dia hanya terus berlari hingga panggilan Tuhan memanggil jiwanya singgah menemui hidayah yang dicarinya disebuah masjid dipinggir kota.

Dia sadar dengan sepenuh hati bahwa lebih memilih pergi dari pada bertahan menemani ibunya yang diam-diam ternyata mulai tertatrik dengan apa yang semakin dipercayainya, Dengan berat hati dia tak lagi melihat tetes air mata sang Ibu yang beranak sungai menangisi kepergian buah hati yang paling diharpakannya bisa membawa raga tuanya menuju hidayah yang sesungguhnya.

###

"Ashadu alla Ilaha Ilallah, Wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah"
Dengan dibantu Ustad Ghofur Ibu Elliana mengucapkan kalimat sahadat, setelah bertahun-tahun melalui proses yang sangat melelahkan kini dipenghujung usia senjanya siIbu akhirnya menemukan kembali hidayah yang sesungguhnya. Prosesi yang dipimpin oleh seorang Ustad muda itu berlangsung hikamt dan sederhana disebuah musholla yang baru dibangunnya didaerah terpencil yang masyarakatnya mayoritas kristen. Namun semenjak juragan juwono yang menjadi penopang dana gereja meninggal setelah anakl alki-lakinya pergi dari ruamh dan menjdi muslim otomatis gereja semakin sepi dan tak punya andil lagi dalam desa itu. gereja sudah tak mampu lagi mensubsidi akidah kristen yang mereka tuakr dengan bermacam-macam sembako dan uang. Masyarakat sudah bosan mendengar doktrik-doktrin palsu mereka.

"Ustad, Boleh saya minta bantuannya!" Ibu itu melontarkan sebuah permintaan yang menurut firasatnya adalah mungkin yang terakhir untuknya.
"Iya ibu silahkan saya akan bantu dengan semampu saya" Jawab ustad ghofur dengan raut muka penuh senyum.
"Saya minta tolong sampaikan surat permohonan maaf saya kepada anak laki-laki saya jika suatu saat nanti dia kembali ke desa ini" Nadanya sedikit lemah berharap anaknya mau memaafkan khilaf yang selama ini menjadi beban hidupnya.sambil menyerahkan surat itu dia meneteskan air mata.
"Oh ya Bu, Saya akan tunaikan amanat ibu. Maaf anak ibu namanya siapa dan kalau boleh saya lihat mungkin ibu masih ada fotonya!"
Mendengar jawaban ustad itu wajah si ibu terlihat tersenyum walaupun airmatanya masih menganak sungai menuruni pipinya yang keriput termakan usia senja.
"Hari samudra, Nama anak saya ustad dan ini fotonya sekitar 5 tahun yang lalu sebelum dia diusir bapaknya karena lebih memilih masuk islam. Saya merasa bersalah karena waktu itu saya takut akan ancaman suamai saya jika tetap mengakuinya sebagai anak maka hari dan saya akan dibunuhnya. Akhirnya dengan berat hati saya hanya mampu menangis saat dia pergi dibawah hujan deras bercampur petir yang menggelegar sepanjang malam. Namun tak lama setelah hari pergi suami saya mulai menyesal dan membawa penyesalannya hingga ajal menjemput".

Ustad ghofur termenung sebentar, Sepertinya dia sangat kenal wajah pemuda itu.

"Subhanallah, anak ibu itu sepertinya teman satu kuliah saya. Iya benar namanya adalah Hari Samudra yang biasa saya panggil mas hari kalau gak salah tinggal disebuah masjid dipinggir kota sebagai relawan sekaligus ustad ngaji di masjid itu, Masya Allah benar-benar anugrah Allah Bu."

Dengan penuh rasa syukur si Ustad meberikan secercah harapan untuk si Ibu. Namun Ibu tua itu masih saja terperanjat tak percaya betapa dekat dan betapa besar pertolongan Allah pada hambanya. Air matanya kembali menetes haru.

###


"Hari anakku, Ibu pergi dulu, sudah saatnya kamu pulang. Ibu hanya bisa ngasih ini buat kamu."
Suara dan wujud itu tiba-tiba menghilang dalam kabut putih yang pekat aku berlari mengejarnya tapi entah mengapa semakin jauh dan hilang dari pandanganku. Aku masih terdiam menggenggam surat yang Ibu tinggalkan, aku ingat benar itu adalah wajah Ibuku.
"Iii...bu..uuu" aku berteriak.
"Subhanallah"

Hari terabngun dari mimpinya dengan peluh yang membasahi keningnya. Termenung memikirkan tentang mimpi yang baru dia alami. Kerinduan untuk kembali kepangkuan sangBunda tak lagi tertahankan. Rencana untuk pulang esok pagi dia yakinkan untuk terealisasi setelah bebrapa tahun terakhir selalu gagal karena keraguan yang menyesakkan hatinya. Mungkin mimpi itu juga yang terus menghantuinya beberapa hari ini, Perasaanya pun mulai bergejolak.

###

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laiilaha illahu wallahu akbar...
gema takbir masih terdengar disana-sini, Suasana yang sungguh dirindukannya kini benar-benar nyata ada dikampungnya. Sepujuk surat maaf sekaligus surat terakhir dari Ibunya masih terpegang erat ditangan kanannya.

Dia kini hanya mampu duduk bersimpuh ditanah pekkuburan yang masih merah, Ibunya baru saja meninggal beberapa ahri yang lalu. Tetes air mata sedih dan bahagia bercampur menjadi satu, bahagia karena Ibunya telah menemukan hidayah Islam yang sesungguhnya, sekaligus sedih karena dirinya sudah tak bisa lagi bersimpuh meminta maaf.

Sepucuk surat maaf dari Ibu masih tergenggam ditangannya.


Selengkapnya...

Antara Yogya dan Kairo

Oleh; Mukhlis Rahmanto











Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia

Meski terpisah samudera yang beberapa kilometer
aku tak henti badan untuk bertempur
awal matahari aku telah siap batin dhahir
saatnya mengisi diri agar lebih teratur
mengais mutiara-mutiara ilmu yang sedikit berdebur
mencari warisan keshalehan dibawah peninggalan leluhur
menyibak nafas kenabian yang hampir hilang tersungkur
kudapat, kubawa, kutempel pada satu sudutmu yang coba rapi terukur
meski bayangku kenyataan mengabur

Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia

Dada ini hampir sesak mikul masa depan
terang inginku padamu yang cerah berkemajuan
jiwa ini tak pernah bersepakat di meja perjanjian
jiwa ini tak sekali mengenalmu jauh sedalam lautan
aku hanya keringatmu basah embun
aku hanya darahmu kental merumpun
aku bau tanahmu subur tambun

Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia

Matahari ditimurmu, matahari disini
hari ini cuacamu, jadi hariku disini
sedu sedan sedihmu, sedu sedanku disini
gurau tawa harapmu, rasa plongku disini
maka jangan gundah, aku setia bersamamu disini

Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia

Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Saat Lebaran Tiba

Oleh; Meta Hirata


Suara beduk yang disusul dengan lantunan merdu adzan Magrib terdengar ketika aku melangkah memasuki halaman. Setelah mengucapkan salam aku langsung masuk ke rumah. Kuletakkan ransel di punggungku ke atas sofa, lalu bergegas menuju ruang makan."Eh, Wi... pulang juga akhirnya. Ayo cepat, sudah buka nih!" Jamal dan Leni yang berebut kolak pisang buatan ibu langsung menghentikan aksi mereka saat ibu menyapaku, begitu juga dengan Kak Rita. Setelah membaca doa berbuka kuteguk habis segelas teh manis yang disodorkan ibu.

"Kakak sudah libur?" tanya Jamal sambil menyendok kolak ke piringnya.
"Sudah. Bapak mana, Bu?" tanyaku karena kulihat Bapak tidak ada di antara kami.
"Pergi sama temannya kemarin, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."

Aku memang tidak tinggal di rumah lagi. Setelah tamat SMP, aku berhasil masuk SMA unggul di kota yang mengharuskan siswanya tinggal di asrama. Sekarang, aku sudah kelas dua SMU. Tahun lalu, aku menghabiskan Ramadhan di rumah, karena sekolah diliburkan. Tapi sekarang tidak lagi, sekolah hanya diliburkan seminggu sebelum lebaran tiba, jadi saat inilah pertama kalinya aku berbuka puasa bersama keluarga.

***


"Nggak shalat tarawih, Kak?" ujarku pada Kak Rita yang masih belum beranjak dari kursinya, aku yakin dia kekenyangan.
Kak Rita menoleh, "Wi, malam ini tarawih di rumah aja ya, bantu kakak buat kue."
"Buat kue? Besok kan bisa." Keningku berkerut.
"Besok juga. Kita harus mengejar waktu, lebaran tinggal enam hari lagi, belum satu kue-pun yang terbuat. Habisnya... hm... bapak baru kasih uang tadi siang. Kakak lihat tetangga-tetangga kita yang lain, kuenya sudah siap semua."
"Kak, salah satu cara menghidupkan malam ramadhan itu dengan shalat tarawih, bukan dengan buat kue."
"Tapi kitakan malu sama tetangga, Wi."
"Lalu sama Allah apa kita tidak malu?"
Kak Rita diam. Bingung mencari alasan.
"Sudah... sudah... kamu berangkat saja, Wi. Biar ibu yang bantuin kakakmu." Tiba-tiba ibu muncul dari dalam kamar, melerai pertengkaran kami.
"Lho, jadi ibu juga nggak tarawih?" keningku berkerut lagi.
"Kakakmu benar, kita belum satupun buat kue. Kapan lagi? Ibu tarawih di rumah saja."

Aku hanya diam. Lalu beranjak ke kamar mengambil sajadah dan mukena. Belum sanggup aku mendebat ibu, bisa-bisa nanti ibu jadi tersinggung.

"Leni... ayo ikut kakak ke mesjid." Aku menegur Leni, si bungsu. Dia kelas 3 SD.
"Wi, Leni nggak usah diajak. Dia bantu ngocok-ngocok telur."
"Iya, Kak, Leni juga lagi malas nih."
Sambil mendengus sebal, akhirnya aku melangkah keluar rumah, menuju masjid. Menyusul Jamal yang sudah berangkat dari tadi.

***

Ada hal istimewa yang biasanya selalu terjadi di kampungku kalau lebaran tiba. Sebenarnya bukan hal istimewa, tapi bisa dikatakan kebiasaan buruk yang terjadi sejak dahulu, sudah turun temurun, sudah menjadi tradisi.Saat lebaran adalah waktu untuk menunjukkan dan memamerkan semua kekayaan dan harta benda yang dimiliki. Para orangtua berlomba membelikan baju terbaru dan termahal untuk anak-anaknya. Saat lebaran semuanya seolah menunjukkan inilah saya.

Seminggu sebelum lebaran hampir semua warga kampung menjadi super sibuk. Halaman dan pekarangan rumah dibersihkan, kaca-kaca jendela dibuat mengkilap, kain gorden, seprai, sarung bantal, semuanya diganti dengan yang baru. Para remaja putri dan ibu-ibu lebih banyak berkutat di dapur membuat aneka jenis kue. Kesibukan-kesibukan itu tentu saja telah menyita waktu untuk beribadah. Jika di awal Ramadhan masjid dan mushala seakan mau pecah karena banyaknya jamaah, maka di akhir Ramadhan jumlah jamaahnya bisa dihitung dengan jari.
Dan itu juga terjadi dalam keluargaku.

"Wi, dari tadi kok melamun saja. Ayo bantuin kakakmu." Lamunanku buyar seketika oleh teguran ibu.
Aku bangkit, membantu Kak Rita melepaskan semua gorden-gorden jendela.
"Mau diganti yang baru lagi ya, Kak?" tanyaku.
"Iya dong, lebaran kan tingal lima hari lagi." Kak Rita menyahut tanpa menoleh padaku.
"Tapi inikan masih bagus, Kak. Kalau dicuci pasti jadi seperti baru lagi."
"Kamu ini bagaimana, malu dong sama tetangga."

Selalu seperti itu. Malu sama tetangga. Apa-apa selalu dibandingkan dengan tetangga. Entah sudah berapa banyak gorden-gorden lama di lemari yang masih bagus tetapi tidak pernah dipakai lagi.

"Yang baru sudah dibeli?" tanyaku kemudian.
"Sudah, kemarin Bapak yang beli." Aku hanya melongo.
Begitu semua gorden sudah terlepas, Kak Rita menyuruhku membersihkan kaca jendela. Saat itulah Bapak muncul membawa dua buah kantong plastik besar di masing-masing tangannya.

Bapak meletakkan barang belanjaan di tengah ruang tamu, lalu mengeluarkannya satu per satu. Lima botol sirup yang berbeda warna, beberapa helai sarung, juga kue-kue dalam kaleng, padahal Ibu dan Kak Rita sudah banyak membuat kue dalam dua hari ini.

"Leni...!" kata Bapak kemudian, memanggil si bungsu. Yang dipanggil secepat kilat muncul dari dapur, bajunya belepotan adonan kue. Dia sedang membantu Ibu."Nih, baju baru Leni," ujarnya kemudian.

Bapak mengeluarkan dua kotak dari kantong plastik besar. Sepasang sepatu dan sandal baru. Lalu mengeluarkan dua pasang baju dari kantong yang lain dan memberikan pada Leni.

"Jamal mana?" tanya Bapak, lalu mengeluarkan bagian Jamal dari dalam kantong.
"Wah, pas sekali, Pak. Bapak benar-benar pintar memilihkan," ujar Leni sambil berlenggak-lenggok mencoba sepatu barunya.
"Ya sudah. Ayo simpan di lemarimu. Terus ini kasihkan sama abangmu." Bapak menyerahkan bagian Jamal pada Leni. Aku sudah menebak apa isinya. Sepatu, sandal, dan baju baru.

"Buat Rita, Pak?" Kak Rita ternyata iri juga melihat Leni dan Jamal yang masih SD.
Bapak merogoh dompetnya. Menyerahkan empat lembar pecahan seratus ribu pada Kak Rita yang langsung menerimanya dengan mata berbinar.

"Kamu cari sendiri. Bapak takut nanti tidak sesuai ukuran," kata Bapak. Bapak juga menyerahkan sejumlah uang yang sama padaku. Aku dan Kak Rita hanya beda dua tahun, dia sudah tamat SMU tahun kemarin. Mau kuliah tapi tidak lulus tes perguruan tinggi negeri, katanya mau diulang lagi tahun depan. Mau masuk swasta terlalu mahal.

"Dewi nggak usah beli baju, Pak. Yang lama masih bagus-bagus." Aku menolak uang pemberian Bapak. Kak Rita dan Bapak terkejut mendengar ucapanku. Hari gini... Nggak beli baju baru buat lebaran? Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.

"Tapi kamu harus beli, Wi." Bapak tidak terima.
"Tapi baju Dewi sudah banyak, Pak."
"Ini bukan masalah bajumu masih banyak Wi, tapi..." Bapak menggantung ucapannya.
Aku tahu lanjutannya. Bapak pasti segan sama orang-orang. Malu kalau nanti ada yang bilang bapak tidak sanggup membelikanku baju baru.

Selama ini warga di kampungku memang telah menyalahartikan makna Idul Fitri. Bagi bapak, ibu, kakak, dan kebanyakan warga lainnya, Idul Fitri adalah ajang pamer kekayaan.

***

Besok lebaran tiba. Hari yang dinanti oleh semua orang. Ada yang senang karena siang tidak harus menahan lapar dan haus lagi. Ada juga yang sedih karena bulan amalan dilipatgandakan pahalanya akan pergi. Andai semua bulan adalah Ramadhan, sungguh menyenangkan. Betapa tidak? Rumahku kelihatan sangat indah. Halaman tampak sangat bersih. Kaca-kaca licin mengkilat dengan kain gorden yang masih baru. Aneka jenis kue sudah berderet rapi dalam lemari, toko kue sepertinya kalah. Tapi Ibu dan Kak Rita selalu marah-marah saat Jamal dan Leni diam-diam mengambil kue itu.

"Nanti saja dimakannya, itu untuk tamu, kalau habis bagaimana?" begitu selalu alasan mereka.
Jadi Ibu dan Kak Rita capek-capek buat kue itu tidak boleh dimakan? Haruskah tamu yang pertama kali harus mencicipinya? Lagipula tidak mungkin Jamal dan Leni sanggup menghabiskan kue sebanyak itu.
"Bu, Bapak kok belum pulang. Kita kan belum bayar zakat?" kataku pada Ibu. Dua hari yang lalu Bapak pergi ke rumah Nenek di kampung sebelah, sekitar empat kilometer. Katanya hanya sehari, mengantarkan Nenek belanjaan dan juga mengantarkan beberapa kue. Tapi sampai sekarang Bapak belum juga kembali.
"Ibu juga tidak tahu, Wi," jawab Ibu, sambil melanjutkan pekerjaannya. Kami sedang membat ketupat untuk santapan besok sepulang shalat Id di lapangan.

Tok...tok...tok...
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Assalamualaikum..." terdengar seseorang mengucapkan salam. Aku segera membukakan pintu.
"Nenek...!" aku langsung memeluk Nenek.
Ternyata Bapak berhasil membujuk Nenek untuk berlebaran bersama kami. Tapi kok Nenek datang sendiri? Mana Bapak? Kuajak Nenek masuk, lalu kemudian memanggil Ibu.

"Bapakmu mana, Wi?" tanya Nenek begitu duduk di atas sofa baru.
Aku kaget, begitu juga dengan Ibu dan Kak Rita yang keluar kamar saat mendengar Nenek datang.
"Bukannya Bapak ke rumah Nenek?" Kak Rita yang menjawab pertanyaan itu.
Sekarang gantian Nenek yang memandang kami dengan heran. Kami semua mulai cemas. Apa yang terjadi dengan Bapak? Ke mana dia?Suara beduk menandakan waktu berbuka tiba terdengar dari masjid. Penuh tanda tanya kami beranjak meninggalkan ruang tamu, menuju meja makan. Tak ada yang bersuara, semua cemas memikirkan Bapak.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar... Lailahailallahu Allahu Akbar... Allahu Akbar walillahilhamd...

Suara takbir mulai bergema. Angin Idul Fitri telah menyapa. Syawal datang menyambut. Lebaran sudah di depan mata.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan. Bergegas Ibu segera membukakan pintu. Pasti ibu berharap, jika itu bukan Bapak, setidaknya orang yang membawakan kabar tentang Bapak.

"Maaf, apa betul ini rumahnya Pak Umar?"
"Be... betul. Ada apa dengan... suami saya, Pak?" terbata Ibu menjawab.

Aku menuju pintu depan, menyusul ibu. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk langsung hinggap di kepala. Hanya dua hal yang sekarang bermain di kepalaku. Penjara dan rumah sakit.
Tiga orang anggota polisi mencari Bapak. Ada apa?

"Kami dari kepolisian ditugaskan menangkap Pak Umar, karena dia salah seorang tersangka yang ikut melakukan perampokan toko emas seminggu yang lalu."

Tubuh Ibu tiba-tiba jatuh. Aku segera menyambutnya.
"Bapak? Merampok toko emas? Seminggu lalu?"
"Bapak mana, Bu?" tanyaku setelah kemudian kulihat tidak ada Bapak di antara kami.
"Kemarin pergi sama temannya, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."
Aku ingat, pertanyaan itu kulontarkan pada ibu ketika pertama kali sampai di rumah. Apakah saat itu Bapak melakukannya?

Tiba-tiba aku merasa sangat bodoh sekali. Mengapa aku tidak berpikir dari mana Bapak mendapatkan uang sedemikian banyak untuk membelikan kami baju dan sepatu baru? Kue-kue, gorden, juga sofa baru.

Dari mana semua uang itu? Kalau dari gaji Bapak yang hanya seorang pegawai negeri aku yakin tidak mencukupi, walaupun itu sudah ditambah dengan tunjangan hari raya.

Ah...Bapak. Mengapa dengan cara ini dia menyambut lebaran? Mengapa dengan cara ini dia menunjukkan pada tetangga kalau dia mampu? Apakah makna Idul Fitri di hati bapak?
Air mata mengaliar di pipiku. Aku ingat, kami belum bayar zakat.

Selengkapnya...

Memikirkan Sebuah Indonesia

Oleh; Mukhlis Rahmanto












Mencintai Indonesia adalah Mencintai Politik
Sajak dari Langit Tak Mendung

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang ramai-ramai dijadikan topi, jaket juga sarung
Penutup borok pikiran dan gila kekuasaan
32 tahun tidak jemu makan malam dan buang air besar
Dengan jamuan dan menu kayu jati Kalimantan, emas Freeport dari Timika,
gas alam Arun plus darah rakyat Aceh,
aspal Buton, dan minyak bumi Pangkalan Brandan
Di ruang tengah dan kloset belakang Istana Kepresidenan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang menanam pohon sentralisasi pemerintahan
: Harus "Jawa", bukan Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, apalagi Lombok
Yang mengumpulkan anggota keluarga tujuh turunan
: Jadi para wakil rakyat di parlemen
Jadi konglomerat-borjuis baru dadakan
Raja-raja tender proyek pemerintah
Padahal secara takdir, "Butuh kristalisasi keringat,
artinya perjuangan", kata Thukul Arwana di acara Empat Mata

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang diusung, diikat, dan dibudayakan
Oleh partai-partai politik yang gemar mengumbar
Gelas-gelas kosong-bohong pragmatisme
Lalu meninggalkan luka dan darah tercecer
Yang ditorehkan oleh fanatisme akut para pendukung
Di jalanan-jalanan utama ibukota, provinsi, hingga kabupaten
Dan yang menang pemilu tentu orang-orang itu
Yang memakai kaos dan merchandise kuning itu
Politik jadi bernilai rendah, jadi sekedar babu abadi kekuasaan

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang berisikan keputusan-keputusan
Ekonomi yang mengayomi kepala-kepala konglomerat
: Artinya membunuh kelas-kelas industri menengah ke bawah
Militer yang malah menembaki rakyat
Kebudayaan yang dikomandoi dari pusat
Kebebasan yang dihantui langkah-langkah sigap intelejen
Keadilan yang direkayasa oleh bapak-ibu hakim kejaksaan
: Artinya keadilan adalah beberapa lembar uang rupiah atau dolar
Bisa juga satu lembar check transfer yang langsung bisa diambil di Bank
Pendidikan dalam satu warna seragam
: Mematikan kreatifitas dan mengajarkan pengingkaran
bahwa manusia itu berbeda-beda, tidak satu rupa
Ada yang miskin, juga ada yang kaya
Lalu ujung runcing politik adalah lima sila Pancasila yang dipasang sebagai justifikasi
di depan moncong senjata-senjata polisi yang bertekuk lutut
di depan selembar uang seratus ribuan, artinya uang sogokan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang menjadikan darah manusia nusantara
: Tidak lagi merah-putih seperti pendahulu yang berani mengusir
kolonialisme Inlander dan orang-orang bule penjajah itu
Kini darah itu malah cair dan menghamba pada tuan dan investor asing
IMF, LSM dan dana asing, juga presiden USA itu
Yang membentuk mental cekak-pendek manusia nusantara
: Sarjana yang ingin jadi pegawai negeri semuanyalah
Korupsi yang dijadikan uswah hasanah oleh para cucu hingga para cicitlah
Materialisme dan hedonisme yang menggilalah
Pokoknya ingin serba cepat dengan uang darurat
Tanpa darah dan keringat
Tiba-tiba jadi pejabat eselon empat
Akal yang sehat bertanya, "darimana semua itu bisa cepat didapat?"

Yang harus dibenarkan adalah politik
Dengan kesadaran bahwa demokrasi adalah proses untuk berjalan bersama
: bermacam partai tidak mengapa asal rakyat dan kestabilan dipanggul
Tapi stabil yang bukan "status quo"
Sebab ketenangan adalah harga mahal sebuah kemajuan
Rakyat sudah muak dengan kebohongan, ulah, dan itu-itu saja
Dengan mereka para politikus yang membusungkan dada rakyat
Bukan perlahan sembunyi menggelambungkan perut pribadi, anak, dan istri
Dengan dunia politik yang tidak serba penuh dengan intrik menjatuhkan
: Tapi ya, kalau terbukti korupsi. Ya, harus legowo.
Dengan politikus yang bermutu, ahli, dan professional
: Sebab politik adalah semacam ibu bagi segala kebijakan
Dengan politik dan politikus yang bersih dan berhias moral agama
: Bukan malah menjual agama dan fatwa, yang artinya
Menjual ayat-ayat Tuhan. Bayangkan!
Bekerja di parlemen tapi juga bertanggung jawab ketika di dalam masjid
Artinya, alur utama politik yang seyogyanya adalah Ketuhanan
Dan reformasi adalah pembenahan dan pembenaran alur buntu politik kita
: Reformasi adalah semacam kelahiran baru bayi demokrasi
Perlu gizi yang cukup untuk tumbuh, juga masa yang tidak cukup sewindu
Perlu guru yang membimbing-arahkan
Perlu agamawan yang menyuluh moral dan kerukunan
Perlu teknokrat yang mumpuni
Perlu tentara yang kuat dan berani mati
Perlu seniman yang kreatif menghibur segar ringan
Perlu rakyat yang patuh tapi tak segan jadi oposisi mengingatkan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang harus dibenarkan adalah politik
Salah benar adalah wajah kita semua
Salah benar adalah rasa seduh hangat cinta kita
Salah benar adalah
: Langkah kaki, gerak tangan, air mata, tetes keringat, dan degup jantung
Aku, kamu lalu kita
Yang seratus persen asli, anak negerinya

Abaseyya-Kairo, Rabiul Awwal 1427 H
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
KU TAKUT UNGKAPKAN SUNYI

Oleh; Widi Indriana


Hening
Menusuk ubun-ubun jantung nadi ini
Terperangkap;terjerat;
Menggugah kesunyian yang sempat meradang;mendahsyat;
Dalam ketukan-ketukan syair ketiadaannya

Hanya alunan derap kecapi
Yang mampu menembus dengan nuansa keelokan
Menderapkan segala kesunyiaan
Memusnahkan segala kepalsuan
Hingga ku mampu bersiul lepas
Dengan senyum simpul manisku

Indah tak beraturan…..

Endapan lara ini kian merajut
Yang menghantui buih-buih nestapaku,lalu
Kulantunkan melodi-melodi manis
Membayangkan aku dalam riuhnya alunan-alunan syair itu
Terjerat,terlena hingga asoi ku dibuatnya

tapi
Mengapa cercahan itu berbekas,berbalas
Menjadi bongkahan lara
Yang terkadang ingin ku halau,
Hingga ku bawa ke danau-danau; bukit-bukit menuju langit
Bersimpuh menyusun nada,bergelora mencari mangsa
Sehingga……
kalimah-kalimah cintapun dianggap dusta semata

Detak hati

Derap kecapi itu membuatku takut akan kesunyian.
Karna sunyi…..
Ku tak mau sendiri
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Korban Perasaan Tanda Kasih Sayang

Oleh; Helda Zakaria Nur




Hari ini banyak sekali air mata yang ku tumpahkan, Aku sendiri sering bertanya pada diriku sendiri, Kenapa Aku terlalu lemah?Kenapa ku terlalu cengeng? Kenapa Aku terlalu takut menghadapi kehidupan ini? Ah Aku seperti orang yang punya semangat hidup aja! Banyak sekali masalah yang ku hadapi Di Mesir ini, ada yang bisa ku hadapi dengan tenang ada juga yang sulit untuk ku selesaikan. Kalau udah terlalu banyak masalah palingan Aku hanya mengadu dengan Allah sambil mengurung diri di kamar sendirian, Aku belum bisa untuk berbagi cerita tentang masalah ku ke orang lain, mungkin itulah kekuranganku.

Suasana di kamarku kali ini terasa lebih tenang dari biasanya, bunga yang ada di atas meja belajarku itu memberikan sedikit keindahan di hatiku, walaupun hatiku kali ini lagi kalut. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku biarkan tatapanku menembus awang-awang.

Tok…tok…tok..
"Assalamualikum..."
Lamunanku terhenti seketika,
"Wa'alaikum salam" Jawabku singkat sambil membuka pintu
"Eh.. ada Chika, masuk K'!" suruhku padanya
Ku perhatikan wajahnya, Aku g' bisa menebak apa yang akan ia bicarakan pagi ini, ku biarkan ssaja dia memulai percakapan. Aku lagi terbawa perasaanku sendiri.
"Ra, emm…Gue boleh minta tolong g?
"Boleh…! Jawabku singkat
" Loe punya uang simpanan g' , gue lagi butuh uang banget nih, 100 Pound aja!"
" O…, Aku kira ada masalah apa, ntar ya ku lihat dulu"
"Wah, sorry banget K' uang ku Cuma 75 pound, g' cukup seratus! kemaren Aku baru aja beli buku di Ma'rod, Ma'alays ya!",
" Kalau Aku pinjam 50 boleh ya? Pintanya memelas
" Boleh, nih pake aja" jawabku sambil mengeluarkan uang yang ada di dompetku itu.
" Thanks ya, Ra!"
" Ya sama- sama!' jawabku singkat sambil menutup pintu kamarku.

Bingung juga sebenarnya seharian gini g' kuliah dan ngurung di kamar, biarlah yang penting Aku bisa menenangkan pikiran dan mengumpulkan semangat baru, masalah itu sebenarnya membuat manusia lebih dewasa dan tegar dalam menghadapi kehidupan, tapi kenapa manusia sering takut dan sedih ya? Kata-kata ini yang sering ku ucapkan untuk menghibur kesedihanku dan untuk membangkitkan semangatku kembali. AKu kan sekarang udah jadi kakak kelas, berarti Aku harus lebih dewasa, kan malu sama adek-adek.

# # #

Suasana malam ini terasa lebih indah bagiku, karena Aku bisa kumpul bareng adek-adek baru yang ada di rumahku. Ada Ani dan Rena. Sudah dua minggu mereka bersama di rumah ini, tapi Baru kali ini kami bisa lebih akrab dengan mereka. Mungkin karena aku jarang makan malam bareng mereka, Biasa banyak tugas di luar.

" K' K' Chika mana ya?" tanya Ani
" Mungkin lagi di rumah temennya!"
"O..o.." balas Ani
"K' Aku sedih hari ini, karena ablah marahin Aku waktu tobur ngambil tasdik iqomah tadi pagi, padahal kan Aku cuma nanya, kapan ya kira-kira tasdiknya bisa saya ambil, karena AKu mau masuk kelas ikut muhadaroh Quran" cerita Rena memula topic pembicaraan malam ini
" Iya, K' aku juga dibukrohin trus sama ablah, Kenapa sih Al-Azhar sekolah yang terkenal diseluruh dunia, urusin tasdik aja susah amat! G' keren banget, !" celuruk Ani menambahkan
" Kalau g' gitu bukan Azhar mananya! Nah disitulah letak kerennya azhar!" jawabku santai
" Lho kok?" jawab mereka serentak
" Iya dong, coba deh kalian fikirin, kalau misalnya Azhar serba gampang, ga' ada tuh ulama-ulama yang sabar dan tangguh menghadapi umat, baru ngurus gituan aja nyerah, ngeluh makanya sebelum ngadepin masyarakat, hadapin dulu ablah-ablah atau amu-amu di kuliah itung-itung ngetes mental juga.He…he..!" Jawabku enteng
" Iya tapi kan buang-buang waktu banget, K'!"
" Biar waktunya g' terbuang sia-sia, waktu tobur baca buku aja, dari pada bete' nungguin, kan bermanfaat juga !" saranku pada mereka.

Mereka hanya mengangguk tanda setuju dn membenarkan apa yang ku katakan. Kami pun diam sejenak. Hidangan yang tersedia di meja makan kami lahap satu persatu, nikmat sekali. Ikan sambel yang dibuat Rena habis tanpa sisa. Oseng-osengannya juga g' ketinggalan. Semua sibuk dengan makanan nya masing-masing

" K' Aku dapet undangan lho dari temanku , minggu depan acaranya"
" Undangan apa?" tanyaku singkat
" Undangan perkawinan, acaranya di mesjid assalam, kata temen-temen calonnya sih S2 " Jelas Rena
'' O .. ya, dimana ketemunya ya? padahal kita baru aja beberapa minggu disini belum nyampe sebulan , dimana kenalnya ya?" tanya ani keheranan. Belum sempat Aku menjawab tiba tiba Rena nyambung lagi
" K' di Kairo ini, banyak banget yang merid pas kuliah kan? Sampe-sampe di Indo ada orang tua yang takut sekolahin anaknya di kairo karena katut anaknya merid pas kuliah, ini bener lho kak, tetangga ana sendiri yang kaya' gitu. Lagian Film- film Indo banyak yang menceritakan tentang keadaan seperti itu. Liat aja di film Kiamat Sudah Dekat, Padamu Aku Bersimpuh, dan yang bakalan heboh Ayat-ayat Cintanya Kang Habib."
" Gitu aja heboh, malahan justru hal- hal yang baik itu yang harus kita dukung, dari pada pacaran yang g' jelas, Ayo pilih mana? Tanyaku balik
" Iya sih K', tapikan masih tingkat satu, masih perlu belajar, jangan-jangan udah merid, kuliahnya jadi berantakan, karena banyak yang di urus, suami, anak, belum lagi ngurus kuliah sendiri, hi… g' kebayang deh!" Ani tampak aneh dengan keadaan seperti itu.
" Terserah anggapan orang deh, temen kakak malah nilai nya bagus setelah merid, ayo gimana? G' semuanya bener kan kata orang- orang! kalau mau lebih yakinnya, rasakan aja sendiri, kita siap jadi panitia kok, he..he…" Kataku sambil becanda
" Idih kakak, kok gitu sih, jangan- jangan yang ngomong lagi bakalan nyusul bentar lagi!"
Kali ini Aku hanya tersenyum sambil menghabiskan makanan ku yang tersisa beberapa suap itu. "Belum tahu dia" bisikku dalam hati. Kami pun diam sejenak.
" K' Aku kasian dengan temen seangkatanku, ada 11 orang yang belum jelas statusnya di Mesir ini!" Ani memulai percakapan
" Kok bisa?" tanyaku balik
" Iya, karena mereka ke sini sebelum ada surat keterangan Sifaroh Mesir, jadi visanya bukan visa pelajar, melainkan visa turis, Padahal mereka ikut test lo di Indo!" jelas Ani kembali
" O..ya,! Kakak yakin PPMI dan KBRI pasti lagi cari jalan keluar untuk mereka, kita doakan aja, semoga mereka sabar dan dimudahkan urusannya oleh allah"
" Amin…! Jawab mereka bersamaan

Allahu Akbar….Allahu Akbar…

" Udah azan tuh , kita siap siap yuk!" ajakku pada mereka.
Mereka pun bergegas sambil merapikan meja makan .
" Kakak Wudhu duluan ya..!" pintaku
" Iya" jawab mereka serentak

# # #

Ku lihat Chika tergeletak tidur di atas kasur empuknya itu, ku dekati ia perlahan. Ku lihat wajahnya lebam, kaki dan tangannya ada goresan luka-luka.Pasti ia merasakan sakit sekali bisikku dalam hati, apa yang terjadi padanya Allah? Tanyaku dalam hati. Aku hanya memperhatikannya sebentar tanpa berani untuk bersuara sedikitpun. Kasian Pikirku ia terlalu cape' dan pulas. Aku juga mengambil posisi yang tak jauh beda dengan nya, merebahkan tubuh yang lemes di atas shofa empuk ruang tamu, Aku cape sekali hari ini, kuliahku full sampe jam tiga sore,Aku harus mengembalikan sedikit tenagaku menjelang sholat ashar. Aku berbaring sejenak, semoga tidurku kali ini emang bener-bener berkualitas harapku dalam hati.

Azan yang berkumandang terdengar nyaring di telingaku, membuat aku terjaga dari tidur yang hanya seperempat jam itu, Alhamdulillah badanku kali ini lebih Fresh dari yang tadi. Aku bergegas menuju hamam untuk bersih-bersih dan wudhu. Hampir aja Aku lupa kalau Chika masih tertidur pulas, Aku harus membangunkannya. Chika yang kelihatan cape ternyata pas aku bangunkan ia langsung sadar, Aku kira ia g' dengar dengan suaraku, karena suaraku lebih pelan menurut biasanya. Takut mengagetkan dia yang lagi sakit. Akhirnya kamipun sholat berjamaah.

Selesai sholat dan berdoa kami saling bercerita satu sama yang lainnya. Ia mulai menceritakan masalah yang paling pribadi ke Aku, masalah keluarga, temen dekat, bahkan kenapa ia luka-luka seperti ini.

" Ra maafin Gue ya, karena belakangan ini Gue jauh dari loe n jarang di rumah, Gue lagi suntuk berat belakangan ini, tapi sekarang Geu baru sadar, bahwa masalah yang Gue hadapi belum seberapa bila di bandingin dengan masalah orang lain.Lagian kalau Gue lari dari masalah malahan Gue dapet masalah baru kaya' badan gue ini" jelas Chika yang berfikir lebih dewasa saat ini.

" Iya, K' masalah ortu kamu yang cerai, terus masalah dengan temen dekat kamu, anggap aja sebagai episode pembelajaran diri, siapa tahu dengan kejadian ini, kamu bisa lebih mateng dalam bertindak dan berfikir, semua pasti ada hikmahnya, luka yang ada di hati lebih terasa sakit ketimbang luka yang ada di tubuh ini, tapi walaupun begitu hati akan sembuh dari luka-luka itu bila kita selalu memohon pada Allah untuk di beri kekuatan dan kebersihan hati. Jangan sedih ya, kalau ada apa-apa Aku siap menolong kamu" Ku pegang tangan nya untuk meyakinkan bahwa Aku memang sangat bersedia membantunya semampuku.

" Makasih ya, Ra, Loe emang teman gue yang paling baek."
" G perlu ucapin terima kasih, sudah sepantasnya kita hidup saling tolong-menolong antara sesama, apalagi dengan Chika yang imut. He..he.." Aku mulai becanda dengannya biar g' kelihatan serius.

# # #

Pagi yang ceria ini kembali menemani Aku di awal kehidupan baru, karena hari ini adalah hari baru yang harus ku isi dengan kegiatan yang bermanfaat, bukan hari kemarin yang telah berlalu. Matahari yang tersenyum menyapaku dengan sinarnya yang elok, embun pagi juga membasahi dedaunan yang memberikan kesejukan di setiap mata memendang. Ku nikmati suasana pagi ini dengan melepaskan pandangan ke seluruh penjuru yang dapat ku saksikan di balkon rumahku itu. Bangunan Anwar sadat terlihat jelas disitu, stadion bola juga bisa ku lihat dari balkon rumahku itu, luas, hijau dan menyenangkan.

"K' kok senyum-senyum sendiri!" Ani mengejutkan fantasiku
" Nggak!" jawabku singkat
" Udah tiga bulan juga ya K' kita bersama" Sambung Ani
" Kenapa udah bosenya sama kakak?" tanyaku balik
" Nggak!" jawab Ani kontan
" Atau jangan-jangan Ani mau pindah?" tanyaku menyelidik
" G' kok K', Aku mau ngomong sesuatu yang rahasia, tapi gimana ngomongnya ya?" Ani tampak ragu untuk mengutarakan langsung maksud dan tujuannya, Aku tulis aja ya Mbak! Pintanya.
" Boleh, ntar kalau kakak bisa Bantu, kakak bantu deh mecahin masalahnya.Oke!" jawabku
" Syukron ya K"
"Iya sama-sama"

# # #

TO: Kakakku yang baik, Rara

Semoga dengan membaca surat ini kakak dalam keadaan sehat dan ceria selalu, Aku bingung mau dimulai darimana AKu menceritakan hal ini pada kakak. Yang jelas ku harap kakak bisa memberikan solusi pada Ku, Tepatnya seminggu sesudah ujian Aku ditelpon oleh orang tuaku kalau Aku akan dinikahkan dengan orang satu kampong denganku, Kata ayahku ia belajar di sini, MUHAMMAD HABIB namanya. Aku akan selalu patuh terhadap perintah orang tuaku selagi itu baik. Kakak bisa g' temenin Aku ke rumah madem aisyah hari Jumat besok. Katanya Aku dan Dia akan Ta'aruf disana. Tolongin Aku ya K'

ADEKMU ANI

Ku lipat surat dengan hati-hati, dengan perasaan hati yang juga sangat hati-hati. SUNGGUH takdir adalah ketetapan Nya, kepunyaan Nya, K' HABIB mungkin bukan jodohku. Jawabanku yang terlalu lama ku berikan, ternyata ada peristiwa lain dibalik ini semua, hanya Allahlah milik segala-galanya. AKU Ikhlas dengan keputusan ini. Bukankah dengan pengorbanan semacam ini, tanda Aku sangat sayang pada Adekku Ani. Met bahagia doaku dalan hati. Hanya ALLAH yang tahu perasaanku kali ini.



Selengkapnya...

Senja Yang Hilang

Oleh; Meta Hirata















Senja pun hilang. Seketika semuanya gelap dan kosong, aku masuk dalam dimensi ruang yang tak kumengerti...

***

Tiba-tiba tubuhku kurasakan berada di tempat yang asing, aku tak mengerti dimana itu, aku hanya sendiri, aku kini masih termenung sendiri, hembusan angin musim panas mengalun lembut menerobos celah-celah rambutku yang merah. Kupandangi pasir yang terhampar luas dilautan padang gurun yang gersang, tapi sore ini senja dimusim panas terlalu indah jika sekedar gersang. Ia hangat, cerah, begitu mempesona berselendang matahari senja yang merona.



”Patutkah semua untuk kujadikan kenangan?” Kuputar lagi episode demi episode yang pernah aku jalani. Berkelebat bayang demi bayang yang tertulis dengan tinta abadi diatas lembaran-lembaran putih jalan hidupku.

Aku tersipu malu, tersenyum sejenak. Me-replay bayang-bayang itu. Kurasa manis, sungguh teramat manis. Pandanganku sekali lagi kuedarkan menatap bayangan itu, kemudian terpejam sejenak mengulangnya dalam dimensi gelap labirin-labirin kosong. Mataku kembali terbuka, kembali kutatap episod manis yang ia suguhkan. Sarafku seakan berhenti untuk kembali memutarnya. Mungkin enggan, mungkin dia ingin membiarkan aku tetap tersenyum, mungkin dia hanya ingin menyuguhkan betapa indahnya senyum itu. Senyum yang memberikan ribuan cahaya dalam relung hati yang suram.

”Oh... benarkah cahaya itu milikmu?” Tanyaku pada hembusan angin. Kudekatkan pandangan mataku lagi, lagi, dan lagi.
“Tuhan, cahaya itu apakah benar cahaya dia? Tapi, bukankah cahaya adalah lambang kesucian?” ratapku sejenak pada Tuhan.

Kulihat lagi sesosok cahaya itu. Tertunduk malu dalam balutan jilbab polos berwarna biru. Kini kubertanya pada langit.
”Lihatlah langit! cahaya itu dalam balutan jilbab polos berwarna biru, bukankah seperti dirimu?”

Warna biru yang menyejukkan pandangan mataku. Kupandang dia seperti memandang dirimu. Kuharapkan ada kedamaian yang sama disana.

Kuturunkan pandanganku berlahan mengamati cahaya itu. Tak sedikitpun dia mencuri pandang padaku. Sesosok cahaya itu tetap terdiam disana. Lalu kumelangkah mendekat kearahnya, dalam jilbab itu kutemukan wajah yang tak kalah bercahaya. Wajah yang sendu, wajah yang melukiskan putihnya kejujuran dan memancarkan eloknya kesetiaan.

Lamat-lamat kudengar suara kecil melantun sangat merdu. Kuyakin itu suara cahaya berjilbab polos berwarna biru itu. Angin terhembus sepoi menyampaikan kata-katanya untuk menggugah hatiku. Suara itu mengalun lembut menerobos masuk kedalam hatiku. Suara itu menyebar menggetarkan dinding hati yang mulai rapuh. Suara itu membawa ruh untuk menghidupkan cinta yang mati. Suara itu membawa embun surgawi untuk menyirami bibit-bibit cinta yang tersisa dilahan yang kering kerontang tak berdaya.

Ragaku, jiwaku dan hatiku kembali hidup saat itu. Rasanya ribuan ucapan terima kasih takkan sanggup membayar kebaikannya untukku. Kembali aku berfikir apa yang harus aku berikan padanya. Apa yang harus kulakukan untuknya?

Angin kembali berhembus lewat helaian rambutku, angin mengajariku untaian kata-kata. kata-kata yang patut ku ucapkan untuknya. Kata-kata dari dinding hatiku yang dulu tak kumengerti. Sekali lagi aku pejamkan mata ini. Kucoba tuk menarik nafas untuk mengumpulkan tenaga yang tersisa ditubuh yang mulai rapuh. Kualirkan untaian kata itu berlahan dari hati menuju dinding saraf yang kan terus berjalan mengetuk pita suaraku

”...ukhti...uhibbuki fillah...”

***

Senja semakin tenggelam diufuk barat, kurasakan kemiluan cahaya hangatnya menyirami sekujur tubuhku yang lelah. Saat kuangkat pandangan mataku

”Ouhhh... silau cahayanya menghujam mataku. Perih...” Sontak kupejamkan mata. Dunia kembali gelap, mataku kembali terbuka sedikit demi sedikit. Samar-samar masih kulihat semburat cahaya itu. Kini semakin jelas tergambar cahaya itu adalah seorang gadis berjilbab biru, yah biru seperti langit. Dia sejukkan pandangan mataku, dia hembuskan kedamaian dalam relung jiwaku.

”Gadis, rupanya kau tetap disana, tampak diam namun mempesona.” Kuputar lagi barisan-barisan episode yang terpotong dari hidupku. Kugerakkan jiwa untuk menelusuri jejak rekam yang pernah kusimpan dalam memori ingatanku. Kucoba memejamkan mata sedikit untuk mengingat masa itu. Sejenak kumerenung.

”Stop...!!!” mulutku tiba-tiba berteriak pada putaran itu.

Mataku kembali terbuka mengamati cincin yang ada dijari manis tangan kananku. Cincin dijari manis tangan kanan adalah simbol ikatan seseorang dengan gadisnya, kuingat kata guruku berkelebat tiba-tiba.

Sontak aku berpikir.
”Aku sudah menjalin ikatan,dengan siapa?”
”Apakah aku sudah punya gadis, siapakah gadis itu?”
”Bukankah aku baru mengucapkan ikrar cinta pada gadis bercahaya berjilbab biru polos itu.” Pertanyaan itu mencoba menggodaku.

Kembali kuputar lambaran-lembaran memori dalam otakku. Tak kutemukan apapun disana. hanya bayang gelap terus mendominasinya. Hingga kupejamkan mata tak sedikitpun terbuka ingatan itu. Aku semakin lelah tak berdaya. Kutegakkan pandangan yang semakin melemah.

Mataku terbelalak heran.
”Oh... ya...???” Otakku kembali dipenuhi cahaya.
Byarrr, terang benderang, cerah, bagaikan langit siang tadi.

Kuamati jari manis tangan kanan gadis yang muncul dalam putaran penggalan episode itu. Kuyakinkan disana, dijari itu terselip cincin yang sama persis seperti yang ada dijariku. Cincin itu semakin membuat aku yakin dengan tiga permata biru yang berkerlipan tertimpa cahaya sama seperti punyaku.

Plasss...!!!
Tiba-tiba gelap. Bayangan itu hilang, musnah begitu saja. Tak mampu aku ulangi untuk sekedar mengingatnya.

***

Kini aku hanya mampu terdiam. Sejenak kau rasakan tubuhku mulai merasakan aliran darah dalam pori-porinya, udara yang masuk keparu-paruku juga mulai berhembus pelan. Badanku bergetar. Sepertinya ada suara merdu didekatku. Kuyakin itu lantunan ayat-ayat suci kalam Ilahi. Suara itu mengalir lembut lewat telingaku, aku hayati makna dari setiap katanya. Sungguh mendamaikan hatiku. Kudengarkan lamat-lamat ayat demi ayat. Kuhayati setiap hurufnya mengalirkan angin kedamaian dalam jiwaku.

Aku menemukan diriku dalam dimensi yang berbeda. Kurasakan jiwaku tak lagi berpijak pada bumi. Aku terasa melayang bercumbu bersama tiupan angin. Aku takut ini adalah kematianku. Namun tak kurasakan Izroil menjemput ruhku, aku hanya melayang bersama sepoi angin di alam yang berdimensi serba putih.

Ataukah aku hanya bermimpi? kurasa juga tidak. Aku berada di alam yang tak kumengerti. Dan tak sekalipun aku terbangunkan dari mimpi. Namun lantunan ayat-ayat suci itu masih dapat kudengar.

Perlahan kubuka mataku, sungguh terasa berat. Kulihat setiap sudut ruangan serba putih. Aroma khas obat menusuk hidungku. Kembali menyadarkan kalau ternyata hidungku masih bernafas.

”Ourrrggg...” Aku kesulitan untuk menggerakkan badanku. Rasanya semua hanya beku kaku terdiam. Aku sama sekali tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.

Entah mengapa aku sendiri masih bertanya pada ruangan putih ini.
Kenapa dan sejak kapan aku dirumah sakit ini?
Mungkin gadis yang membaca la-quran disampingku tau.
”Hai gadis, dimanakah aku?”
Dia hanya diam.

"Hai gadis, dimanakah aku?” Kucoba berulang-ulang memanggilnya, namun gagal. Seditik kemudian aku baru sadar, ternyata mulutku masih terdiam membisu.

”Aaauuurrgg...” gerutuku.
Hanya potongan jeritan yang entah didengarnya atau tidak.Tapi aku masih mencoba. Padahal aku sangat ingin bertanya kepadanya. Ingin kutanyakan tentang aku, aku sendiri tak tau kini siapa sebenarnya aku…

”Aneh, kenapa aku bisa dirumah sakit ini?...” Sekarang aku coba sekuat tenaga.
”..auurrgg...ya Allah...ya Robbi...?!?” Tubuhku mulai bisa kugerakkan berlahan.

"Alhamdulillah ya Allah!" Teriak gadis disampingku. Didekapnya mushaf kecil itu, matanya kulihat berkaca-kaca.
"ya Allah, ya Robbi… Mas yus sudah sadar, terima kasih Tuhan”
"Mas, mas, ini aku mas, fatimah… fatimah adik mu?" Gadis itu hanya bingung bercampur gembira, mukanya masih tersendu menangis haru.

"Ya Allah… bentar ya mas, aku panggil dokter joko dulu, mas tenang saja”
” Oh ya, aku harus telpon mbak resya, dia sudah lama nugguin mas sadar loh. Pasti gembira banget lihat mas sudah sadar.”
”Ya sudah mas tenang dulu ya, fatim panggil dokter joko dulu. Inget loh mas… jangan mikir yang berat dulu, mas belum kuat. Nanti kalau terasa pusing, minum saja obat di meja samping yang warnanya hijau." Pintanya tergopoh-gopoh.

Gadis itu bergegas berlari keluar. Aku masih terpaku dengan ucapannya tadi. Tak mampu kuingat semua dan membuatku cukup bingung dengan keadaan yang tiba-tiba ini. Kucoba menguraikan ingatan-ingatan tadi sedikit demi sedikit.

”Yus?...”
”Apakah ini namaku?...”
Entahlah, mungkin iya. Kulewati lagi ingtanku. Gadis disampingku tadi adalah fatimah adikku. Aku punya adik yang tadi mebaca al-qur’an disampingku, suaranya merdu mendayu-dayu.

Terus ada satu lagi resya, siapakah dia?
Apakah gadis yang bercahaya berjilbab biru polos dalam mimpi itu?
Entahlah aku masih belum bisa menguraikannya.

”Auuuhhhggg...ya Allah kepalaku” Kurasakan kepalaku pusing. Sangat sakit. Kuhentikan ingatan-ingatan itu. Kuraih pil hijau diatas meja disamping tempat tidurku.

Pusing dikepalaku berlahan menghilang setelah kutelan pil hijau itu. Dokter pun datang dengan si fatimah. Dia mulai memeriksa keadaanku.

"Ok, gini mbak fatim, mas kamu sudah sadar. Ingatanya sudah cukup kuat untuk dipulihkan kembali. Kita harus menjalani terapi dan tentunya akan ada pengobatan yang terus berlanjut dibawah pengawasan saya. Saya sungguh takjub dengan mas kamu. Ini semua berkat pertolongan Allah tentunya.”

“Ok well, sebulan kedepan kita akan mencoba terapi untuk mas kamu. Saya minta tolong untuk menyiapkan beberpa hal yang bisa membangkitkan ingatannya.”

“Oh ya, jangan lupa kalau bisa datangkan orang yang terakhir kali berinteraksi dengannya."

Kuperhatikan dokter itu berbicara sambil tersebyum pada fatimah adikku. Aku hanya mengamati dalam kebingunganku sendiri.

"Ya dok, terima kasih, saya akan persiapkan semuanya" fatimah tersenyum.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu, Assalamualaikum." kata dokter yang memeriksaku sambil berlalu keluar.

Wa’alaikum salam” fatimah menjawab dengan sopan sambil berjalan mengantarkan dokter sampai kepintu ruangan ini.

Perlahan kugerakkan tangan, kaki dan badanku. Berat dan sangat berat, namun aku terus berusaha dibantu gadis itu.

***


Hari-hari selanjutnya aku muali dilatih kembali bergerak untuk mengembalikan fisikku yang lemah. Terapi pun kujalani. Kini aku mulai bisa mengingat siapa diriku. Aku adalah yus, lengkapnya Yusuf Al-amin. Aku adalah seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi Islam di negeri ini. Gadis itu adalah fatimah adik semata wayangku. Dia selalu menemani aku selama perawatan ini. Aku ternyata mengalami kecelakaan di sore hari tepat setelah aku silaturahmi ketempat salah satu orang yang aku kenal, itupun aku masih belum bisa mengingatnya. Dan masih banyak hal lagi yang kembali dalam memoriku. Aku kini sudah mulai bisa kembali berinteraksi dengan orang-orang disampingku.

Namun satu hal yang belum aku ingat, bayang-bayang dalam mimpi di padang pasir senja itu. Dan siapakah gadis itu? Aku masih termenung mencoba menguraikan semua. Aku hanya bisa simpulkan gadis dalam mimpi itulah yang mungkin menjadi teman hidupku. Kemarin adikku juga cerita kalau aku sebelumnya sudah melamar seorang gadis dan memberikan cincin yang sama seperti yang kupakai sebagai tanda ikatan. Toh dengan cerita itu aku juga masih tampak bingung. Tak dapat kurangkai sedikitpun simpul untuk mecapai titik terangnya. Dalam mimpi itu aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

***

Sore ini matahari cerah merekah, mengiring senja yang berkilau merah diufuk barat sana. Kutatap pohon, bunga dan rumput-rumput ditaman ini bergoyang berselendangkan cahayanya yang jingga merona layaknya bidadari yang menari-nari bersama mentari. Sore yang indah pikirku.

”Oh ya, aku pernah menemukan sore yang indah ini. Tapi dimana dan kapan?” Aduh, masih saja ingatanku terlalu lemah untuk mengingat masa laluku. Gerutuku sendiri.
ya begitulah. Lagi-lagi aku tak pernah sempurna mengingatnya. kurenungi sore ini sambil meratap pada Ilahi Robbi.

Ya Allah, aku ingin mengulang bayang-bayangan itu. Aku ingin berada di lautan padang pasir saat senja untuk menemui gadis berkerudung biru itu. Ya Allah, benarkah ia cahaya yang kan terangi hidupku Izinkanlah aku memandangnya walapun hanya sekali jika lantas Kau kan cabut nyawaku.

"Mas...mas...mas..."
kudengar suara teriakan disana. Aku terhentak kaget, kemudian menoleh kearah lorong rumah sakit yang sunyi.

"Mas, ini mbak resya datang mas, mbak resyamu datang" Adikku berlari kearahku, seorang gadis berjalan cepat dibelakangnya. Aku masih mencoba membuka ingatanku. Kucoba membuka lembaran-lembaran memori melewati labiri-labirin yang gelap dan kosong.

Ya Allah, seketika aku terhenyak. hatiku tiba-tiba berdetak. dadaku kembang-kempis menahan rasa yang begitu saja muncul. Aliran darahku mengalir cepat. Saraf-saraf mulai hidup. Seperti terbangun dari tidur yang panjang dan melelahkan.

Simpul-simpul yang tercerai mulai bersatu kembali. Aku mulai bangkit dan berusaha berlari menjemput gadis berjilbab biru itu. Ingatanku mulai pulih sempurna. Aku terus mencoba berlari kearahnya.

Ya Allah maha besar diriMu, ingatanku benar-benar telah Engaku kembalikan. Dalam mimpi itu, ternyata gadis yang beberapa hari yang lalu diceritakan adikku, gadis itu adalah resya tunanganku. senja benar-benar mengungkapkan semua padaku. Resya gadis yang sudah memberiku cahaya dalam hidup yang kelam, gadis yang membimbingku menuju jalan yang dipenuhi cahaya iman.

Aku terus berlari, rasanya badanku kini sangat ringan, aku terasa mempunyai dua sayap untuk terbang menghampirinya. Aku ingin menghampiri cahaya itu, aku sangat merindukan cahaya itu, tak kuhiraukan adikku berteriak dari kejauhan, aku hanya terus berlari.

"Mas, hati-hati mas, awas ada tangga didepanmu maaasss..." Teriakan adekku semakin keras meyongsong aku yang terus saja berlari mengejar cahaya itu. Tak sempat kulihat keadaan didepanku.

Bruk...?!?
Tak kusadari aku tergelincir, kepalaku roboh jatuh tepat diatas tangga keramik yang runcing, hanya sempat kupanggil cahaya itu, "resya". Namun tubuhku sudah roboh, kulihat darah membanjiri lantai putih itu, kudongakkan kepala untuk menggapai cahaya itu, ingin kulambaikan tangan namun separuh nyawaku sepertinya sudah melayang bersama Izroil sang pencabut nyawa.

Rupanya cahayaku resya sudah didepanku memegang tangan kananku, samar-samar kulihat matanya meneteskan air mata. Sebelum akhirnya semua gelap, nyawaku tercerabut sempurna dari ragaku yang malang. Senja pun hilang bersama datangnya gelap.

***

Tanah di atas kuburan itu aku rasa masih belum kering oleh tetesan air matanya. kujadiakan semua sebagai saksi atas dukanya yang begitu dalam.

Senja sore ini kurasakan masih berduka, kilauan cahaya yang seharusnya indah kini tak lebih hanya semburat garis-garis merah kecoklatan yang menakutkan dan membuat hatinya semakin perih. Cahaya itu tajam menghujamkan kepedihan ke dalam lubuk hati menjadikannya semakin perih. Dia terlalu shock akan kematian tunangannya. Calon imam dalam menyempurnakan agamanya dan sunnah Rasul. Dia masih tak percaya akan semua ini.

Namun kejadian itu menyadarkannya tentang arti cinta, hidup dan kematian yang telah digariskan di lauhul mahfudz sana. Sebagai hamba kita hanya wajib berusaha, ada pun takdir hanya Allah yang menentukan.

”Begitu kejamkah takdir?” protesnya seketika itu, tapi dia lantas sadar bahwa gerutuannya tak lebih hanyalah sia-sia belaka. Hanya hasutan setan yang terus saja mengintimidasinya dalam kebimbangan ini. Mereka sangat tak peduli dengan dukanya.

Sambil meratap pada sang Maha kuasa, dia pun berdoa.

"Ya Allah, ya Tuhanku... saat tumpuan jiwa ini hanya terpaku padanya namun mengapa Engkau ambil dia dari sisiku selamanya? Saat kutemukan cinta suci dihatinya, mengapa tak Engkau izinkan aku memeluknya? Saat azzam ini terpatri untuk menyempurnakan agamamu, mengapa Engkau tak izinkan aku berjuang bersamanya? ya Allah jika memang yus adalah cinta dalam hatiku, izinkan aku menyimpanya selama hidupku. Jika memang yus bukanlah jodoh yang kau kirimkan sebagai imamku, kuharapkan ada mujahid yang seperti dia untuk kujadikan pejuang pendampingku".

Dia merenungi kembali kisah-kisah itu, saat menemukan kata cinta untuk yang pertama kali. Dia hanya bisa berdoa memohon kepada Allah, semoga cintanya pada hati yang benar. Cinta itupun tertuju padaku. Aku adalah yus tepatnya yosef. Aku seorang pemuda katolik yang mempunyai keluarga berbeda agama. Keluargaku pun terpecah. Aku ikut bapak, seorang misionaris. Sedangkan adikku hidup bersama ibu yang memilih kembali sebagai muslim setelah berpindah katolik. Dia hanya bisa menolak dengan berat hati karena kita beda agama.

Sebesar apapun cinta itu, percuma jika Allah tidak merestuinya. Dia hanya bisa terus memohon dan pasrah, hingga waktu itu pun tiba. Hingga aku menemukan hidayah dan mengucapkan kalimat syahadat saat aku bertemu ibu kembali.

Beberapa tahun kemudian aku kembali dari studi di kairo. Sekarang aku sudah berbeda, aku adalah seorang muslim sejati yang kokoh memegang agama Islam. Kini dia tak kuasa menolak lamaranku. Aku memberikan cincin itu sebai tanda ikatan kami.

Namun musibah itulah menimpaku, aku kecelakaan dan menderita gagar otak yang luamayan serius hingga mengalami hilang ingatan yang menghapus memori otakku dan membuat diriku koma berminggu-minggu. Dia sangat khawatir tentunya. Kejadian itu tepat 3 hari sebelum kami mengikrarkan akad nikah. Tak henti-hentinya ia memohon pada Allah, siang dan malam. Sebulan kemudian aku pun sadar dan mulai pulih dari hilang ingatan.

Saat itu mestinya dia sangat gembira karena doa-doanya selama ini didengar oleh Allah. Tapi senja itu lain, dia merasakan cahayanya sedikit buram menggambarkan kepedihan.

Musibah itu pun lagi-lagi mencoba menguji ketabahan resya. Aku meninggal dunia setelah terjatuh dari tangga ketika berlari mengejarnya.

"Ya Allah mengapa begitu perih duka ini, ya Allah... belum sembuh rindu penantianku yang panjang, engkau sudah menjemput dia ke pangkuanMu"
resya pun terisak bercampur sedih.

Hanya mulutnya mampu mengucap lirih "Innallilahi wa inna ilaihi rajiun. Ya Allah., ya Robbi, inikah takdirMu untukku? Sekuat tenaga kupertahankan keyakinanku akan hikmah takdir yang telah digariskan" Suaranya terbata-bata.

Senja pun mulai hilang seiring datangnya malam...

Cairo tengah malam jumat, 14 Agustus 09

Selengkapnya...

Indonesiaku, Juga Indonesiamu.

Oleh; Mukhlis Rahmanto










Aku menyukai matahari hari ini
Seperti ku mencintai Indonesiaku
Lihat Gajah mada menggelar layar, hunus pedang
Dari Biak di timur sampai barat negeri campa
Ingat tegas para pendahulu yang mengacir
Inlander dan Nippon dari tanah negeri
Tersebut nama Diponegoro, Teuku Umar, Hasanudin,
Sudirman, dan Bung Tomo
Mengajarkan arti kepemilikan dan cinta mendalam
Lalu suara merdeka Soekarno Hatta
Terkumandang ke penjuru dunia
"1945, kemerdekaan Indonesia"
Maka ada episode orde lama, baru, dan terbaru
Mengerah seluruh untuk menjawab penuh
Menata batu bata yang tertulisi kata "kemerdekaan"
Membuktikan dengan ruas peras otak
Degup keras hati, kepalan tangan dan kaki
"Kami ini betul-betul orang Indonesia"
Negeri elok dari timur nun jauh
Zamrud khatulistiwa
Meski sedikit aib tergantang
Aku pantas busung dada jadi anak negerinya

Aku membenci matahari hari ini
Seperti ku membenci indonesiaku
Ada orang lahir di Bogor, besar di Amsterdam
Bangga menyebut ke-Amsterdam Belandanya
Artinya nasionalisme yang cekak
Ada sepatu Cibaduyut, malah berkata lebih sreg
Dengan Nike atau Adidas
Ada Dagadu, tapi diam-diam senyum pada Giorgio Armani
Artinya materialisme yang menggila
Ada reformasi yang cuma mari kita bersama berjanji
Ada biasa pada darah manusia, tinggal membakarnya
Ada sistem korup yang begitu aduhai menggoda siapa saja
Ada joget binatang yang malah memakai baju moral
Pada berantainya tayangan televisi kita
Ada sedan BMW dan Mercy melaju mulus di jalan-jalan utama negara
Ada Tuhan yang dikelilingi oleh asap kemenyan takhayul
Ada agama yang dikata, "ritual biasa sajalah"
Ada juga miskin dan kaya, coba kau ukur jarak langit dan bumi
Dan tentu ada kita di tengah sana
Anak negerinya

Aku cinta benci
Renyah alot jiwaku, Indonesiaku
Harus renyah
Serenyah tegar bangga Sartono mengunyah keripik kentang
Tertulis "made in Indonesia" pada bungkusnya
Didepan sebuah restoran makan ala paman sam
Pada suatu siang di Maydan Tahrir
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Sepanjang Husein dan Khan Khalili

Oleh; Mukhlis Rahmanto













Hati pertama yang ku dapat adalah lantunan seorang qari
Mengisi dan memecah gemuruh teriakan mereka kaki
Menuju mihrab
Menuju sebelahnya dengan putaran suhbah hadiah
Menuju gang-gang bercinderamata khas
Hingga tiba riak jatuh selembar seratus piesters
Harga pas untuk satu ujung
barisan lantunan ayat




Huseinku, tangisku
Aku kira mengenang adalah jalan pemberian sejarah
Helai rambut, tempat celak, secarik kain jubah
Pegang pula itu pedang keberanian Baginda
Dekap pula itu kelambu putih selimut keabadian sang cicit
Hingga jadi satu kebaikan sejarah adalah mengobar rindu
Pun sejarah menempatkan jiwa di tengah perempatan jalan pilihan
Ketidakjelasan
Lebih kuat sanadnya palsu

Kami berhenti sebentar
Kerumunan orang-orang bule bermatakan tiga;
Mata ujung senjata dan mata serdadu penjaga
Wanita-wanita besar baladina berpakaian hitam meratap dewasa;
Jalan hidup yang tidak bisa ditakwilkan
Anak-anak meneriaki balon jingga-kuning yang mengudara
Bus-bus mengucur deras denah pariwisata
Patung-patung Firaun mencoba hidup
Merah karkade tak semerah warna pajangan pakaian penari perut
Bangunan istana Mamalik seperti tak mau mengeriput tua
Lalu terekam dan terkenang begitu saja
dalam sebuah kamera

Dua arah pilihan sepanjang Husein dan Khan Khalili
Satu jalan bernama dunia fana
Satu jalan bernama akhirat penuh nikmat
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Aku

Oleh; Ahmad Jibril


Aku …
Aku adalah sayap-sayap malaikat
Yang terbang di atas nirwana
Melintasi dimensi waktu
Dan tak pernah tentu arah …

Aku terbang …
Di atas sanubari dan jiwa
Yang lenyap dalam parade kemunafikan
Dan keserakahan dunia


Mungkin aku adalah manusia
Berjiwa malaikat namun berhati syetan
Aku …
Yang dapat memainkan sabda langit
Dan memutar balikkan takdir

Aku …
Adalah jiwa-jiwa yang membangkang
Kepastian alam
Aku …
Mungkin nafsu yang bergejolak
Dalam setiap debar jantung
Dan denyut nadi setiap mahluk
Yang mengaku bertuhan

Tangan ku yang menjamah bumi dan langit
Kakiku yang berjalan di atas kehampaan udara
Tubuhku yang menjadi dambaan
Para malaikat dan bidadari syurga
Namun …
Aku…
Aku tak pernah tau siapa
Aku sebenarnya
Hingga saat ini aku
Tak pernah tau
Siapa ,kemana dan dari mana
Aku …
Akupun tak tau
Mungkin aku adalah kamu
Atau kamu adalah aku
Akupun …
Tak tau …

KEMMASS 04-02-2007
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Sang Kumbang Dimanakah Bisamu

Oleh; M. Yusuf Hasibuan


Bila hati tersiram putik sari
Seluruh tubuh kan bergetar
Untuk katakan perasaan ini

Waktu sungguh tegas
Berjalan tanpa istirahat
Sampaikan akhir masa
Membuat hatiku tersiksa
Karena ku merasa kekurangan
Untuk menyuburkan sang mawar
Bahagialah engkau dengan kumbang pilihanmu

Kuyakin bila kau bahagia
Maka aku lebih gembira
Namun bila kau sengsara
Maka aku lebih tersiksa

Bulan kaulah jadi saksi perasaan haqiqiku
Bintang kaulah jadi pengacara hatiku
Matahari adakah cahayamu
Membuat sang mawar terpesona

Bumi adakah gaya gravitasimu
Yang merayunya
Langit adakah bentukmu
Yang melindunginya
Pelangi adakah warnamu
Yang memikatnya
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Meraba Orientasi Diri

Oleh; Dahnia Ishak


Waktu yang mengurai makna
Tanpa sungkan, menelusuri rangkaian pristiwa
Membuatku terhanyut dalam bimbang
Menyisakan guratan impian
yang menyiksa

Di dalam kelam yang menghimpit sepi
Kuraba orientasi diri
Kucoba menjamah kembali
Sinar gemerlapmu yang sempat terlupa
Hanyut bersama gelak tawa tak sempurna

Bersama syahdunya rasa
Kumencari aroma Tubuhmu
Mencoba memupuk kembali desau rindu
Yang nyaris tenggelam dan menghilang

Di dalam rangkaian kata
Kubisikan kembali tulusannya kejolak cinta
Yang menjemput senandung hatiku

Buutrie 05 mei 2006 Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Nyawa Kedua Nabila

Oleh; Pahdina Daniyati



Aku masih punya kaki. Tentu saja aku lebih baik dari padamu gadis sialan. Diam-diam kalimat itu menelusupi benakku. Astaghfirullah. Kuhampiri cermin besar yang ada di kamar sempitku. Cermin tersebut dengan jujur mengakui bahwa kakiku cukup indah dan bahkan lebih baik daripada kaki gadis sialan itu yang bahkan berdiri pun tidak mampu.


"Akhhh..." teriakku mencoba melepas penat dan bosan yang menyelimutiku. Selendang yang tadinya meliliti kepalaku kulemparkan ke cermin.


Suhu darahku mencapai puncak derajat tertinggi. Aku benar-benar marah pada Nabila. Masalahnya sangat sepele, tapi karena kekesalanku padanya memang benar-benar bertumpuk dan baru hari ini tertumpahkan.

Tadi ketika menunggu jemputan Madam Nagla', aku bertemu 'Abdu, teman lamaku ketika masih duduk di Tsanawi. Sudah lama kami tidak bertemu. Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi ngobrol dengannya, namun Nabila terus saja memanggilku.


Melihat Nabila yang sepertinya tidak suka dengan kehadiran 'Abdu, tentu saja 'Abdu merasa tidak enak dengan kami dan mohon pamit untuk pulang. Aku meradang.

“Enti taf'al kedza leeh?"

Asma', isma'iini. Tidak baik berbincang-bincang dengan laki-laki sedekat itu. Sadarkah kamu tadi matanya itu bergentayangan...ah tidak usah dibahas lagi"

Hhh!!! Omong kosong apa lagi itu? Tadi aku melihat 'Abdu biasa saja.

"Tapi apa yang kamu lakukan tadi sudah membuatnya tersinggung, Nabila!!!" aku menekankan kata 'tersinggung' dalam kalimatku.

"Atau kamu iri ya melihat aku berbincang-bincang dengannya? Karena kamu tidak bisa melakukannya kan? Mana ada orang yang mau denganmu" ‌cecarku. Wajahku menghangat, aku benar-benar sudah muak. Bukan sekali ini Nabila mencampuri urusanku, sudah sering dan aku mencoba bersabar.

Astaghfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu"

Wajahnya terlihat memelas. Aku lalu meninggalkannya yang kini memanggilku.

"Asma' ...Asma'"

Kenapa masih memanggilku? Tidak ada yang akan menuntun ya? Sebentar lagi juga Madam Nagla' menjemputmu. Aku pun terus berlalu dan menjauh dengan hati kesal.


###


Bis ini benar-benar sesak, semua orang berjejalan. Banyak mahasiswa asing dalam bis ini yang mayoritas dari mereka bermukim di Nasr City. Mereka terlihat akrab ngobrol bersama teman-temannya tanap meperdulikan orang sekeliling mereka. Akrab sekali. Aku sendiri berdiri di dekat mereka. Kakiku terasa pegal. Aku menyesal menaiki bis ini. Mungkin karena sudah lama aku tidak naik bis ke kuliah semenjak aku menemani Nabila. Yah...aku selalu ikut mobil ibunya bila kami pergi ke kuliah.

Namun untuk hari ini aku tidak ingin menemani Nabila juga tidak ingin bertemu dengannya.

"Kuliah banat... kuliah banat". Teriakkan sopir bis membangunkan aku dari lamunanku. Aku tersentak. Sudah sampai. Dengan bergegas aku menuruni bis menyebalkan ini.

Ketika menjejak tanah sebuah kaleng kosong menyambutku. Kutendang benda itu sebagai pelampiasan kerisauanku yang tidak juga hilang. Lalu kembali mengayunkan langkah yang tertunda.

Langkah kakiku mendadak kuurungkan ketika kulihat sebuah sedan merah berhenti di depan gerbang kuliah. Aku mengenalinya. Aku mundur dan berlindung di balik tiang mahathah Metro depan kuliah. Nabila turun dari mobil itu dibantu ibunya. Ternyata dia masih saja nekat ke kuliah. Tak lama kemudian sang ibu masuk setelah sebelumnya dia mencium pipi anaknya.


Nabila melambaikan tangannya. Kebiasaannya setiapkali mobil itu akan melaju dan menjauh. Jika mobil tersebut tidak lagi kelihatan barulah Nabila menjalankan kursi rodanya.

Entah dia sedang memikirkan apa, dia hampir saja menabrak seseorang namun dengan sigap tangannya memutar kusi rodanya. Malangnya kursi itu berputar ke arah yang salah dan menuruni tanjakan ke arah jalan raya, kursipun terbalik. Nabila terjatuh ke aspal. Sebuah mobil yang sedang melaju berhenti mendadak. Aku tertegun sesaat. Ah, hampir saja. Nabila merangkak mencoba meraih tasnya dengan susah payah. Orang-orang disana langsung turun tangan membantunya menaiki kursi roda.

Dasar ceroboh. Batinku. Rasa iba mengetuk-ngetuk pintu hatiku tapi tetap saja tidak menggerakkanku untuk mendekatinya. Entah setan apa yang sedang menahanku.

Aku bingung apakah aku tetap akan kuliah atau tidak. Kuputuskan untuk tidak saja.


###


Nabila adalah anak bungsu Tuan Ismail yang tinggal di tingkat 3 di imarah yang dijaga ayahku. Sebelumnya dia kuliah di 'Ain Syams, sebuah universitas bergengsi di Kairo yang pastinya tidak terjangkau oleh orang rendahan sepertiku. Kuliahnya terhenti di saat dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan kakinya. Waktu itu dia jatuh dari balkon rumahnya, ketika dia mencoba menggantungkan pot bunga ke ujung langit-langit balkon. Benar-benar sebuah kecerobohan. Bagiku Nabila adalah gadis yang ceroboh.


Hampir setahun dia depresi disebabkan kecelakaan yang menimpanya tersebut. Ketika suatu hari keluarganya dikejutkan dengan permintaannya untuk kuliah lagi. Bukan di 'Ain Syams tapi Azhar. Penampilannya pun berubah. Sebelumnya Nabila menolak memakai jilbab, dengan alasan jilbab sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Baginya bukan saatnya lagi wanita terkungkung oleh tradisi agama. Wanita muslimah zaman sekarang harus bisa mengalahkan orang-orang barat. Hingga semuanya berubah total. Nabila yang dulu telah mati bersamaan dengan kematian kakinya. Rencana Tuhan memang tak terbaca.


Ibunya pun memanggilku. Saat itu aku memang baru menyelesaikan bangku Tsanawiy. Dia memintaku untuk menemaninya kuliah dan dia akan memberiku uang. Untuk hal ini Nabila tidak tahu apa-apa. Tentu saja aku mau. Dengan hanya menemani Nabila aku bisa mendapatkan uang, yang tentu saja akan kuperlukan pada saat aku kuliah. Karena gaji ayahku yang hanya seorang bawwab tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhanku yang semakin hari semakin bertambah.


###


Ayah sakit. Tangga-tangga imarah ini belum dibersihkan. Ibu menyuruhku dan ke dua adikku untuk menggantikan ayah membersihkannya. Dengan enggan aku melaksanakannya. Semuanya kukerjakan dengan cepat. Setelah selesai aku mencuci mobil para penghuni imarah kami.


Asma'...Asma' ta'aliy" itu suara Nabila, aku melihat dia melambaikan tangannya ke arahku dari balkon rumahnya. Ah... ternyata dia dari tadi memperhatikanku. Nabila tersenyum ramah, sepertinya dia tidak marah dengan kejadian kemarin sewaktu aku meninggalkannya sendirian di depan kuliah. Kuakui dia cantik sekali hari ini. Tentu saja, karena dia pasti dengan rajin merawat tubuhnya dengan alat-alat kosmetik mahal.


Yalla, ta'ali, wahesytini awiy" teriaknya lagi.

Aiwa, istanniy aku selesaikan pekerjaanku dulu", balasku berteriak. Dari arah dalam Madam Nagla' muncul dan memanggilku.

“Oh iya Asma', sebelum naik tolong belikan pesananku ya?"

Dia menurunkan sebuah keranjang dari balkon rumahnya. Setengah berlari aku menyambutnya. Di dalamnya terdapat uang 50 pound dan secarik ketas berisi catatan pesanannya.


###


Nabila menyambutku dengan sumringah ketika aku memasuki rumahnya. Madam Nagla' meraih kantong belanjaan yang ia pesan.

“Maaf kami tidak bisa menjengukmu, aku sangat sibuk di rumah sakitأ

“Menjengukku?" mataku beralih menatap Nabila heran. Dia mengedipkan matanya.

Yalla ya mama masakan mama di dapur menunggu" kata Nabila memperingatkan tapi bagiku itu hanya untuk mengalihkan perhatian Madam Nagla'.

Ma'alisy" aku bilang pada mama bahwa kamu sakit beberapa hari ini"‌jelasnya. Lalu dia menarik tanganku.

“Ayo ke kamar, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu"

Aku mendorong kursi rodanya memasuki kamarnya. Seketika penciumanku menangkap keharuman dan suasana yang indah ketika memasukinya. Kamar Nabila berwarna biru, warna kesukaannya. Kamar yang apik dan rapi. Karpetnya juga empuk. Dilengkapi satu dipan dengan sprei biru berbunga-bunga kuning dan lemari pakaian berukuran sedang dengan motif ukiran bunga. Di samping lemari ada meja belajar dengan seperangkat komputer di atasnya. Komputer itu aku sering aku gunakan menjelajah dunia maya. Nabila tidak keberatan dengan kebiasaanku tersebut. Di dinding dekat pintu masuk ada poster berbingkai. Satu-satunya gambar yang menghiasi kamar ini. Gambar seorang tua dengan janggut putih memenuhi wajahnya dan di atas kepalanya sehelai kain putih menutupi. Aku mengenalnya sebagai seorang pejuang hamas yang meninggal karena dibom oleh Israel beberapa waktu yang lalu.


Aku duduk di atas kasur, sedang Nabila keluar kamar. Mengambil minuman, katanya.

Mataku masih tetap terpaku dengan gambar itu. Aku sudah sering keluar masuk kamar ini, tapi gambar ini tetap saja menarik perhatian. Aku hanya heran saja jika gambar sebesar ini tergantung di kamar seorang gadis. Biasanya seorang gadis memasang sebuah lukisan atau foto dirinya di kamarnya.

“Sedang apa?" tegur Nabila yang masuk tanpa aku menyadari. Dia meletakkan sebotol 'ashir di sampingku. Aku mengangkat pundakku.

“Tidak ada...hanya... gambar itu, awet sekali berada di tempatnya" aku memutar telunjukku mengarah ke gambar tersebut.

“Oh gambar itu ya, sepertinya sudah sangat kotor"

Tangannya mencoba meraihnya. Melihatnya seperti kesusahan, aku membantu mengambilnya. Dia membuka laci bawah meja dekat dipannya, dan mengeluarkan secarik kain lap dari sana. Tangannya pun mulai berkerja.

“Apa kau tidak ingin menggantinya dengan gambar yang lain?"

Kepalanya beralih ke arahku. Dia berpikir sesaat lalu menggelengkan kepalanya.

“Kurasa tidak.."آ‌ujarnya pelan.

“Kenapa?"

“Gambar ini memberi aku sebuah motivasi dalam menjalani hari-hari. Perjuangannya dalam mengarungi hidup benar-benar menggugah hatiku. Aku telah jatuh cinta dengan semangat dan pengorbanannya"

Aku mengernyitkan dahiku mencoba memahami perkataannya.

أBeberapa bulan yang lalu aku membaca riwayat hidupnya di Internet. Saat itu aku masih depresi karena kecelakaan yang merampas ke dua kakiku" Nabila menghentikan kalimatnya sejenak dan melanjutkan.

"Setelah aku membaca riwayatnya. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibanding dia. Dia lumpuh semua anggota badan sedang aku hanya tidak bisa mempergunakan kakiku. Aku masih punya tangan dan masih bisa melakukan apa-apa. Dia dengan kelumpuhan di hampir semua anggota badannya bisa menjadi figur buat semua orang. Sedang aku? Apa yang telah aku lakukan selama ini? Tidak ada artinya"

"Lalu aku?"

"Aku mendapatkan peluang lebih banyak darinya. Aku ingin mengabdi untuk semua orang. Karena itu aku memutuskan untuk kuliah lagi. Sebelumnya aku pesimis dengan niatku. Yah tapi segala sesuatu yang kita putuskan pasti ada resikonya. Dan perjalanan yang kita lalui tidak mungkin selamanya mulus. Dengan azam ini aku mencoba untuk terus maju"

"Eh Asma' ashirnya diminum"

"Oh iya...iya"

Meski begitu, aku juga masih takut akan masa depanku. Terkadang aku tak tahan dengan tatapan iba orang-orang di sekelilingku. Aku benci dengan kaki yang tidak berguna ini. Aku iri denganmu, Asma'. Kau punya anggota tubuh lengkap dan cerdas. Kau punya banyak kesempatan lebih dariku untuk beramal. Tapi aku tetap harus bersyukur, karena Allah masih memberiku kesempatan hidup untuk memperbaiki diri. Allah memberiku nyawa ke dua dengan jiwa dan semangat yang berbeda. Ah, jika menengok kebelakang melihat masa laluku, aku benar-benar malu.


Kata-kata Nabila mengalir seperti air dan seketika berhimpun menjadi ombak besar yang menerjangku. Aku memang punya banyak kesempatan beramal daripada Nabila, tapi tersia-siakan. Aku juga mengakui kecerdasan akademisku lebih tinggi dari Nabila, tapi Nabila juga mempunyai "kecerdasan" yang melebihiku. Dia sangat tekun dalam belajarnya. Buku-bukunya juga berjilid-jilid.

“Oh iya aku lupa, kemarin mama membelikan aku beberapa abaya. Kamu mau lihat?"

Tanpa menunggu persetujuanku, Nabila membuka daun pintu lemarinya. Dia mengeluarkan sebuah kantong bermerk nama salah satu mall terkenal di Kairo ini. Isinya abaya-abaya cantik beserta jilbab yang sepadan. Pikiranku menerawang, andai saja aku mampu membelinya.

“Kamu boleh pilih sesukamu?" ‌bisik Nabila.

“Untukku? Benarkah?"

Nabila mengangguk dengan senyum ketulusannya. Ah kau sekali lagi melampaui aku Nabila. Meski tanpa aku katakan aku akui dari dulu aku iri padamu sebagaimana kau iri padaku.♀
Selengkapnya...

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget