.quickedit{ display:none; }
Sepucuk surat maaf dari Ibu

Oleh; Meta Hirata



Hari berlarian dalam rintik hujan yang sore ini mengguyur kota kecil dimana ia tinggal, Basah kuyup tak dihiraukannya. Meliuk-liuk diantara keramaian mahasiswa yang sore ini baru pulang kuliah. Hari semakin petang dan sebentar lagi bedug adzan maghrib akan terkumandang dari masjid-masjid yang bertebaran diseluruh sudut kota.

Kota yang damai penuh wahana iman yang membentuknya menjadi seorang mukmin sejati. Di kanan-kiri jalan yang dilaluinya penuh sesak dengan kendaraan yang saling berpacu untuk mengejar waktu berbuka. Di teras-teras masjid para pemuda menyiapkan buka puasa gratis yang sudah menjadi tradisi dikota itu, tradisi yang sudah turun temurun dari leluhur para wali yang selalu mereka kagumi.

Beberapa menit sebelum adzan berkumandang Hari telah sampai di masjid dimana dia selama ini berteduh dan menumbuhkan benih-benih imannya. Sore ini seperti hari-hari sebelumnya dia akan mengumandangkan adzan sekaligus sebagai relawan yang menyiapkan berbuka puasa. Setelah mandi dan berganti baju seadanya Hari bergegas menyiapkan minum dan makanan yang diantar warga secara suka rela. Walaupun terliahat lelah dia tetap bersemangat melakukan semua mungkin karena dia tau di masjid inilah pertolongan Allah menghampirinya. Beberapa tahun yang lalu.

"Allahu akbar Allahu akbar"...adzan maghrib pun berkuamandang saatnya berbuka puasa.

###

Seorang ibu tua duduk dipojok ruangan yang hanya diterangi temaram lampu duduk yang hampir sama tua dengan usianya. Seolah redupnya cahaya diruangan itu mengungkapkan hati pemiliknya yang suram tak bercahaya.

Dipandanginya foto seorang pemuda disamping jendela tepat di depan dia duduk di kursi goyang yang sudah tua. Pemuda itu adalah anak semata wayangnya. Kini dia sangat kesepian diusianya yang senja dia hanya berteman sepi setelah suami yang menemaninya selama ini meninggal mendadak beberapa tahun yang lalu.

Dari sinilah kesepian hidup mulai membalut seluruh tubuhnya yang renta, rapuh termakan usia dan jiwanya yang selalu kosong.

Lirih terdengar suaranya berkata pada hujan yang turun sore ini. Sambil diamatinya patung salib yang jatuh kelantai menyisakan puing-puing yang berserakan. Akidah yang dianutnya selama ini mulai hancur barantakan menyisakan puing-puing layaknya salib itu. Semua hanya dibiarkannya begitu saja.

"Nak kembalilah, Ibu sudah sadar tentang apa yang ibu anggap dulu kamu lakukan adalah sesat, kini Ibu hanya ingin meminta maafmu untuk yang terakhir kalinya"

"Pulanglah anakku"

###

"Har, Sini bapak mau bicara sama kamu". Seorang bapak separo baya memanggilnya dari teras masjid yang sudah sepi.
"Iya pak" Jawabnya sambil berjalan membawa dua gelas teh hangat sisa buka puasa tadi.
"Har gini lo sekarang sepertinya memang sudah waktunya, kamu sudah lulus kuliah dan sudah bekerja, pastinya 5 tahun merupakan waktu yang lama untuk memulai kembali bagian hidup kamu yang sudah hilang."
"Iya pak haji saya tahu" Jawabnya singkat denagn penuh rasa hormat, tak patut rasanya dia membantah seorang guru sekaligus penolong yang menuntunnya menuju cahaya hidayah Allah.
"Ya sudah bapak pulang dulu, inget pesen bapak ya". Kata bapak itu sambil berlalu pulang kerumahnya disamping masjid.

Hari masih saja merenung diteras masjid hingga larut malam itu, Ditemani rintik hujan yang dari tadi tak kunjung reda hatinya mulai gundah.

"Sudah saatnyakah aku kembali?"

Hatinya masih tampak ragu menimbang semua permasalahan yang setiap menjelang idul fitri selalu menghimpitnya. Dia hanya ingin minta maaf.
Angannya kembali menelusuri jejak masa lalu yang pernah menjadi cerita dalam hidupnya. Beberapa tahun yang lalu sewaktu baru saja menamatkan SMA dia putuskan untuk mengejar panggilan batin yang terus mengusiknya. Perbadaan keyakinan dan keputusan untuk mencari hidayah dalam Islam membuatnya diusir oleh bapaknya, Bukan karena bapaknya seorang pastor namun bapaknya tak kuat menanggung malu karena setelah mendapat beasiswa selama 6 tahun sejak kelas satu smp dari gereja katolik dimana mereka beribadah anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan oleh sang pastur untuk menjadai penggantinya malah berbelok mencari jalan baru dalam hidupnya.

Malam itu hujan turun dengan derasnya, Petir dan halilintar mengelegar menjilat-jilat diluar sana. Suasana semakin mencekam. Tangis sesenggukan seorang ibu yang bagaikan siraman hujan menetes tiada henti dan harus beradu dengan gelegar kemarahn sang ayah yang mirip petir diluar sana, Menyeruak diantara kesunyian malam.

"keluar kamu dari rumah ini, Bapak sudah tidak menganggap kamu anak lagi, keluar!!!"
Saat itu pula dia langkahkan kaki untuk pergi bersama deraian tangis ibu dibawah guyuran hujan yang tiada henti, Pikirannya bergejolak hebat menerima keputusan seorang ayah dengan kemarahan menggelegar bagaikan peitr yang terus saja menyambarkan lidah-lidah cahaya yang meremukkan seluruh kesadarannya. Dia hanya terus berlari hingga panggilan Tuhan memanggil jiwanya singgah menemui hidayah yang dicarinya disebuah masjid dipinggir kota.

Dia sadar dengan sepenuh hati bahwa lebih memilih pergi dari pada bertahan menemani ibunya yang diam-diam ternyata mulai tertatrik dengan apa yang semakin dipercayainya, Dengan berat hati dia tak lagi melihat tetes air mata sang Ibu yang beranak sungai menangisi kepergian buah hati yang paling diharpakannya bisa membawa raga tuanya menuju hidayah yang sesungguhnya.

###

"Ashadu alla Ilaha Ilallah, Wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah"
Dengan dibantu Ustad Ghofur Ibu Elliana mengucapkan kalimat sahadat, setelah bertahun-tahun melalui proses yang sangat melelahkan kini dipenghujung usia senjanya siIbu akhirnya menemukan kembali hidayah yang sesungguhnya. Prosesi yang dipimpin oleh seorang Ustad muda itu berlangsung hikamt dan sederhana disebuah musholla yang baru dibangunnya didaerah terpencil yang masyarakatnya mayoritas kristen. Namun semenjak juragan juwono yang menjadi penopang dana gereja meninggal setelah anakl alki-lakinya pergi dari ruamh dan menjdi muslim otomatis gereja semakin sepi dan tak punya andil lagi dalam desa itu. gereja sudah tak mampu lagi mensubsidi akidah kristen yang mereka tuakr dengan bermacam-macam sembako dan uang. Masyarakat sudah bosan mendengar doktrik-doktrin palsu mereka.

"Ustad, Boleh saya minta bantuannya!" Ibu itu melontarkan sebuah permintaan yang menurut firasatnya adalah mungkin yang terakhir untuknya.
"Iya ibu silahkan saya akan bantu dengan semampu saya" Jawab ustad ghofur dengan raut muka penuh senyum.
"Saya minta tolong sampaikan surat permohonan maaf saya kepada anak laki-laki saya jika suatu saat nanti dia kembali ke desa ini" Nadanya sedikit lemah berharap anaknya mau memaafkan khilaf yang selama ini menjadi beban hidupnya.sambil menyerahkan surat itu dia meneteskan air mata.
"Oh ya Bu, Saya akan tunaikan amanat ibu. Maaf anak ibu namanya siapa dan kalau boleh saya lihat mungkin ibu masih ada fotonya!"
Mendengar jawaban ustad itu wajah si ibu terlihat tersenyum walaupun airmatanya masih menganak sungai menuruni pipinya yang keriput termakan usia senja.
"Hari samudra, Nama anak saya ustad dan ini fotonya sekitar 5 tahun yang lalu sebelum dia diusir bapaknya karena lebih memilih masuk islam. Saya merasa bersalah karena waktu itu saya takut akan ancaman suamai saya jika tetap mengakuinya sebagai anak maka hari dan saya akan dibunuhnya. Akhirnya dengan berat hati saya hanya mampu menangis saat dia pergi dibawah hujan deras bercampur petir yang menggelegar sepanjang malam. Namun tak lama setelah hari pergi suami saya mulai menyesal dan membawa penyesalannya hingga ajal menjemput".

Ustad ghofur termenung sebentar, Sepertinya dia sangat kenal wajah pemuda itu.

"Subhanallah, anak ibu itu sepertinya teman satu kuliah saya. Iya benar namanya adalah Hari Samudra yang biasa saya panggil mas hari kalau gak salah tinggal disebuah masjid dipinggir kota sebagai relawan sekaligus ustad ngaji di masjid itu, Masya Allah benar-benar anugrah Allah Bu."

Dengan penuh rasa syukur si Ustad meberikan secercah harapan untuk si Ibu. Namun Ibu tua itu masih saja terperanjat tak percaya betapa dekat dan betapa besar pertolongan Allah pada hambanya. Air matanya kembali menetes haru.

###


"Hari anakku, Ibu pergi dulu, sudah saatnya kamu pulang. Ibu hanya bisa ngasih ini buat kamu."
Suara dan wujud itu tiba-tiba menghilang dalam kabut putih yang pekat aku berlari mengejarnya tapi entah mengapa semakin jauh dan hilang dari pandanganku. Aku masih terdiam menggenggam surat yang Ibu tinggalkan, aku ingat benar itu adalah wajah Ibuku.
"Iii...bu..uuu" aku berteriak.
"Subhanallah"

Hari terabngun dari mimpinya dengan peluh yang membasahi keningnya. Termenung memikirkan tentang mimpi yang baru dia alami. Kerinduan untuk kembali kepangkuan sangBunda tak lagi tertahankan. Rencana untuk pulang esok pagi dia yakinkan untuk terealisasi setelah bebrapa tahun terakhir selalu gagal karena keraguan yang menyesakkan hatinya. Mungkin mimpi itu juga yang terus menghantuinya beberapa hari ini, Perasaanya pun mulai bergejolak.

###

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laiilaha illahu wallahu akbar...
gema takbir masih terdengar disana-sini, Suasana yang sungguh dirindukannya kini benar-benar nyata ada dikampungnya. Sepujuk surat maaf sekaligus surat terakhir dari Ibunya masih terpegang erat ditangan kanannya.

Dia kini hanya mampu duduk bersimpuh ditanah pekkuburan yang masih merah, Ibunya baru saja meninggal beberapa ahri yang lalu. Tetes air mata sedih dan bahagia bercampur menjadi satu, bahagia karena Ibunya telah menemukan hidayah Islam yang sesungguhnya, sekaligus sedih karena dirinya sudah tak bisa lagi bersimpuh meminta maaf.

Sepucuk surat maaf dari Ibu masih tergenggam ditangannya.


Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget