.quickedit{ display:none; }
Memikirkan Sebuah Indonesia

Oleh; Mukhlis Rahmanto












Mencintai Indonesia adalah Mencintai Politik
Sajak dari Langit Tak Mendung

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang ramai-ramai dijadikan topi, jaket juga sarung
Penutup borok pikiran dan gila kekuasaan
32 tahun tidak jemu makan malam dan buang air besar
Dengan jamuan dan menu kayu jati Kalimantan, emas Freeport dari Timika,
gas alam Arun plus darah rakyat Aceh,
aspal Buton, dan minyak bumi Pangkalan Brandan
Di ruang tengah dan kloset belakang Istana Kepresidenan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang menanam pohon sentralisasi pemerintahan
: Harus "Jawa", bukan Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, apalagi Lombok
Yang mengumpulkan anggota keluarga tujuh turunan
: Jadi para wakil rakyat di parlemen
Jadi konglomerat-borjuis baru dadakan
Raja-raja tender proyek pemerintah
Padahal secara takdir, "Butuh kristalisasi keringat,
artinya perjuangan", kata Thukul Arwana di acara Empat Mata

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang diusung, diikat, dan dibudayakan
Oleh partai-partai politik yang gemar mengumbar
Gelas-gelas kosong-bohong pragmatisme
Lalu meninggalkan luka dan darah tercecer
Yang ditorehkan oleh fanatisme akut para pendukung
Di jalanan-jalanan utama ibukota, provinsi, hingga kabupaten
Dan yang menang pemilu tentu orang-orang itu
Yang memakai kaos dan merchandise kuning itu
Politik jadi bernilai rendah, jadi sekedar babu abadi kekuasaan

Yang harus disalahkan adalah politik
Yang berisikan keputusan-keputusan
Ekonomi yang mengayomi kepala-kepala konglomerat
: Artinya membunuh kelas-kelas industri menengah ke bawah
Militer yang malah menembaki rakyat
Kebudayaan yang dikomandoi dari pusat
Kebebasan yang dihantui langkah-langkah sigap intelejen
Keadilan yang direkayasa oleh bapak-ibu hakim kejaksaan
: Artinya keadilan adalah beberapa lembar uang rupiah atau dolar
Bisa juga satu lembar check transfer yang langsung bisa diambil di Bank
Pendidikan dalam satu warna seragam
: Mematikan kreatifitas dan mengajarkan pengingkaran
bahwa manusia itu berbeda-beda, tidak satu rupa
Ada yang miskin, juga ada yang kaya
Lalu ujung runcing politik adalah lima sila Pancasila yang dipasang sebagai justifikasi
di depan moncong senjata-senjata polisi yang bertekuk lutut
di depan selembar uang seratus ribuan, artinya uang sogokan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang menjadikan darah manusia nusantara
: Tidak lagi merah-putih seperti pendahulu yang berani mengusir
kolonialisme Inlander dan orang-orang bule penjajah itu
Kini darah itu malah cair dan menghamba pada tuan dan investor asing
IMF, LSM dan dana asing, juga presiden USA itu
Yang membentuk mental cekak-pendek manusia nusantara
: Sarjana yang ingin jadi pegawai negeri semuanyalah
Korupsi yang dijadikan uswah hasanah oleh para cucu hingga para cicitlah
Materialisme dan hedonisme yang menggilalah
Pokoknya ingin serba cepat dengan uang darurat
Tanpa darah dan keringat
Tiba-tiba jadi pejabat eselon empat
Akal yang sehat bertanya, "darimana semua itu bisa cepat didapat?"

Yang harus dibenarkan adalah politik
Dengan kesadaran bahwa demokrasi adalah proses untuk berjalan bersama
: bermacam partai tidak mengapa asal rakyat dan kestabilan dipanggul
Tapi stabil yang bukan "status quo"
Sebab ketenangan adalah harga mahal sebuah kemajuan
Rakyat sudah muak dengan kebohongan, ulah, dan itu-itu saja
Dengan mereka para politikus yang membusungkan dada rakyat
Bukan perlahan sembunyi menggelambungkan perut pribadi, anak, dan istri
Dengan dunia politik yang tidak serba penuh dengan intrik menjatuhkan
: Tapi ya, kalau terbukti korupsi. Ya, harus legowo.
Dengan politikus yang bermutu, ahli, dan professional
: Sebab politik adalah semacam ibu bagi segala kebijakan
Dengan politik dan politikus yang bersih dan berhias moral agama
: Bukan malah menjual agama dan fatwa, yang artinya
Menjual ayat-ayat Tuhan. Bayangkan!
Bekerja di parlemen tapi juga bertanggung jawab ketika di dalam masjid
Artinya, alur utama politik yang seyogyanya adalah Ketuhanan
Dan reformasi adalah pembenahan dan pembenaran alur buntu politik kita
: Reformasi adalah semacam kelahiran baru bayi demokrasi
Perlu gizi yang cukup untuk tumbuh, juga masa yang tidak cukup sewindu
Perlu guru yang membimbing-arahkan
Perlu agamawan yang menyuluh moral dan kerukunan
Perlu teknokrat yang mumpuni
Perlu tentara yang kuat dan berani mati
Perlu seniman yang kreatif menghibur segar ringan
Perlu rakyat yang patuh tapi tak segan jadi oposisi mengingatkan


Yang harus disalahkan adalah politik
Yang harus dibenarkan adalah politik
Salah benar adalah wajah kita semua
Salah benar adalah rasa seduh hangat cinta kita
Salah benar adalah
: Langkah kaki, gerak tangan, air mata, tetes keringat, dan degup jantung
Aku, kamu lalu kita
Yang seratus persen asli, anak negerinya

Abaseyya-Kairo, Rabiul Awwal 1427 H
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
KU TAKUT UNGKAPKAN SUNYI

Oleh; Widi Indriana


Hening
Menusuk ubun-ubun jantung nadi ini
Terperangkap;terjerat;
Menggugah kesunyian yang sempat meradang;mendahsyat;
Dalam ketukan-ketukan syair ketiadaannya

Hanya alunan derap kecapi
Yang mampu menembus dengan nuansa keelokan
Menderapkan segala kesunyiaan
Memusnahkan segala kepalsuan
Hingga ku mampu bersiul lepas
Dengan senyum simpul manisku

Indah tak beraturan…..

Endapan lara ini kian merajut
Yang menghantui buih-buih nestapaku,lalu
Kulantunkan melodi-melodi manis
Membayangkan aku dalam riuhnya alunan-alunan syair itu
Terjerat,terlena hingga asoi ku dibuatnya

tapi
Mengapa cercahan itu berbekas,berbalas
Menjadi bongkahan lara
Yang terkadang ingin ku halau,
Hingga ku bawa ke danau-danau; bukit-bukit menuju langit
Bersimpuh menyusun nada,bergelora mencari mangsa
Sehingga……
kalimah-kalimah cintapun dianggap dusta semata

Detak hati

Derap kecapi itu membuatku takut akan kesunyian.
Karna sunyi…..
Ku tak mau sendiri
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Korban Perasaan Tanda Kasih Sayang

Oleh; Helda Zakaria Nur




Hari ini banyak sekali air mata yang ku tumpahkan, Aku sendiri sering bertanya pada diriku sendiri, Kenapa Aku terlalu lemah?Kenapa ku terlalu cengeng? Kenapa Aku terlalu takut menghadapi kehidupan ini? Ah Aku seperti orang yang punya semangat hidup aja! Banyak sekali masalah yang ku hadapi Di Mesir ini, ada yang bisa ku hadapi dengan tenang ada juga yang sulit untuk ku selesaikan. Kalau udah terlalu banyak masalah palingan Aku hanya mengadu dengan Allah sambil mengurung diri di kamar sendirian, Aku belum bisa untuk berbagi cerita tentang masalah ku ke orang lain, mungkin itulah kekuranganku.

Suasana di kamarku kali ini terasa lebih tenang dari biasanya, bunga yang ada di atas meja belajarku itu memberikan sedikit keindahan di hatiku, walaupun hatiku kali ini lagi kalut. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku biarkan tatapanku menembus awang-awang.

Tok…tok…tok..
"Assalamualikum..."
Lamunanku terhenti seketika,
"Wa'alaikum salam" Jawabku singkat sambil membuka pintu
"Eh.. ada Chika, masuk K'!" suruhku padanya
Ku perhatikan wajahnya, Aku g' bisa menebak apa yang akan ia bicarakan pagi ini, ku biarkan ssaja dia memulai percakapan. Aku lagi terbawa perasaanku sendiri.
"Ra, emm…Gue boleh minta tolong g?
"Boleh…! Jawabku singkat
" Loe punya uang simpanan g' , gue lagi butuh uang banget nih, 100 Pound aja!"
" O…, Aku kira ada masalah apa, ntar ya ku lihat dulu"
"Wah, sorry banget K' uang ku Cuma 75 pound, g' cukup seratus! kemaren Aku baru aja beli buku di Ma'rod, Ma'alays ya!",
" Kalau Aku pinjam 50 boleh ya? Pintanya memelas
" Boleh, nih pake aja" jawabku sambil mengeluarkan uang yang ada di dompetku itu.
" Thanks ya, Ra!"
" Ya sama- sama!' jawabku singkat sambil menutup pintu kamarku.

Bingung juga sebenarnya seharian gini g' kuliah dan ngurung di kamar, biarlah yang penting Aku bisa menenangkan pikiran dan mengumpulkan semangat baru, masalah itu sebenarnya membuat manusia lebih dewasa dan tegar dalam menghadapi kehidupan, tapi kenapa manusia sering takut dan sedih ya? Kata-kata ini yang sering ku ucapkan untuk menghibur kesedihanku dan untuk membangkitkan semangatku kembali. AKu kan sekarang udah jadi kakak kelas, berarti Aku harus lebih dewasa, kan malu sama adek-adek.

# # #

Suasana malam ini terasa lebih indah bagiku, karena Aku bisa kumpul bareng adek-adek baru yang ada di rumahku. Ada Ani dan Rena. Sudah dua minggu mereka bersama di rumah ini, tapi Baru kali ini kami bisa lebih akrab dengan mereka. Mungkin karena aku jarang makan malam bareng mereka, Biasa banyak tugas di luar.

" K' K' Chika mana ya?" tanya Ani
" Mungkin lagi di rumah temennya!"
"O..o.." balas Ani
"K' Aku sedih hari ini, karena ablah marahin Aku waktu tobur ngambil tasdik iqomah tadi pagi, padahal kan Aku cuma nanya, kapan ya kira-kira tasdiknya bisa saya ambil, karena AKu mau masuk kelas ikut muhadaroh Quran" cerita Rena memula topic pembicaraan malam ini
" Iya, K' aku juga dibukrohin trus sama ablah, Kenapa sih Al-Azhar sekolah yang terkenal diseluruh dunia, urusin tasdik aja susah amat! G' keren banget, !" celuruk Ani menambahkan
" Kalau g' gitu bukan Azhar mananya! Nah disitulah letak kerennya azhar!" jawabku santai
" Lho kok?" jawab mereka serentak
" Iya dong, coba deh kalian fikirin, kalau misalnya Azhar serba gampang, ga' ada tuh ulama-ulama yang sabar dan tangguh menghadapi umat, baru ngurus gituan aja nyerah, ngeluh makanya sebelum ngadepin masyarakat, hadapin dulu ablah-ablah atau amu-amu di kuliah itung-itung ngetes mental juga.He…he..!" Jawabku enteng
" Iya tapi kan buang-buang waktu banget, K'!"
" Biar waktunya g' terbuang sia-sia, waktu tobur baca buku aja, dari pada bete' nungguin, kan bermanfaat juga !" saranku pada mereka.

Mereka hanya mengangguk tanda setuju dn membenarkan apa yang ku katakan. Kami pun diam sejenak. Hidangan yang tersedia di meja makan kami lahap satu persatu, nikmat sekali. Ikan sambel yang dibuat Rena habis tanpa sisa. Oseng-osengannya juga g' ketinggalan. Semua sibuk dengan makanan nya masing-masing

" K' Aku dapet undangan lho dari temanku , minggu depan acaranya"
" Undangan apa?" tanyaku singkat
" Undangan perkawinan, acaranya di mesjid assalam, kata temen-temen calonnya sih S2 " Jelas Rena
'' O .. ya, dimana ketemunya ya? padahal kita baru aja beberapa minggu disini belum nyampe sebulan , dimana kenalnya ya?" tanya ani keheranan. Belum sempat Aku menjawab tiba tiba Rena nyambung lagi
" K' di Kairo ini, banyak banget yang merid pas kuliah kan? Sampe-sampe di Indo ada orang tua yang takut sekolahin anaknya di kairo karena katut anaknya merid pas kuliah, ini bener lho kak, tetangga ana sendiri yang kaya' gitu. Lagian Film- film Indo banyak yang menceritakan tentang keadaan seperti itu. Liat aja di film Kiamat Sudah Dekat, Padamu Aku Bersimpuh, dan yang bakalan heboh Ayat-ayat Cintanya Kang Habib."
" Gitu aja heboh, malahan justru hal- hal yang baik itu yang harus kita dukung, dari pada pacaran yang g' jelas, Ayo pilih mana? Tanyaku balik
" Iya sih K', tapikan masih tingkat satu, masih perlu belajar, jangan-jangan udah merid, kuliahnya jadi berantakan, karena banyak yang di urus, suami, anak, belum lagi ngurus kuliah sendiri, hi… g' kebayang deh!" Ani tampak aneh dengan keadaan seperti itu.
" Terserah anggapan orang deh, temen kakak malah nilai nya bagus setelah merid, ayo gimana? G' semuanya bener kan kata orang- orang! kalau mau lebih yakinnya, rasakan aja sendiri, kita siap jadi panitia kok, he..he…" Kataku sambil becanda
" Idih kakak, kok gitu sih, jangan- jangan yang ngomong lagi bakalan nyusul bentar lagi!"
Kali ini Aku hanya tersenyum sambil menghabiskan makanan ku yang tersisa beberapa suap itu. "Belum tahu dia" bisikku dalam hati. Kami pun diam sejenak.
" K' Aku kasian dengan temen seangkatanku, ada 11 orang yang belum jelas statusnya di Mesir ini!" Ani memulai percakapan
" Kok bisa?" tanyaku balik
" Iya, karena mereka ke sini sebelum ada surat keterangan Sifaroh Mesir, jadi visanya bukan visa pelajar, melainkan visa turis, Padahal mereka ikut test lo di Indo!" jelas Ani kembali
" O..ya,! Kakak yakin PPMI dan KBRI pasti lagi cari jalan keluar untuk mereka, kita doakan aja, semoga mereka sabar dan dimudahkan urusannya oleh allah"
" Amin…! Jawab mereka bersamaan

Allahu Akbar….Allahu Akbar…

" Udah azan tuh , kita siap siap yuk!" ajakku pada mereka.
Mereka pun bergegas sambil merapikan meja makan .
" Kakak Wudhu duluan ya..!" pintaku
" Iya" jawab mereka serentak

# # #

Ku lihat Chika tergeletak tidur di atas kasur empuknya itu, ku dekati ia perlahan. Ku lihat wajahnya lebam, kaki dan tangannya ada goresan luka-luka.Pasti ia merasakan sakit sekali bisikku dalam hati, apa yang terjadi padanya Allah? Tanyaku dalam hati. Aku hanya memperhatikannya sebentar tanpa berani untuk bersuara sedikitpun. Kasian Pikirku ia terlalu cape' dan pulas. Aku juga mengambil posisi yang tak jauh beda dengan nya, merebahkan tubuh yang lemes di atas shofa empuk ruang tamu, Aku cape sekali hari ini, kuliahku full sampe jam tiga sore,Aku harus mengembalikan sedikit tenagaku menjelang sholat ashar. Aku berbaring sejenak, semoga tidurku kali ini emang bener-bener berkualitas harapku dalam hati.

Azan yang berkumandang terdengar nyaring di telingaku, membuat aku terjaga dari tidur yang hanya seperempat jam itu, Alhamdulillah badanku kali ini lebih Fresh dari yang tadi. Aku bergegas menuju hamam untuk bersih-bersih dan wudhu. Hampir aja Aku lupa kalau Chika masih tertidur pulas, Aku harus membangunkannya. Chika yang kelihatan cape ternyata pas aku bangunkan ia langsung sadar, Aku kira ia g' dengar dengan suaraku, karena suaraku lebih pelan menurut biasanya. Takut mengagetkan dia yang lagi sakit. Akhirnya kamipun sholat berjamaah.

Selesai sholat dan berdoa kami saling bercerita satu sama yang lainnya. Ia mulai menceritakan masalah yang paling pribadi ke Aku, masalah keluarga, temen dekat, bahkan kenapa ia luka-luka seperti ini.

" Ra maafin Gue ya, karena belakangan ini Gue jauh dari loe n jarang di rumah, Gue lagi suntuk berat belakangan ini, tapi sekarang Geu baru sadar, bahwa masalah yang Gue hadapi belum seberapa bila di bandingin dengan masalah orang lain.Lagian kalau Gue lari dari masalah malahan Gue dapet masalah baru kaya' badan gue ini" jelas Chika yang berfikir lebih dewasa saat ini.

" Iya, K' masalah ortu kamu yang cerai, terus masalah dengan temen dekat kamu, anggap aja sebagai episode pembelajaran diri, siapa tahu dengan kejadian ini, kamu bisa lebih mateng dalam bertindak dan berfikir, semua pasti ada hikmahnya, luka yang ada di hati lebih terasa sakit ketimbang luka yang ada di tubuh ini, tapi walaupun begitu hati akan sembuh dari luka-luka itu bila kita selalu memohon pada Allah untuk di beri kekuatan dan kebersihan hati. Jangan sedih ya, kalau ada apa-apa Aku siap menolong kamu" Ku pegang tangan nya untuk meyakinkan bahwa Aku memang sangat bersedia membantunya semampuku.

" Makasih ya, Ra, Loe emang teman gue yang paling baek."
" G perlu ucapin terima kasih, sudah sepantasnya kita hidup saling tolong-menolong antara sesama, apalagi dengan Chika yang imut. He..he.." Aku mulai becanda dengannya biar g' kelihatan serius.

# # #

Pagi yang ceria ini kembali menemani Aku di awal kehidupan baru, karena hari ini adalah hari baru yang harus ku isi dengan kegiatan yang bermanfaat, bukan hari kemarin yang telah berlalu. Matahari yang tersenyum menyapaku dengan sinarnya yang elok, embun pagi juga membasahi dedaunan yang memberikan kesejukan di setiap mata memendang. Ku nikmati suasana pagi ini dengan melepaskan pandangan ke seluruh penjuru yang dapat ku saksikan di balkon rumahku itu. Bangunan Anwar sadat terlihat jelas disitu, stadion bola juga bisa ku lihat dari balkon rumahku itu, luas, hijau dan menyenangkan.

"K' kok senyum-senyum sendiri!" Ani mengejutkan fantasiku
" Nggak!" jawabku singkat
" Udah tiga bulan juga ya K' kita bersama" Sambung Ani
" Kenapa udah bosenya sama kakak?" tanyaku balik
" Nggak!" jawab Ani kontan
" Atau jangan-jangan Ani mau pindah?" tanyaku menyelidik
" G' kok K', Aku mau ngomong sesuatu yang rahasia, tapi gimana ngomongnya ya?" Ani tampak ragu untuk mengutarakan langsung maksud dan tujuannya, Aku tulis aja ya Mbak! Pintanya.
" Boleh, ntar kalau kakak bisa Bantu, kakak bantu deh mecahin masalahnya.Oke!" jawabku
" Syukron ya K"
"Iya sama-sama"

# # #

TO: Kakakku yang baik, Rara

Semoga dengan membaca surat ini kakak dalam keadaan sehat dan ceria selalu, Aku bingung mau dimulai darimana AKu menceritakan hal ini pada kakak. Yang jelas ku harap kakak bisa memberikan solusi pada Ku, Tepatnya seminggu sesudah ujian Aku ditelpon oleh orang tuaku kalau Aku akan dinikahkan dengan orang satu kampong denganku, Kata ayahku ia belajar di sini, MUHAMMAD HABIB namanya. Aku akan selalu patuh terhadap perintah orang tuaku selagi itu baik. Kakak bisa g' temenin Aku ke rumah madem aisyah hari Jumat besok. Katanya Aku dan Dia akan Ta'aruf disana. Tolongin Aku ya K'

ADEKMU ANI

Ku lipat surat dengan hati-hati, dengan perasaan hati yang juga sangat hati-hati. SUNGGUH takdir adalah ketetapan Nya, kepunyaan Nya, K' HABIB mungkin bukan jodohku. Jawabanku yang terlalu lama ku berikan, ternyata ada peristiwa lain dibalik ini semua, hanya Allahlah milik segala-galanya. AKU Ikhlas dengan keputusan ini. Bukankah dengan pengorbanan semacam ini, tanda Aku sangat sayang pada Adekku Ani. Met bahagia doaku dalan hati. Hanya ALLAH yang tahu perasaanku kali ini.



Selengkapnya...

Senja Yang Hilang

Oleh; Meta Hirata















Senja pun hilang. Seketika semuanya gelap dan kosong, aku masuk dalam dimensi ruang yang tak kumengerti...

***

Tiba-tiba tubuhku kurasakan berada di tempat yang asing, aku tak mengerti dimana itu, aku hanya sendiri, aku kini masih termenung sendiri, hembusan angin musim panas mengalun lembut menerobos celah-celah rambutku yang merah. Kupandangi pasir yang terhampar luas dilautan padang gurun yang gersang, tapi sore ini senja dimusim panas terlalu indah jika sekedar gersang. Ia hangat, cerah, begitu mempesona berselendang matahari senja yang merona.



”Patutkah semua untuk kujadikan kenangan?” Kuputar lagi episode demi episode yang pernah aku jalani. Berkelebat bayang demi bayang yang tertulis dengan tinta abadi diatas lembaran-lembaran putih jalan hidupku.

Aku tersipu malu, tersenyum sejenak. Me-replay bayang-bayang itu. Kurasa manis, sungguh teramat manis. Pandanganku sekali lagi kuedarkan menatap bayangan itu, kemudian terpejam sejenak mengulangnya dalam dimensi gelap labirin-labirin kosong. Mataku kembali terbuka, kembali kutatap episod manis yang ia suguhkan. Sarafku seakan berhenti untuk kembali memutarnya. Mungkin enggan, mungkin dia ingin membiarkan aku tetap tersenyum, mungkin dia hanya ingin menyuguhkan betapa indahnya senyum itu. Senyum yang memberikan ribuan cahaya dalam relung hati yang suram.

”Oh... benarkah cahaya itu milikmu?” Tanyaku pada hembusan angin. Kudekatkan pandangan mataku lagi, lagi, dan lagi.
“Tuhan, cahaya itu apakah benar cahaya dia? Tapi, bukankah cahaya adalah lambang kesucian?” ratapku sejenak pada Tuhan.

Kulihat lagi sesosok cahaya itu. Tertunduk malu dalam balutan jilbab polos berwarna biru. Kini kubertanya pada langit.
”Lihatlah langit! cahaya itu dalam balutan jilbab polos berwarna biru, bukankah seperti dirimu?”

Warna biru yang menyejukkan pandangan mataku. Kupandang dia seperti memandang dirimu. Kuharapkan ada kedamaian yang sama disana.

Kuturunkan pandanganku berlahan mengamati cahaya itu. Tak sedikitpun dia mencuri pandang padaku. Sesosok cahaya itu tetap terdiam disana. Lalu kumelangkah mendekat kearahnya, dalam jilbab itu kutemukan wajah yang tak kalah bercahaya. Wajah yang sendu, wajah yang melukiskan putihnya kejujuran dan memancarkan eloknya kesetiaan.

Lamat-lamat kudengar suara kecil melantun sangat merdu. Kuyakin itu suara cahaya berjilbab polos berwarna biru itu. Angin terhembus sepoi menyampaikan kata-katanya untuk menggugah hatiku. Suara itu mengalun lembut menerobos masuk kedalam hatiku. Suara itu menyebar menggetarkan dinding hati yang mulai rapuh. Suara itu membawa ruh untuk menghidupkan cinta yang mati. Suara itu membawa embun surgawi untuk menyirami bibit-bibit cinta yang tersisa dilahan yang kering kerontang tak berdaya.

Ragaku, jiwaku dan hatiku kembali hidup saat itu. Rasanya ribuan ucapan terima kasih takkan sanggup membayar kebaikannya untukku. Kembali aku berfikir apa yang harus aku berikan padanya. Apa yang harus kulakukan untuknya?

Angin kembali berhembus lewat helaian rambutku, angin mengajariku untaian kata-kata. kata-kata yang patut ku ucapkan untuknya. Kata-kata dari dinding hatiku yang dulu tak kumengerti. Sekali lagi aku pejamkan mata ini. Kucoba tuk menarik nafas untuk mengumpulkan tenaga yang tersisa ditubuh yang mulai rapuh. Kualirkan untaian kata itu berlahan dari hati menuju dinding saraf yang kan terus berjalan mengetuk pita suaraku

”...ukhti...uhibbuki fillah...”

***

Senja semakin tenggelam diufuk barat, kurasakan kemiluan cahaya hangatnya menyirami sekujur tubuhku yang lelah. Saat kuangkat pandangan mataku

”Ouhhh... silau cahayanya menghujam mataku. Perih...” Sontak kupejamkan mata. Dunia kembali gelap, mataku kembali terbuka sedikit demi sedikit. Samar-samar masih kulihat semburat cahaya itu. Kini semakin jelas tergambar cahaya itu adalah seorang gadis berjilbab biru, yah biru seperti langit. Dia sejukkan pandangan mataku, dia hembuskan kedamaian dalam relung jiwaku.

”Gadis, rupanya kau tetap disana, tampak diam namun mempesona.” Kuputar lagi barisan-barisan episode yang terpotong dari hidupku. Kugerakkan jiwa untuk menelusuri jejak rekam yang pernah kusimpan dalam memori ingatanku. Kucoba memejamkan mata sedikit untuk mengingat masa itu. Sejenak kumerenung.

”Stop...!!!” mulutku tiba-tiba berteriak pada putaran itu.

Mataku kembali terbuka mengamati cincin yang ada dijari manis tangan kananku. Cincin dijari manis tangan kanan adalah simbol ikatan seseorang dengan gadisnya, kuingat kata guruku berkelebat tiba-tiba.

Sontak aku berpikir.
”Aku sudah menjalin ikatan,dengan siapa?”
”Apakah aku sudah punya gadis, siapakah gadis itu?”
”Bukankah aku baru mengucapkan ikrar cinta pada gadis bercahaya berjilbab biru polos itu.” Pertanyaan itu mencoba menggodaku.

Kembali kuputar lambaran-lembaran memori dalam otakku. Tak kutemukan apapun disana. hanya bayang gelap terus mendominasinya. Hingga kupejamkan mata tak sedikitpun terbuka ingatan itu. Aku semakin lelah tak berdaya. Kutegakkan pandangan yang semakin melemah.

Mataku terbelalak heran.
”Oh... ya...???” Otakku kembali dipenuhi cahaya.
Byarrr, terang benderang, cerah, bagaikan langit siang tadi.

Kuamati jari manis tangan kanan gadis yang muncul dalam putaran penggalan episode itu. Kuyakinkan disana, dijari itu terselip cincin yang sama persis seperti yang ada dijariku. Cincin itu semakin membuat aku yakin dengan tiga permata biru yang berkerlipan tertimpa cahaya sama seperti punyaku.

Plasss...!!!
Tiba-tiba gelap. Bayangan itu hilang, musnah begitu saja. Tak mampu aku ulangi untuk sekedar mengingatnya.

***

Kini aku hanya mampu terdiam. Sejenak kau rasakan tubuhku mulai merasakan aliran darah dalam pori-porinya, udara yang masuk keparu-paruku juga mulai berhembus pelan. Badanku bergetar. Sepertinya ada suara merdu didekatku. Kuyakin itu lantunan ayat-ayat suci kalam Ilahi. Suara itu mengalir lembut lewat telingaku, aku hayati makna dari setiap katanya. Sungguh mendamaikan hatiku. Kudengarkan lamat-lamat ayat demi ayat. Kuhayati setiap hurufnya mengalirkan angin kedamaian dalam jiwaku.

Aku menemukan diriku dalam dimensi yang berbeda. Kurasakan jiwaku tak lagi berpijak pada bumi. Aku terasa melayang bercumbu bersama tiupan angin. Aku takut ini adalah kematianku. Namun tak kurasakan Izroil menjemput ruhku, aku hanya melayang bersama sepoi angin di alam yang berdimensi serba putih.

Ataukah aku hanya bermimpi? kurasa juga tidak. Aku berada di alam yang tak kumengerti. Dan tak sekalipun aku terbangunkan dari mimpi. Namun lantunan ayat-ayat suci itu masih dapat kudengar.

Perlahan kubuka mataku, sungguh terasa berat. Kulihat setiap sudut ruangan serba putih. Aroma khas obat menusuk hidungku. Kembali menyadarkan kalau ternyata hidungku masih bernafas.

”Ourrrggg...” Aku kesulitan untuk menggerakkan badanku. Rasanya semua hanya beku kaku terdiam. Aku sama sekali tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.

Entah mengapa aku sendiri masih bertanya pada ruangan putih ini.
Kenapa dan sejak kapan aku dirumah sakit ini?
Mungkin gadis yang membaca la-quran disampingku tau.
”Hai gadis, dimanakah aku?”
Dia hanya diam.

"Hai gadis, dimanakah aku?” Kucoba berulang-ulang memanggilnya, namun gagal. Seditik kemudian aku baru sadar, ternyata mulutku masih terdiam membisu.

”Aaauuurrgg...” gerutuku.
Hanya potongan jeritan yang entah didengarnya atau tidak.Tapi aku masih mencoba. Padahal aku sangat ingin bertanya kepadanya. Ingin kutanyakan tentang aku, aku sendiri tak tau kini siapa sebenarnya aku…

”Aneh, kenapa aku bisa dirumah sakit ini?...” Sekarang aku coba sekuat tenaga.
”..auurrgg...ya Allah...ya Robbi...?!?” Tubuhku mulai bisa kugerakkan berlahan.

"Alhamdulillah ya Allah!" Teriak gadis disampingku. Didekapnya mushaf kecil itu, matanya kulihat berkaca-kaca.
"ya Allah, ya Robbi… Mas yus sudah sadar, terima kasih Tuhan”
"Mas, mas, ini aku mas, fatimah… fatimah adik mu?" Gadis itu hanya bingung bercampur gembira, mukanya masih tersendu menangis haru.

"Ya Allah… bentar ya mas, aku panggil dokter joko dulu, mas tenang saja”
” Oh ya, aku harus telpon mbak resya, dia sudah lama nugguin mas sadar loh. Pasti gembira banget lihat mas sudah sadar.”
”Ya sudah mas tenang dulu ya, fatim panggil dokter joko dulu. Inget loh mas… jangan mikir yang berat dulu, mas belum kuat. Nanti kalau terasa pusing, minum saja obat di meja samping yang warnanya hijau." Pintanya tergopoh-gopoh.

Gadis itu bergegas berlari keluar. Aku masih terpaku dengan ucapannya tadi. Tak mampu kuingat semua dan membuatku cukup bingung dengan keadaan yang tiba-tiba ini. Kucoba menguraikan ingatan-ingatan tadi sedikit demi sedikit.

”Yus?...”
”Apakah ini namaku?...”
Entahlah, mungkin iya. Kulewati lagi ingtanku. Gadis disampingku tadi adalah fatimah adikku. Aku punya adik yang tadi mebaca al-qur’an disampingku, suaranya merdu mendayu-dayu.

Terus ada satu lagi resya, siapakah dia?
Apakah gadis yang bercahaya berjilbab biru polos dalam mimpi itu?
Entahlah aku masih belum bisa menguraikannya.

”Auuuhhhggg...ya Allah kepalaku” Kurasakan kepalaku pusing. Sangat sakit. Kuhentikan ingatan-ingatan itu. Kuraih pil hijau diatas meja disamping tempat tidurku.

Pusing dikepalaku berlahan menghilang setelah kutelan pil hijau itu. Dokter pun datang dengan si fatimah. Dia mulai memeriksa keadaanku.

"Ok, gini mbak fatim, mas kamu sudah sadar. Ingatanya sudah cukup kuat untuk dipulihkan kembali. Kita harus menjalani terapi dan tentunya akan ada pengobatan yang terus berlanjut dibawah pengawasan saya. Saya sungguh takjub dengan mas kamu. Ini semua berkat pertolongan Allah tentunya.”

“Ok well, sebulan kedepan kita akan mencoba terapi untuk mas kamu. Saya minta tolong untuk menyiapkan beberpa hal yang bisa membangkitkan ingatannya.”

“Oh ya, jangan lupa kalau bisa datangkan orang yang terakhir kali berinteraksi dengannya."

Kuperhatikan dokter itu berbicara sambil tersebyum pada fatimah adikku. Aku hanya mengamati dalam kebingunganku sendiri.

"Ya dok, terima kasih, saya akan persiapkan semuanya" fatimah tersenyum.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu, Assalamualaikum." kata dokter yang memeriksaku sambil berlalu keluar.

Wa’alaikum salam” fatimah menjawab dengan sopan sambil berjalan mengantarkan dokter sampai kepintu ruangan ini.

Perlahan kugerakkan tangan, kaki dan badanku. Berat dan sangat berat, namun aku terus berusaha dibantu gadis itu.

***


Hari-hari selanjutnya aku muali dilatih kembali bergerak untuk mengembalikan fisikku yang lemah. Terapi pun kujalani. Kini aku mulai bisa mengingat siapa diriku. Aku adalah yus, lengkapnya Yusuf Al-amin. Aku adalah seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi Islam di negeri ini. Gadis itu adalah fatimah adik semata wayangku. Dia selalu menemani aku selama perawatan ini. Aku ternyata mengalami kecelakaan di sore hari tepat setelah aku silaturahmi ketempat salah satu orang yang aku kenal, itupun aku masih belum bisa mengingatnya. Dan masih banyak hal lagi yang kembali dalam memoriku. Aku kini sudah mulai bisa kembali berinteraksi dengan orang-orang disampingku.

Namun satu hal yang belum aku ingat, bayang-bayang dalam mimpi di padang pasir senja itu. Dan siapakah gadis itu? Aku masih termenung mencoba menguraikan semua. Aku hanya bisa simpulkan gadis dalam mimpi itulah yang mungkin menjadi teman hidupku. Kemarin adikku juga cerita kalau aku sebelumnya sudah melamar seorang gadis dan memberikan cincin yang sama seperti yang kupakai sebagai tanda ikatan. Toh dengan cerita itu aku juga masih tampak bingung. Tak dapat kurangkai sedikitpun simpul untuk mecapai titik terangnya. Dalam mimpi itu aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

***

Sore ini matahari cerah merekah, mengiring senja yang berkilau merah diufuk barat sana. Kutatap pohon, bunga dan rumput-rumput ditaman ini bergoyang berselendangkan cahayanya yang jingga merona layaknya bidadari yang menari-nari bersama mentari. Sore yang indah pikirku.

”Oh ya, aku pernah menemukan sore yang indah ini. Tapi dimana dan kapan?” Aduh, masih saja ingatanku terlalu lemah untuk mengingat masa laluku. Gerutuku sendiri.
ya begitulah. Lagi-lagi aku tak pernah sempurna mengingatnya. kurenungi sore ini sambil meratap pada Ilahi Robbi.

Ya Allah, aku ingin mengulang bayang-bayangan itu. Aku ingin berada di lautan padang pasir saat senja untuk menemui gadis berkerudung biru itu. Ya Allah, benarkah ia cahaya yang kan terangi hidupku Izinkanlah aku memandangnya walapun hanya sekali jika lantas Kau kan cabut nyawaku.

"Mas...mas...mas..."
kudengar suara teriakan disana. Aku terhentak kaget, kemudian menoleh kearah lorong rumah sakit yang sunyi.

"Mas, ini mbak resya datang mas, mbak resyamu datang" Adikku berlari kearahku, seorang gadis berjalan cepat dibelakangnya. Aku masih mencoba membuka ingatanku. Kucoba membuka lembaran-lembaran memori melewati labiri-labirin yang gelap dan kosong.

Ya Allah, seketika aku terhenyak. hatiku tiba-tiba berdetak. dadaku kembang-kempis menahan rasa yang begitu saja muncul. Aliran darahku mengalir cepat. Saraf-saraf mulai hidup. Seperti terbangun dari tidur yang panjang dan melelahkan.

Simpul-simpul yang tercerai mulai bersatu kembali. Aku mulai bangkit dan berusaha berlari menjemput gadis berjilbab biru itu. Ingatanku mulai pulih sempurna. Aku terus mencoba berlari kearahnya.

Ya Allah maha besar diriMu, ingatanku benar-benar telah Engaku kembalikan. Dalam mimpi itu, ternyata gadis yang beberapa hari yang lalu diceritakan adikku, gadis itu adalah resya tunanganku. senja benar-benar mengungkapkan semua padaku. Resya gadis yang sudah memberiku cahaya dalam hidup yang kelam, gadis yang membimbingku menuju jalan yang dipenuhi cahaya iman.

Aku terus berlari, rasanya badanku kini sangat ringan, aku terasa mempunyai dua sayap untuk terbang menghampirinya. Aku ingin menghampiri cahaya itu, aku sangat merindukan cahaya itu, tak kuhiraukan adikku berteriak dari kejauhan, aku hanya terus berlari.

"Mas, hati-hati mas, awas ada tangga didepanmu maaasss..." Teriakan adekku semakin keras meyongsong aku yang terus saja berlari mengejar cahaya itu. Tak sempat kulihat keadaan didepanku.

Bruk...?!?
Tak kusadari aku tergelincir, kepalaku roboh jatuh tepat diatas tangga keramik yang runcing, hanya sempat kupanggil cahaya itu, "resya". Namun tubuhku sudah roboh, kulihat darah membanjiri lantai putih itu, kudongakkan kepala untuk menggapai cahaya itu, ingin kulambaikan tangan namun separuh nyawaku sepertinya sudah melayang bersama Izroil sang pencabut nyawa.

Rupanya cahayaku resya sudah didepanku memegang tangan kananku, samar-samar kulihat matanya meneteskan air mata. Sebelum akhirnya semua gelap, nyawaku tercerabut sempurna dari ragaku yang malang. Senja pun hilang bersama datangnya gelap.

***

Tanah di atas kuburan itu aku rasa masih belum kering oleh tetesan air matanya. kujadiakan semua sebagai saksi atas dukanya yang begitu dalam.

Senja sore ini kurasakan masih berduka, kilauan cahaya yang seharusnya indah kini tak lebih hanya semburat garis-garis merah kecoklatan yang menakutkan dan membuat hatinya semakin perih. Cahaya itu tajam menghujamkan kepedihan ke dalam lubuk hati menjadikannya semakin perih. Dia terlalu shock akan kematian tunangannya. Calon imam dalam menyempurnakan agamanya dan sunnah Rasul. Dia masih tak percaya akan semua ini.

Namun kejadian itu menyadarkannya tentang arti cinta, hidup dan kematian yang telah digariskan di lauhul mahfudz sana. Sebagai hamba kita hanya wajib berusaha, ada pun takdir hanya Allah yang menentukan.

”Begitu kejamkah takdir?” protesnya seketika itu, tapi dia lantas sadar bahwa gerutuannya tak lebih hanyalah sia-sia belaka. Hanya hasutan setan yang terus saja mengintimidasinya dalam kebimbangan ini. Mereka sangat tak peduli dengan dukanya.

Sambil meratap pada sang Maha kuasa, dia pun berdoa.

"Ya Allah, ya Tuhanku... saat tumpuan jiwa ini hanya terpaku padanya namun mengapa Engkau ambil dia dari sisiku selamanya? Saat kutemukan cinta suci dihatinya, mengapa tak Engkau izinkan aku memeluknya? Saat azzam ini terpatri untuk menyempurnakan agamamu, mengapa Engkau tak izinkan aku berjuang bersamanya? ya Allah jika memang yus adalah cinta dalam hatiku, izinkan aku menyimpanya selama hidupku. Jika memang yus bukanlah jodoh yang kau kirimkan sebagai imamku, kuharapkan ada mujahid yang seperti dia untuk kujadikan pejuang pendampingku".

Dia merenungi kembali kisah-kisah itu, saat menemukan kata cinta untuk yang pertama kali. Dia hanya bisa berdoa memohon kepada Allah, semoga cintanya pada hati yang benar. Cinta itupun tertuju padaku. Aku adalah yus tepatnya yosef. Aku seorang pemuda katolik yang mempunyai keluarga berbeda agama. Keluargaku pun terpecah. Aku ikut bapak, seorang misionaris. Sedangkan adikku hidup bersama ibu yang memilih kembali sebagai muslim setelah berpindah katolik. Dia hanya bisa menolak dengan berat hati karena kita beda agama.

Sebesar apapun cinta itu, percuma jika Allah tidak merestuinya. Dia hanya bisa terus memohon dan pasrah, hingga waktu itu pun tiba. Hingga aku menemukan hidayah dan mengucapkan kalimat syahadat saat aku bertemu ibu kembali.

Beberapa tahun kemudian aku kembali dari studi di kairo. Sekarang aku sudah berbeda, aku adalah seorang muslim sejati yang kokoh memegang agama Islam. Kini dia tak kuasa menolak lamaranku. Aku memberikan cincin itu sebai tanda ikatan kami.

Namun musibah itulah menimpaku, aku kecelakaan dan menderita gagar otak yang luamayan serius hingga mengalami hilang ingatan yang menghapus memori otakku dan membuat diriku koma berminggu-minggu. Dia sangat khawatir tentunya. Kejadian itu tepat 3 hari sebelum kami mengikrarkan akad nikah. Tak henti-hentinya ia memohon pada Allah, siang dan malam. Sebulan kemudian aku pun sadar dan mulai pulih dari hilang ingatan.

Saat itu mestinya dia sangat gembira karena doa-doanya selama ini didengar oleh Allah. Tapi senja itu lain, dia merasakan cahayanya sedikit buram menggambarkan kepedihan.

Musibah itu pun lagi-lagi mencoba menguji ketabahan resya. Aku meninggal dunia setelah terjatuh dari tangga ketika berlari mengejarnya.

"Ya Allah mengapa begitu perih duka ini, ya Allah... belum sembuh rindu penantianku yang panjang, engkau sudah menjemput dia ke pangkuanMu"
resya pun terisak bercampur sedih.

Hanya mulutnya mampu mengucap lirih "Innallilahi wa inna ilaihi rajiun. Ya Allah., ya Robbi, inikah takdirMu untukku? Sekuat tenaga kupertahankan keyakinanku akan hikmah takdir yang telah digariskan" Suaranya terbata-bata.

Senja pun mulai hilang seiring datangnya malam...

Cairo tengah malam jumat, 14 Agustus 09

Selengkapnya...

Indonesiaku, Juga Indonesiamu.

Oleh; Mukhlis Rahmanto










Aku menyukai matahari hari ini
Seperti ku mencintai Indonesiaku
Lihat Gajah mada menggelar layar, hunus pedang
Dari Biak di timur sampai barat negeri campa
Ingat tegas para pendahulu yang mengacir
Inlander dan Nippon dari tanah negeri
Tersebut nama Diponegoro, Teuku Umar, Hasanudin,
Sudirman, dan Bung Tomo
Mengajarkan arti kepemilikan dan cinta mendalam
Lalu suara merdeka Soekarno Hatta
Terkumandang ke penjuru dunia
"1945, kemerdekaan Indonesia"
Maka ada episode orde lama, baru, dan terbaru
Mengerah seluruh untuk menjawab penuh
Menata batu bata yang tertulisi kata "kemerdekaan"
Membuktikan dengan ruas peras otak
Degup keras hati, kepalan tangan dan kaki
"Kami ini betul-betul orang Indonesia"
Negeri elok dari timur nun jauh
Zamrud khatulistiwa
Meski sedikit aib tergantang
Aku pantas busung dada jadi anak negerinya

Aku membenci matahari hari ini
Seperti ku membenci indonesiaku
Ada orang lahir di Bogor, besar di Amsterdam
Bangga menyebut ke-Amsterdam Belandanya
Artinya nasionalisme yang cekak
Ada sepatu Cibaduyut, malah berkata lebih sreg
Dengan Nike atau Adidas
Ada Dagadu, tapi diam-diam senyum pada Giorgio Armani
Artinya materialisme yang menggila
Ada reformasi yang cuma mari kita bersama berjanji
Ada biasa pada darah manusia, tinggal membakarnya
Ada sistem korup yang begitu aduhai menggoda siapa saja
Ada joget binatang yang malah memakai baju moral
Pada berantainya tayangan televisi kita
Ada sedan BMW dan Mercy melaju mulus di jalan-jalan utama negara
Ada Tuhan yang dikelilingi oleh asap kemenyan takhayul
Ada agama yang dikata, "ritual biasa sajalah"
Ada juga miskin dan kaya, coba kau ukur jarak langit dan bumi
Dan tentu ada kita di tengah sana
Anak negerinya

Aku cinta benci
Renyah alot jiwaku, Indonesiaku
Harus renyah
Serenyah tegar bangga Sartono mengunyah keripik kentang
Tertulis "made in Indonesia" pada bungkusnya
Didepan sebuah restoran makan ala paman sam
Pada suatu siang di Maydan Tahrir
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Sepanjang Husein dan Khan Khalili

Oleh; Mukhlis Rahmanto













Hati pertama yang ku dapat adalah lantunan seorang qari
Mengisi dan memecah gemuruh teriakan mereka kaki
Menuju mihrab
Menuju sebelahnya dengan putaran suhbah hadiah
Menuju gang-gang bercinderamata khas
Hingga tiba riak jatuh selembar seratus piesters
Harga pas untuk satu ujung
barisan lantunan ayat




Huseinku, tangisku
Aku kira mengenang adalah jalan pemberian sejarah
Helai rambut, tempat celak, secarik kain jubah
Pegang pula itu pedang keberanian Baginda
Dekap pula itu kelambu putih selimut keabadian sang cicit
Hingga jadi satu kebaikan sejarah adalah mengobar rindu
Pun sejarah menempatkan jiwa di tengah perempatan jalan pilihan
Ketidakjelasan
Lebih kuat sanadnya palsu

Kami berhenti sebentar
Kerumunan orang-orang bule bermatakan tiga;
Mata ujung senjata dan mata serdadu penjaga
Wanita-wanita besar baladina berpakaian hitam meratap dewasa;
Jalan hidup yang tidak bisa ditakwilkan
Anak-anak meneriaki balon jingga-kuning yang mengudara
Bus-bus mengucur deras denah pariwisata
Patung-patung Firaun mencoba hidup
Merah karkade tak semerah warna pajangan pakaian penari perut
Bangunan istana Mamalik seperti tak mau mengeriput tua
Lalu terekam dan terkenang begitu saja
dalam sebuah kamera

Dua arah pilihan sepanjang Husein dan Khan Khalili
Satu jalan bernama dunia fana
Satu jalan bernama akhirat penuh nikmat
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Aku

Oleh; Ahmad Jibril


Aku …
Aku adalah sayap-sayap malaikat
Yang terbang di atas nirwana
Melintasi dimensi waktu
Dan tak pernah tentu arah …

Aku terbang …
Di atas sanubari dan jiwa
Yang lenyap dalam parade kemunafikan
Dan keserakahan dunia


Mungkin aku adalah manusia
Berjiwa malaikat namun berhati syetan
Aku …
Yang dapat memainkan sabda langit
Dan memutar balikkan takdir

Aku …
Adalah jiwa-jiwa yang membangkang
Kepastian alam
Aku …
Mungkin nafsu yang bergejolak
Dalam setiap debar jantung
Dan denyut nadi setiap mahluk
Yang mengaku bertuhan

Tangan ku yang menjamah bumi dan langit
Kakiku yang berjalan di atas kehampaan udara
Tubuhku yang menjadi dambaan
Para malaikat dan bidadari syurga
Namun …
Aku…
Aku tak pernah tau siapa
Aku sebenarnya
Hingga saat ini aku
Tak pernah tau
Siapa ,kemana dan dari mana
Aku …
Akupun tak tau
Mungkin aku adalah kamu
Atau kamu adalah aku
Akupun …
Tak tau …

KEMMASS 04-02-2007
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Sang Kumbang Dimanakah Bisamu

Oleh; M. Yusuf Hasibuan


Bila hati tersiram putik sari
Seluruh tubuh kan bergetar
Untuk katakan perasaan ini

Waktu sungguh tegas
Berjalan tanpa istirahat
Sampaikan akhir masa
Membuat hatiku tersiksa
Karena ku merasa kekurangan
Untuk menyuburkan sang mawar
Bahagialah engkau dengan kumbang pilihanmu

Kuyakin bila kau bahagia
Maka aku lebih gembira
Namun bila kau sengsara
Maka aku lebih tersiksa

Bulan kaulah jadi saksi perasaan haqiqiku
Bintang kaulah jadi pengacara hatiku
Matahari adakah cahayamu
Membuat sang mawar terpesona

Bumi adakah gaya gravitasimu
Yang merayunya
Langit adakah bentukmu
Yang melindunginya
Pelangi adakah warnamu
Yang memikatnya
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Meraba Orientasi Diri

Oleh; Dahnia Ishak


Waktu yang mengurai makna
Tanpa sungkan, menelusuri rangkaian pristiwa
Membuatku terhanyut dalam bimbang
Menyisakan guratan impian
yang menyiksa

Di dalam kelam yang menghimpit sepi
Kuraba orientasi diri
Kucoba menjamah kembali
Sinar gemerlapmu yang sempat terlupa
Hanyut bersama gelak tawa tak sempurna

Bersama syahdunya rasa
Kumencari aroma Tubuhmu
Mencoba memupuk kembali desau rindu
Yang nyaris tenggelam dan menghilang

Di dalam rangkaian kata
Kubisikan kembali tulusannya kejolak cinta
Yang menjemput senandung hatiku

Buutrie 05 mei 2006 Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Nyawa Kedua Nabila

Oleh; Pahdina Daniyati



Aku masih punya kaki. Tentu saja aku lebih baik dari padamu gadis sialan. Diam-diam kalimat itu menelusupi benakku. Astaghfirullah. Kuhampiri cermin besar yang ada di kamar sempitku. Cermin tersebut dengan jujur mengakui bahwa kakiku cukup indah dan bahkan lebih baik daripada kaki gadis sialan itu yang bahkan berdiri pun tidak mampu.


"Akhhh..." teriakku mencoba melepas penat dan bosan yang menyelimutiku. Selendang yang tadinya meliliti kepalaku kulemparkan ke cermin.


Suhu darahku mencapai puncak derajat tertinggi. Aku benar-benar marah pada Nabila. Masalahnya sangat sepele, tapi karena kekesalanku padanya memang benar-benar bertumpuk dan baru hari ini tertumpahkan.

Tadi ketika menunggu jemputan Madam Nagla', aku bertemu 'Abdu, teman lamaku ketika masih duduk di Tsanawi. Sudah lama kami tidak bertemu. Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi ngobrol dengannya, namun Nabila terus saja memanggilku.


Melihat Nabila yang sepertinya tidak suka dengan kehadiran 'Abdu, tentu saja 'Abdu merasa tidak enak dengan kami dan mohon pamit untuk pulang. Aku meradang.

“Enti taf'al kedza leeh?"

Asma', isma'iini. Tidak baik berbincang-bincang dengan laki-laki sedekat itu. Sadarkah kamu tadi matanya itu bergentayangan...ah tidak usah dibahas lagi"

Hhh!!! Omong kosong apa lagi itu? Tadi aku melihat 'Abdu biasa saja.

"Tapi apa yang kamu lakukan tadi sudah membuatnya tersinggung, Nabila!!!" aku menekankan kata 'tersinggung' dalam kalimatku.

"Atau kamu iri ya melihat aku berbincang-bincang dengannya? Karena kamu tidak bisa melakukannya kan? Mana ada orang yang mau denganmu" ‌cecarku. Wajahku menghangat, aku benar-benar sudah muak. Bukan sekali ini Nabila mencampuri urusanku, sudah sering dan aku mencoba bersabar.

Astaghfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu"

Wajahnya terlihat memelas. Aku lalu meninggalkannya yang kini memanggilku.

"Asma' ...Asma'"

Kenapa masih memanggilku? Tidak ada yang akan menuntun ya? Sebentar lagi juga Madam Nagla' menjemputmu. Aku pun terus berlalu dan menjauh dengan hati kesal.


###


Bis ini benar-benar sesak, semua orang berjejalan. Banyak mahasiswa asing dalam bis ini yang mayoritas dari mereka bermukim di Nasr City. Mereka terlihat akrab ngobrol bersama teman-temannya tanap meperdulikan orang sekeliling mereka. Akrab sekali. Aku sendiri berdiri di dekat mereka. Kakiku terasa pegal. Aku menyesal menaiki bis ini. Mungkin karena sudah lama aku tidak naik bis ke kuliah semenjak aku menemani Nabila. Yah...aku selalu ikut mobil ibunya bila kami pergi ke kuliah.

Namun untuk hari ini aku tidak ingin menemani Nabila juga tidak ingin bertemu dengannya.

"Kuliah banat... kuliah banat". Teriakkan sopir bis membangunkan aku dari lamunanku. Aku tersentak. Sudah sampai. Dengan bergegas aku menuruni bis menyebalkan ini.

Ketika menjejak tanah sebuah kaleng kosong menyambutku. Kutendang benda itu sebagai pelampiasan kerisauanku yang tidak juga hilang. Lalu kembali mengayunkan langkah yang tertunda.

Langkah kakiku mendadak kuurungkan ketika kulihat sebuah sedan merah berhenti di depan gerbang kuliah. Aku mengenalinya. Aku mundur dan berlindung di balik tiang mahathah Metro depan kuliah. Nabila turun dari mobil itu dibantu ibunya. Ternyata dia masih saja nekat ke kuliah. Tak lama kemudian sang ibu masuk setelah sebelumnya dia mencium pipi anaknya.


Nabila melambaikan tangannya. Kebiasaannya setiapkali mobil itu akan melaju dan menjauh. Jika mobil tersebut tidak lagi kelihatan barulah Nabila menjalankan kursi rodanya.

Entah dia sedang memikirkan apa, dia hampir saja menabrak seseorang namun dengan sigap tangannya memutar kusi rodanya. Malangnya kursi itu berputar ke arah yang salah dan menuruni tanjakan ke arah jalan raya, kursipun terbalik. Nabila terjatuh ke aspal. Sebuah mobil yang sedang melaju berhenti mendadak. Aku tertegun sesaat. Ah, hampir saja. Nabila merangkak mencoba meraih tasnya dengan susah payah. Orang-orang disana langsung turun tangan membantunya menaiki kursi roda.

Dasar ceroboh. Batinku. Rasa iba mengetuk-ngetuk pintu hatiku tapi tetap saja tidak menggerakkanku untuk mendekatinya. Entah setan apa yang sedang menahanku.

Aku bingung apakah aku tetap akan kuliah atau tidak. Kuputuskan untuk tidak saja.


###


Nabila adalah anak bungsu Tuan Ismail yang tinggal di tingkat 3 di imarah yang dijaga ayahku. Sebelumnya dia kuliah di 'Ain Syams, sebuah universitas bergengsi di Kairo yang pastinya tidak terjangkau oleh orang rendahan sepertiku. Kuliahnya terhenti di saat dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan kakinya. Waktu itu dia jatuh dari balkon rumahnya, ketika dia mencoba menggantungkan pot bunga ke ujung langit-langit balkon. Benar-benar sebuah kecerobohan. Bagiku Nabila adalah gadis yang ceroboh.


Hampir setahun dia depresi disebabkan kecelakaan yang menimpanya tersebut. Ketika suatu hari keluarganya dikejutkan dengan permintaannya untuk kuliah lagi. Bukan di 'Ain Syams tapi Azhar. Penampilannya pun berubah. Sebelumnya Nabila menolak memakai jilbab, dengan alasan jilbab sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Baginya bukan saatnya lagi wanita terkungkung oleh tradisi agama. Wanita muslimah zaman sekarang harus bisa mengalahkan orang-orang barat. Hingga semuanya berubah total. Nabila yang dulu telah mati bersamaan dengan kematian kakinya. Rencana Tuhan memang tak terbaca.


Ibunya pun memanggilku. Saat itu aku memang baru menyelesaikan bangku Tsanawiy. Dia memintaku untuk menemaninya kuliah dan dia akan memberiku uang. Untuk hal ini Nabila tidak tahu apa-apa. Tentu saja aku mau. Dengan hanya menemani Nabila aku bisa mendapatkan uang, yang tentu saja akan kuperlukan pada saat aku kuliah. Karena gaji ayahku yang hanya seorang bawwab tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhanku yang semakin hari semakin bertambah.


###


Ayah sakit. Tangga-tangga imarah ini belum dibersihkan. Ibu menyuruhku dan ke dua adikku untuk menggantikan ayah membersihkannya. Dengan enggan aku melaksanakannya. Semuanya kukerjakan dengan cepat. Setelah selesai aku mencuci mobil para penghuni imarah kami.


Asma'...Asma' ta'aliy" itu suara Nabila, aku melihat dia melambaikan tangannya ke arahku dari balkon rumahnya. Ah... ternyata dia dari tadi memperhatikanku. Nabila tersenyum ramah, sepertinya dia tidak marah dengan kejadian kemarin sewaktu aku meninggalkannya sendirian di depan kuliah. Kuakui dia cantik sekali hari ini. Tentu saja, karena dia pasti dengan rajin merawat tubuhnya dengan alat-alat kosmetik mahal.


Yalla, ta'ali, wahesytini awiy" teriaknya lagi.

Aiwa, istanniy aku selesaikan pekerjaanku dulu", balasku berteriak. Dari arah dalam Madam Nagla' muncul dan memanggilku.

“Oh iya Asma', sebelum naik tolong belikan pesananku ya?"

Dia menurunkan sebuah keranjang dari balkon rumahnya. Setengah berlari aku menyambutnya. Di dalamnya terdapat uang 50 pound dan secarik ketas berisi catatan pesanannya.


###


Nabila menyambutku dengan sumringah ketika aku memasuki rumahnya. Madam Nagla' meraih kantong belanjaan yang ia pesan.

“Maaf kami tidak bisa menjengukmu, aku sangat sibuk di rumah sakitØ£

“Menjengukku?" mataku beralih menatap Nabila heran. Dia mengedipkan matanya.

Yalla ya mama masakan mama di dapur menunggu" kata Nabila memperingatkan tapi bagiku itu hanya untuk mengalihkan perhatian Madam Nagla'.

Ma'alisy" aku bilang pada mama bahwa kamu sakit beberapa hari ini"‌jelasnya. Lalu dia menarik tanganku.

“Ayo ke kamar, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu"

Aku mendorong kursi rodanya memasuki kamarnya. Seketika penciumanku menangkap keharuman dan suasana yang indah ketika memasukinya. Kamar Nabila berwarna biru, warna kesukaannya. Kamar yang apik dan rapi. Karpetnya juga empuk. Dilengkapi satu dipan dengan sprei biru berbunga-bunga kuning dan lemari pakaian berukuran sedang dengan motif ukiran bunga. Di samping lemari ada meja belajar dengan seperangkat komputer di atasnya. Komputer itu aku sering aku gunakan menjelajah dunia maya. Nabila tidak keberatan dengan kebiasaanku tersebut. Di dinding dekat pintu masuk ada poster berbingkai. Satu-satunya gambar yang menghiasi kamar ini. Gambar seorang tua dengan janggut putih memenuhi wajahnya dan di atas kepalanya sehelai kain putih menutupi. Aku mengenalnya sebagai seorang pejuang hamas yang meninggal karena dibom oleh Israel beberapa waktu yang lalu.


Aku duduk di atas kasur, sedang Nabila keluar kamar. Mengambil minuman, katanya.

Mataku masih tetap terpaku dengan gambar itu. Aku sudah sering keluar masuk kamar ini, tapi gambar ini tetap saja menarik perhatian. Aku hanya heran saja jika gambar sebesar ini tergantung di kamar seorang gadis. Biasanya seorang gadis memasang sebuah lukisan atau foto dirinya di kamarnya.

“Sedang apa?" tegur Nabila yang masuk tanpa aku menyadari. Dia meletakkan sebotol 'ashir di sampingku. Aku mengangkat pundakku.

“Tidak ada...hanya... gambar itu, awet sekali berada di tempatnya" aku memutar telunjukku mengarah ke gambar tersebut.

“Oh gambar itu ya, sepertinya sudah sangat kotor"

Tangannya mencoba meraihnya. Melihatnya seperti kesusahan, aku membantu mengambilnya. Dia membuka laci bawah meja dekat dipannya, dan mengeluarkan secarik kain lap dari sana. Tangannya pun mulai berkerja.

“Apa kau tidak ingin menggantinya dengan gambar yang lain?"

Kepalanya beralih ke arahku. Dia berpikir sesaat lalu menggelengkan kepalanya.

“Kurasa tidak.."Ø¢‌ujarnya pelan.

“Kenapa?"

“Gambar ini memberi aku sebuah motivasi dalam menjalani hari-hari. Perjuangannya dalam mengarungi hidup benar-benar menggugah hatiku. Aku telah jatuh cinta dengan semangat dan pengorbanannya"

Aku mengernyitkan dahiku mencoba memahami perkataannya.

Ø£Beberapa bulan yang lalu aku membaca riwayat hidupnya di Internet. Saat itu aku masih depresi karena kecelakaan yang merampas ke dua kakiku" Nabila menghentikan kalimatnya sejenak dan melanjutkan.

"Setelah aku membaca riwayatnya. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibanding dia. Dia lumpuh semua anggota badan sedang aku hanya tidak bisa mempergunakan kakiku. Aku masih punya tangan dan masih bisa melakukan apa-apa. Dia dengan kelumpuhan di hampir semua anggota badannya bisa menjadi figur buat semua orang. Sedang aku? Apa yang telah aku lakukan selama ini? Tidak ada artinya"

"Lalu aku?"

"Aku mendapatkan peluang lebih banyak darinya. Aku ingin mengabdi untuk semua orang. Karena itu aku memutuskan untuk kuliah lagi. Sebelumnya aku pesimis dengan niatku. Yah tapi segala sesuatu yang kita putuskan pasti ada resikonya. Dan perjalanan yang kita lalui tidak mungkin selamanya mulus. Dengan azam ini aku mencoba untuk terus maju"

"Eh Asma' ashirnya diminum"

"Oh iya...iya"

Meski begitu, aku juga masih takut akan masa depanku. Terkadang aku tak tahan dengan tatapan iba orang-orang di sekelilingku. Aku benci dengan kaki yang tidak berguna ini. Aku iri denganmu, Asma'. Kau punya anggota tubuh lengkap dan cerdas. Kau punya banyak kesempatan lebih dariku untuk beramal. Tapi aku tetap harus bersyukur, karena Allah masih memberiku kesempatan hidup untuk memperbaiki diri. Allah memberiku nyawa ke dua dengan jiwa dan semangat yang berbeda. Ah, jika menengok kebelakang melihat masa laluku, aku benar-benar malu.


Kata-kata Nabila mengalir seperti air dan seketika berhimpun menjadi ombak besar yang menerjangku. Aku memang punya banyak kesempatan beramal daripada Nabila, tapi tersia-siakan. Aku juga mengakui kecerdasan akademisku lebih tinggi dari Nabila, tapi Nabila juga mempunyai "kecerdasan" yang melebihiku. Dia sangat tekun dalam belajarnya. Buku-bukunya juga berjilid-jilid.

“Oh iya aku lupa, kemarin mama membelikan aku beberapa abaya. Kamu mau lihat?"

Tanpa menunggu persetujuanku, Nabila membuka daun pintu lemarinya. Dia mengeluarkan sebuah kantong bermerk nama salah satu mall terkenal di Kairo ini. Isinya abaya-abaya cantik beserta jilbab yang sepadan. Pikiranku menerawang, andai saja aku mampu membelinya.

“Kamu boleh pilih sesukamu?" ‌bisik Nabila.

“Untukku? Benarkah?"

Nabila mengangguk dengan senyum ketulusannya. Ah kau sekali lagi melampaui aku Nabila. Meski tanpa aku katakan aku akui dari dulu aku iri padamu sebagaimana kau iri padaku.♀
Selengkapnya...

Teater; Dunia Tuhan atau Syetan...!?

Oleh; Imam Labib H.R*
(Aplikasi Dunia Teater Dalam Panggung Sandiwara Ke-Sejati-an)


Orang bilang dunia seni merupakan dunia miskin, gak jelas tanpa adanya masa depan yang cerah dan selalu identik dengan pandangan yang serba negatif. Benarkah orang yang berkecimpung dalam dunia seni tidak memiliki kantong tebal dengan celana sobek-sobek, rambut gondrong, acak-acakan, tidak pernah serius, tidak memiliki disiplin diri dalam hal kebersihan atau lain sebagainya. Betulkah orang yang bergelut dalam seni hidup tanpa aturan dan seenak perutnya. Semuanya juga hasil pandangan orang lain serta tingkah laku dari si pelakunya sendiri yang kurang memahami dan memaknai akan apa arti seni.”Dan bukanlah kehidupan di dunia ini sebagai bentuk aplikasi dari main-main dan senda gurau belaka. Padahal kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian memahaminya?” (Al An’am: 32)


Hakekatnya seni merupakan bentuk keindahan dan kelembutan yang membuat orang terpesona akan hasil karyanya dan menjadikan kepuasaan tersendiri bagi si penikmat seni dan pembuatnya. Seni adalah hati, hati identik dengan kelembutan. kelembutan unsur dari keindahan, keindahan aplikasinya menuju pada kedamaian. Kedamaian adalah inti ke-ma’rifat-an tentang TUHAN. Sedangkan TUHAN adalah segala-galanya. Dalam hal inti, tak selamanya sesuatu yang berbau seni itu menjerumuskan dalam perkara yang negatif. Bahkan sejatinya seni itu bisa mendatangkan sesuatu yang sangat besar dan berharga asalkan si pencipta seni dapat membuat karyanya yang sangat memukau untuk diri sendiri atau orang lain. Biasanya sebuah karya seni dikatakan indah apabila dihasilkan dari perasaan yang sangat lembut keluar dari dalam diri si pencipta. “Allah itu indah dan menyukai yang indah-indah”. “Salah satu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa kita adalah seni” ( Prof. DR. Buya Hamka).

Karya seni ada berbagai macam bentuk salah satunya bisa diciptakan melalui aktifitas memerankan sesuatu diatas panggung sandiwara seperti teater. Dalam teater ada berbagai tahapan atau tingkatan untuk menghasilkan lakon yang terbaik dalam memainkan peran sandiwaranya diatas panggung. Seperti dalam dunia Tuhan (red; bumi panggung sandiwara Tuhan) manusia sebagai pemeran utamanya harus memerankan lakonnya sebagai pemain sebaik mungkin mulai dari lahir sampai ia meninggalkan pementasannya dari panggung Tuhan alias mati. Tidak luput juga bahwa ketika seorang pemain sandiwara sebelum memainkan perannya di panggung, ia harus terlebih dahulu melalui proses penggemblengan yang cukup lama dan keras, agar nantinya dapat menghasilkan sebuah karya pementasan yang spektakuler dan berkesan. “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”.

1. Sebelum pementasan teater terlebih dahulu memilih sekenario mana yang baik dan siap untuk dipentaskan dalam panggung pementasan. “Katakanlah; hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (Al-Kafirun: 1-6)

2. Seorang penulis dan sutradara skenario memberikan petunjuk kepada para pemain akan isi, maksud dan tujuan skenario itu agar para pemerannya mengetahui karakter apa yang akan diperankannya nanti. Jika diibaratkan dalam panggung sandiwara Tuhan (Dunia) atau kehidupan sehari-hari, seorang penulis dan sutradara skenario adalah Tuhan itu sendiri (Allah Tuhan Yang Esa). sedangkan skenarionya adalah al Qur’an yang mana sebagai petunjuk manusia guna memainkan sandiwaranya di dunia dengan lakon dan karakter yang diberikan Allah untuk dirinya. Maka bersyukurlah jika kita mendapatkan petunjuk untuk memerankan diri kita sebagai manusia di panggung sandiwara-Nya sebagai orang yang baik bukan memerankan karakter antagonis (jelek). Jangan pernah sekali-kali merubah karakter kita sebagai manusia untuk mengingkari petunjuk dari sang penulis skenario dan sutradara jika tidak ingin mendapatkan cibiran (tertawaan) dari penonton. Firman Allah Swt; “Jika kalian mensyukuri akan segala nikmat yang telah Aku berkan kepadamu maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepada kalian. Akan tetapi jika kalian ingkar akan segala nikmat-Ku maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih”. “Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menciptakan Jin (pemeran yang buruk) dan manusia (pemeran yang baik) kecuali untuk menyembah-Ku (Taat kepada Sang Pencipta Sekenario dan Sutradara Dunia)Allah A’lam.

3. Setiap lakon diharuskan untuk membaca serta menghayati skenario agar mengerti peran apa dan bagaimana yang harus dimainkanya diatas panggung nantinya yang akan disaksikan oleh banyak penonton (penikmat seni) lainnya. Jadi ketika manusia hidup haruslah mempelajari, mamahami serta membaca akan kandungan-kandungan isi skenario Tuhan (al qur’an) agar manusia hidup di dunia tidak terjerumus dalam kesesatan-kesesatan yang akan di perankan oleh kaum antagonis iblis, syetan dkk. “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Ali Imran: 101). Dan tetaplah berusaha untuk bermain karakter yang ia perankan sebaik mungkin seperti yang telah ditunjukkan oleh sutradara dan penulis skenario drama.

4. Mulai melatih diri dengan peran yang akan kita perankan di atas panggung sedini mungkin. Belajarlah dan berlatihlah mulai dini (kecil) karena belajar ketika masih kecil bagaikan mengukir diatas batu sedangkan belajar dan berlatih ketika sudah dewasa seperti mengukir di atas air (mudah hilang). “Ajarilah anak-anak kalian dengan puisi sejak kecil” (Sayyidah Aisyah istri Rosulullah Saw). “Mencari ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat” (al hadist). Jadi berlatih belajar pementasan teater mulai dari ia mendapatkan skenario sampai ia mau mementaskan perannya diatas panggung masih mendapatkan ajaran, baik dari sang sutradara maupun dari kawan bermainnya.

5. Kemudian tatkala sedang pentas diatas panggung diharuskan sang pemain agar bermain secara totalitas agar mendapatkan hasil karya yang terbaik buat dirinya dan penonton yang sedang menyaksikan pementasannya. Ibaratkan pentas diatas panggung untuk yang terakhir kalinya agar mendapatkan hasil yang sangat optimal dan baik. Begitu juga ketika kita sedang mementaskan peranan kita sebagai pemain sandiwara (manusia) di dunia, maka kita tidak perlu tanggung-tanggung memerankan diri kita secara total. Kita hidup di dunia ini hanyalah sekali saja seumur hidup. Maka mainkan peranan kita sebaik mungkin untuk mendapatkan aplaus dan tepuk tangan dari penonton serta pujian dari penulis sekenario dan sutradara diakhir pementasan. “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat maka Kami akan berikan (pula) kepadanya pahala akhirat dan Kami juga akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Al Imran: 145).

Apabila di pertengahan pementasan terdapat suatu kesalahan maka seorang pemain sandiwara diperbolehkan untuk melakukan improvisasi (berbuat untuk menutupi kesalahanya dalam akting) dan secepatnya kembali semula kepada peran yang telah dimainkannya sesuai skenario. Agar tidak terjadi kesalahan yang besar dan fatal selanjutnya. “Sesungguhnya Tuhan-mu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya. Kemudian mereka bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Sesungguhnya Tuhan-mu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An Nahl: 119).

Panggung teater merupakan salah satu bentuk terkecil dari aplikasi sandiwara dunia yang diciptakan Allah untuk kita perankan dengan sebaik-baiknya. Orang bergelut dalam dunia teater tidak selamanya teridentikkan dengan keburukannya, akan tetapi cobalah untuk melihat kepada sisi positifnya yang lain. Biasanya orang yang bergelut dalam dunia seni baik yang bergelut ke teater atau yang lainnya, hubungan persaudaraan, persahabatan diantara mereka sangatlah kental sekali. Hal-hal yang positif beginilah yang harus kita contoh dan aplikasikan ke dalam kehidupan keseharian.

Prinsip teater yang utama adalah bisa memerankan suatu peran yang mungkin saja tidak ada pada diri kita. Akan tetapi kita dituntut untuk bisa memerankan karakter itu. Aplikasi ajaran itu sangat berdampak positif sekali jika pelakon mau menyadari dan memahaminya. Jadilah diri sendiri tapi juga harus bisa menjadi orang lain. “Lihatlah dalam hal dunia itu ke bawahmu akan tetapi dalam hal akhirat lihatlah ke atasmu”. Allah A’lam Bishawwab.

Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”. (Al-Hasyr: 24)

* aku manusia rendah yang tidak memiliki apa-apa mendapat kepercayaan sanggar mungilku Lingkaran Sastra Papyrus PCI-Muhammadiyah Kairo sebagai kepala keluarga periode: 2007-2008.


Selengkapnya...

Bandara (2007)
























Genre : Drama Dokumenter
Pemain : Affan Ardian, Istianah, Rahmadi Wibowo, Wahyudi Abdurrahim, Saifudin Zuhdi, Dedi Jamaluddin, Misbachul Munir
Sutradara : Mufti Afif
Editor : Rudi Candra
Naskah : Rudi Candra & A ginanjar S
Produksi : Lingkaran Sastra PAPYRUS Cairo & Diandra El-Ikhlasy Production
Tayang : 21 Februari 2007
Klasifikasi Penonton : 13 Tahun Keatas (13+) Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Salam Penyair Untuk Pejuang

Oleh : HanG Fa i SAl














Gelombang-gelombang laut
Buih-biuh menerpa ketepi
Kerumunan para..para..para..

Para penikmat tepian pantai
Para borjuis berdendang
Bergoyang-goyang para penguasa

Dulu itu dimiliki penjajah
Dulu itu hanya tepian usang
Dulu itu belum sempat kita nikmati..

Jangan jadi manusia lupa daratan
Kacang lupa kulitnya
Setelah kering ditimpa panas

Durhaka terhadap bangsa
Durhaka terhadap pejuang
Sungguh celaka tak tau asal jadinya

Hahaha

Apakah aku orang pelupa?
Apakah aku orang yang ego?
Aku tidak mau semua itu

Sangsaka berkibar kesegala arah
Sangsaka merah putih yang bersejarah
Merah berkibar adalah goresan darah
Darah para petualang sejarah

Wahai para borjuis
Kau tak-kan bisa lepaskan senyummu
Di eloknya pantai tanpa beliau
Wahai para jutawan
Kau tak akan bisa dirikan
gedung mewah Tanpa beliau

wahai semuanya..
kalian tidak akan tentram
tanpa keringat beliau
beliau telah ukir negri ini
dengan tetesan darah
beliau berjuang tanpa mengharap sepotong
kata indah

bukan pujian dari semua arah akan tetapi
tahadus bi ni’mah
akankah beliau ditelan sejarah
dan akankah berlalu begitu saja

aku ingin cari beliau
dimanakah beliau??
Adakah dizaman ini?
Yang berjuang dan membela kepentingan bersama
Adakah?

Aku telah teriakan aku cinta negriku
Aku cinta bumi pertiwi
Aku cinta semua suku
Akulah pecinta agama-agama, karena islam
Mengajariku
Tapi rasis, egois, nepotis
Is.. is.. is.. tidak mengerti aku apa itu is?
Aku hanya penyaiir yang memupuk cinta
Cinta terhadap timbangan

Bangkitlah…
Menjemput kemerdekaan hakiki
Ingin ku usungkan didepan semua negri
Aku ingin jadi beliau
Apakah beliau masih ada?
Ternyata beliau telah tiada
Beliau adalah pahlawan tunas bangsa
Beliau agamawan ditengah-tengah penjajah
Manusia dua orang ini adalah pencerah

Apakah beliau masih ada?
Beliau sudah di alam yang berbeda
Salam penyaiir untukmu pejuang
Salam penyaiir untukmu agamawan
Semoga tuhan bersamamu

Hei kamu!! Terima kasih buat kamu.
Kamu-kamu yang seperti beliau.
Selengkapnya...

Label: 0 komentar | edit post
Belaian Padang Pasir

Oleh; Nadia Ulya*


“Menuntut ilmu itu jihad fi sabilillah, Insyaallah teman kita Shofi termasuk dalam golongan para syuhada” Kak Sidiq menjelaskan dengan bijak. Kulihat tetes-tetes bening jatuh penuh haru membentuk danau kecil di pelupuk mata para pelayat saat pemakaman itu. Akupun tak kuasa menahan loncatan air mata yang terus mendesak keluar. Mati syahid, benarkah? Aku tak habis fikir, hatiku kembali bertanya. Shofi mungkin bisa disebut sebagai seorang syahidah. Tapi seandainya yang meninggal itu Aku? Bulu kudukku bergidik.


****

“Darimana Na, jam segini baru pulang?” kulirik jam di dinding ruang tamu, jarumnya menunjukkan pukul 12:10 malam.

“Mmm… habis dari jalan sama Oma mbak” Jawabku asal

“Jangan sering pulang malam nggak bagus, ini demi keselamatan kamu juga, hati-hati dalam bergaul. Mbak Diah Cuma bisa ngingatin, “

“Iya mbak” Jawabku singkat. Uh, sok nasehatin segala kakak kelasku ini, malam-malam Khutbah. Rutukku dalam hati.

****

Hatiku kecut. Enam bulan di Kairo bermacam rasa kucicipi. Antri panjang di kuliah, berdesak-desakan di bis seperti sarden, tumpukan diktat kuliah tebal yang sulit dipahami, dijahili ammu-ammu yang kurang kerjaan. Kecopetan Ha Pe. Semua ini terpaksa kutelan. Ah, ternyata Kairo tak seindah yang kubayangkan, tak senyaman anganku. Akupun tak tahu, bunga-bunga mimpiku dulu kini berlabuh entah kemana. Yang kutahu kecewa itu hanya milik masa lalu…

Enam bulan yang lalu aku meninggalkan tempat kelahiranku, pulau Bangka. Kini kakiku telah menjejak di negeri seribu menara berkabut debu. Bapak rela menjual sepetak tanah warisan miliknya untuk biaya keberangkatanku. Keluargaku memang bukan tergolong keluarga yang mampu, Bapak bekerja sebagai nelayan. Sedangkan Ibu tukang jahit biasa. Berbeda dengan Shofi teman seberangkatku ke Kairo. Bapaknya mempunyai toko kerupuk terkenal di Bangka. Namun sayang, goresan takdir telah memanggilnya terlebih dahulu, usus buntu yang dideritannya merenggut cita dan meranggas masa mudanya.

Aku terhempas, terngiang digendang telingaku pesan bapak ketika itu, tatkala senja mulai menjelang. Mengingatkanku kembali akan memory yang hampir terpisah bagai puzle-puzle yang berserakan.

“Belajar yang baik nak, jangan mikir yang macam-macam. Bapak dan Ibu pengen melihat kamu pulang dengan sukses”

“Ok Pak, Bu. Ina akan berikan kado terbaik buat kalian” Jawabku tegas. Bayangan itu menambah nyeri lubuk hatiku. Titian waktu menorehkan tinta lain. Apa yang telah kulakukan disini, akankah mimpi indahku hadir kembali? Akankah kado yang telah kujanjikan dapat kuhadiahkan kepangkuan Bapak dan Ibu?

****

Padatnya aktivitas di Kairo, telah mengajariku setitik demi setitik arti memilih. Memotret realita, sebenarnya Akupun tidak bisa mengisolasi bahwa mesir adalah tempat yang sangat membosankan. Karena kutahu banyak sisi positif yang dapat kutemukan. Semuanya ada disini. Terbentang luas. “Kebebasan memilih” penggalan kata inilah yang mungkin menjadi alasanku. Hitungan detik inilah yang telah mengajariku beragam warna, Aku telah tergelincir bersama panorama yang ada. Pulang malam, aktif organisasi di mana-mana, chatting, nge-game, menganggap remeh muqarrar yang terlunta-lunta, jalan dan makan bersama Robet pacarku. Ya itulah Aku Nirina anak seorang nelayan yang terpoligami oleh keadaan. Survei mebuktikan, waktuku terus mengalir tanpa terasa yang menyisakan kesia-siaan dan kesenangan sesaat. Kurasakan jiwaku kini begitu tandus. Ruhiku kosong, Aku perlahan terbangun dari mimpi panjangku, Aku lelah dalam keterpurukan ini.

Aku tak yakin seandainya saat ini Allah memanggilku, apakah aku pantas menyandang predikat syahidah sebagai seorang penuntut ilmu, yang memperjuangkan agama-Nya? Semburat fajar seakan tersenyum sinis turut mengejekku.

****

Ah, sebenarnya bibir ini terasa kelu tuk berucap. Bayangan wajah lelah Bapak berlapiskan peluh, lembut belaian jari-jari Ibu yang perlahan mulai keriput membuatku tak sanggup mencipta kata. Berat rasanya, tetapi harus kukatakan.

“Pak, Bu, Ina mo minta izin nikah” Ujarku gugup. Kutangkap keterkejutan Bapak dan Ibu di seberang. Kulanjutkan kata-kata walau berbagai rasa bergelayut di hati.

“Bantu Ina Istikharah, semoga diberikan-Nya yang terbaik”. Kurasakan helai-helai kecewapun tercipta.

Solusi! Ya inilah solusinya. Namun aku sendiri belum bisa meyakininya. Benarkah menikah satu-satunya jalan? Aku kembali dalam bimbang yang melelahkan. Ya Allah hanya siraman rahmat dan petunjuk-Mu yang kuharapkan…

Oh, Adakah mimpiku ini suatu yang realitis atau hanya fantasi? Hanya bayangan pesona indah-Mu yang kini semakin dekat dan menggelitik relung hatiku, menghentakkan langkah-langkah kakiku. Serpihan bingkai cita-citaku kini kembali tertancap di dalam dada. Semoga dapat kusempurnakan kembali pada kesempatan ini…

Di penghujung musim dingin 2007

Kututup buku harian bersampul hijau bermotif kotak-kotak yang mulai pudar dimakan usia itu. Kubaca tulisan yang tertera disampul bagian depan. “Belong to Nirina” Kuambil segelas air putih, kuteguk sampai habis. Nirina sebuah nama yang masih melekat dalam ingatanku, sosok bidadari yang selalu mengisi hari-hariku. Mengiringi langkah dakwahku. Ia sosok isteri yang sholehah, seorang ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan jundi Allah, Nur Habibah buah hati kami. Tak terasa bulir-bulir bening mengalir dipipiku.


Selengkapnya...

Semalam Dalam Senyap

Oleh; Dina Rosa



Di sebuah Mahathah kawasan Rab’ah al-Adawea

Malam Kairo sebentar lagi menggenapkan gelapnya. Menepis senja yang sudah lama tak kelihatan sejak beberapa jam yang lalu. Mobil-mobil pun mulai sedikit yang lewat di jalan itu. Sementara, seorang gadis berdiri gelisah di mahathah tersebut. Sesekali dia duduk di bangku mahathah. Namun, kesendirian mengenyahkan kenyamanan di hatinya. Teman-temannya yang dari tadi bersamanya satu persatu telah menaiki bis idamannya.

Alicia mondar-mandir, menoleh ke samping dan kebelakang. Lalu matanya melirik jam di hp-nya, pukul sepuluh lewat. Badannya meremang. Rasa takut mulai menyelinapi hatinya. Dia teringat obrolannya dengan Kak Moni beberapa hari yang lalu.

“Udah denger belum isu tentang pembunuh mania di Kairo?”

“Belum. Emang gimana ceritanya?”

“Tuh orang kalo lagi kepengen bunuh orang dia akan bunuh siapa aja yang ditemuinya”

“Yang bener aja!! Di Kairo?”

“Iya. Jadi sekarang mesti hati-hati. Jangan sering pulang sendirian. Dan jangan pulang kemaleman. Pokoknya wasapada saja, jangan terlalu percaya dengan orang yang tak dikenal”

Alicia sempat bergidik. Membayangkan seperti apa orang tersebut. Ada ya orang seperti itu?

“Kenapa gak ditangkap aja?”

“Katanya sekarang lagi dicari”

Ya Allah, jangan sampe ketemu ama tuh psikopat. Aku tuh anak Ayah dan Ibu satu-satunya. Jangan sampe mati sia-sia. Tapi gimana kalo malam ini aku ketemu ama orang gila itu? Aku tak ada alat untuk melindungi diri. Ah, semoga aja penyakitnya gak kumat. Eh, kalo lagi kumat. Ya, lari dong. Ih, salah sendiri gak mau diajak Laras nginep di rumahnya tadi. Tahu rasa, lo.

Alicia meredam bisikan-bisikan aneh hatinya dengan istighfar. Dia terus berdoa dan berdoa. Mobil-mobil yang lalu lalang semakin sedikit.

“Masa sih gak ada mobil sampe sekarang?” Alicia menghentakkan kakinya yang letih. Dia pun duduk lagi.

Sebuah mobil sedan metalik berjalan lamban lalu mundur dan berhenti pas di depan Alicia. Pengemudinya menurunkan kaca mobilnya dan mengatakan sesuatu yang tidak ia pahami. Alicia termasuk orang baru di negri ini. Jadi kosa kata ‘amiyahnya belum memadai. Terkadang ia lama mikir untuk memahami percakapan orang Mesir. Alicia mendekati mobil tersebut.

“Eih?” tanya Alicia meminta laki-laki yang memakai kacamata itu mengulang kata-katanya. Laki-laki itu mengulanginya di tambah dengan isyarat tangan. Seolah-olah dia berkata, masuk saja dan aku akan memberi kamu uang.

Wajah Alicia langsung pias, badannya gemetaran. Ia menggelengkan kepalanya dan lari. Yah, lebih baik lari dan terus berlari. Airmatanya secara perlahan keluar dari matanya.

Setelah agak jauh Alicia menoleh ke belakang. Mobil tersebut tak ada lagi. Ia menarik nafas lega. Dan berjalan pelan. Letih juga rasanya. Aliran nafasnya naik turun. Sebentar lagi simpang Masjid Nuril Khitob, semoga aja di simpang itu bis yang ia tunggu ada. Ketika tiba di mahathah samping masjid, dia duduk melepas letihnya.

Di saat ia duduk tenang, lagi-lagi sebuah mobil berhenti di dekatnya. Sebelum pengemudinya menurunkan kaca mobilnya, Alicia bangkit dan mengayunkan langkah dengan cepat. Mobil tersebut mengejarnya. Alicia pun lari.

“Adek…adek… tunggu..”

Alicia menajamkan telinganya. Suara wanita. Gadis itu menghentikan ayunan kakinya lalu menoleh ke belakang. Sepotong wajah berjilbab biru menyembul dari dalam jendela mobil. Wajah khas Indonesia.

“Mau kemana, Dek?”

“Ke Hay Tsamin Mbak”

“Ikut saya aja ya? Jam segini sudah jarang mobil yang lewat”

Alicia tersenyum dan mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil tersebut dengan hati yang mulai merasa nyaman. Di samping Mbak itu seorang laki-laki yang mengemudikan mobil. Pasti suaminya, tebak Alicia.

“Anak baru ya?”

“Iya, Mbak”

“siapa namanya?”

“Alicia, Mbak”

“Oh, kalo saya panggil saja Mbak Setyo. Ini Mas Agus, suami saya”

Mereka pun ngobrol panjang lebar di sepanjang pejalanan. Alcia tidak merasa rikuh, mereka sangat ramah. Dalam hati Alicia bersyukur bisa bertemu beliau malam ini.

“Imarahnya yang mana, Lis?” tanya Mas Agus.

“Yang itu, Ustadz” Alicia menunjukkan tempat di mana imarahnya berdiri. Perlahan mobil berhenti di depan imarahnya. Alicia turun dengan perasaan lega.

“Lain kali, usahain jangan pulang terlalu malam ya?” pesan Mbak Setyo sebelum menutup kaca mobilnya dan beranjak pergi.

Alcia nyengir.

“Insyaallah, Mbak”

* * *

Alicia tersenyum lucu mengingat kejadian barusan. Dia menaiki tangga dengan bernyanyi kecil. Malam ini rumah sepi. Teman-teman serumahnya menginap di rumah Mbak Sally yang semalam melahirkan. Kalau di rumah, dia tidak terlalu takut untuk sendirian. Sesampai di depan pintu rumahnya ia mengambil kunci di sakunya. Tapi…

“Loh, kok kuncinya gak bisa masuk” Alicia mencoba beberapa kali. Tetap saja seperti semula. Sia-sia.

Tapi ini kan kunci yang sering di pakai Mbak Moni. Alicia mengingat-ngingat lagi. Ia tetap merasa yakin. Dengan tergesa dia menuruni tangga imarah. Tujuannya adalah Box Minatel di depan imarah. Ia harus menghubungi Kak Moni di rumah Mbak Sally. Saat ini juga. Siapa sih yang rela menunggu di depan pintu rumah semalaman.

“Aduh, Lis, ma’alisy banget. Gantungan kuncinya udah Kakak ganti. Itu kunci lemari kakak. Ya udah, sekarang kamu ke sini aja. Nggak jauh kok”

Pertahanan Alicia pun jebol. Dia menangis sekuat-kuatnya. *
Selengkapnya...

Hanya Sehari

Oleh; Hafara el Quds*


Di sore yang indah. Pemandangan yang elok. Kanan kiri jalan yang di tumbuhi pepohonan nan rindang. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negara khatulistiwa, negara yang beriklim tropis. kau katakan inilah surga dunia. Katamu juga, aku takkan mendapatinya di negaraku. “Ah itu hanya bualanmu,” sanggahku kala itu. Sebenarnya kau tak tahu apa-apa tentang keindahan negeriku. Kau hanya sebentar saja singgah di negaraku, hanya empat tahun. Waktu yang sebentar bukan. Lagi pula, ketika kau di negaraku, kau hanya berkutat di Qaherah saja. Rumah kontrakanmu pun terletak di daerah kumuh, di distrik sepuluh. Bagi kami, tempat itu tidak layak untuk ditempati oleh manusia berpendidikan. Karena melihat tingginya tingkat kriminal, orang-orang di tempat itu pada tidak beradab, dan tentu saja yang namanya tempat kumuh ya pasti banyak sampah, jalanan yang becek, huh menjijikkan.

Berbeda denganku, aku ditakdirkan menjadi anak orang kaya, selalu berkecukupan. Bahkan, orang tuaku tidak pernah menggelengkan kepala ketika aku minta sesuatu darinya. Ya, walaupun kita tinggal di satu kota, tapi kita tetap berbeda. Karena kau tinggal di daerah kumuh dan aku di daerah yang elit. Itulah yang membuat status kita tetap berbeda. Selain itu, kau orang A’jam. Dan perbedaan kita yang paling mendasar karena kepercayaan kita berbeda. Faktor inilah yang mungkin membuat ayahku sulit untuk menerimamu masuk dalam kehidupanku.

Kuakui, ayahku termasuk orang yang berpegang teguh dengan ajaran nenek moyangnya, tapi dia sebenarnya baik. Buktinya ia bisa memberikan kepada seluruh anak-anaknya kasih sayang yang lebih. Dan itupun kalau masalah kasih sayang. Kalau masalah harta jangan kau tanya. Ayahku sanggup membelikanku Renault Megan yang biasa aku kemudikan sendiri ketika aku berangkat kuliah di Cairo University. Padahal kau tahu sendiri kalau aku bukan anak satu-satunya. Karena adat di negeriku yang sangat mempercayai kata orang bijak “Banyak anak, banyak rejeki”. Aku masih punya empat orang kakak walaupun dua diantara mereka sudah menikah. Sedangkan adikku ada empat juga. Kau tahu adikku yang paling kecil, ya yang masih kelas enam ibtida’i, itu saja sudah di belikan ayahku handphone Nokia 6680. Apa kau masih meragukan taraf ekonomi keluargaku.

*****

Aku masih ingat pertemuan yang tak disengaja itu. Tepat awal Juli saat liburan musim panas tahun lalu. Ketika aku ingin memasang papan nama di nisan mendiang ibuku bersama Pastor Yossef yang terletak di pekuburan Gereja Mary Girgis, di samping reruntuhan Roman Tower. Kau yang masih kelihatan lugu dan tak tahu apa-apa menanyakan perihal makam para kristus domba Allah. Pada waktu itu, Pastor Yossef kelihatan tidak senang denganmu yang menganggu upacara pengantian papan nisan itu. Aku juga tidak tahu alasan apa yang membuat Pastor berbuat seperti itu. Bisa jadi dari caramu berpakaian yang tidak menggambarkan kalau kau seorang Qibti, tapi itu sebenarnya wajar, karena kau orang A’jam. Mungkin juga dengan tidak adanya tatto salib di pergelangan tangan kananmu.

Pastor Yossef tetap diam saat kau tanya, aku tak tega melihatmu diperlakukan seperti itu, lalu naluri kemanusiaanku bangit untuk segera menanggapimu. Kuberikan sebuah senyuman kearahmu, dan kuisyaratkan agar menunggu sebentar, sampai acara ini selesai.

Kau yang kemudian mundur beberapa langkah mencoba mencari hal-hal baru yang sepertinya takkan kau temui selain di tempat ini. Kau tak salah jika ingin mengetahui seluk beluk tentang kaum Nasrani disini. Karena disinilah tempat yang dahulunya kemajuan kerajaan Roma yang mayoritas memeluk agama Nasrani itu maju pesat. Salah satu bukti omonganku, coba kau lihat Gereja Mary Girgis yang masih satu komplek dengan pekuburan ini. Gereja dengan desain Romawi kuno yang megah, yang di dalamnya terdapat foto-foto Pastor dari jaman Roma. Nasehatku, jangan kau tinggalkan ruang bawah tanah gereja karena di sana kau akan melihat ada beberapa buah alat hukuman pada jaman Roma. Di sana juga ada gua persembunyian hampa udara yang aku sendiri tak tahu siapa dulu yang bersembunyi di situ.

Kau pun mencoba mengabadikan semua yang kau lihat dengan kamera bututmu. Mencari objek yang pas.

Upacara itu selesai dan kau tampaknya menagih janjiku. Dengan perlahan kau mendekatiku ketika kau melihat Pastor Yossef berjalan meninggalkanku. Wajahmu menggambarkan rasa ketidaksenangan kepada Pastor Yossef. Aku bisa melihatnya.

Kukira kau seorang turis, yang akan bertanya dengan bahasa Inggris, aku sudah minder karena tak bisa berbicara dengan bahasa asing itu. Karena aku tidak suka dengan apa-apa yang berbau kapitalisme. Walaupun dengan bahasanya. Tapi tebakanku salah, kau ternyata seorang mahasiswa tingkat akhir Universitas al-Azhar.

“Kau pasti seorang muslim?” tanyaku.

Kau gerakkan kepalamu mengangguk.

Sudah kuduga.

*****

“Erlita, astagfirullah,” teriakmu ketika melihatku di pojokan jalan Abbas Saqot. Samar-samar kulihat kau membopongku sambil mencarikan taksi. Aku yang setengah sadar karena pengaruh minuman keras mabuk berat tak kuasa menahan tulang-tulangku untuk berdiri.

Di dalam taksi berwarna hitam putih yang sudah tak layak disebut taksi ini, kulihat wajahmu memamerkan kekhawatiran. Aku tidak sanggup membuka mata seutuhnya, resah. Diatas pahamu, sambil menggeliat kusandarkan kepalaku untuk sedikit mendapatkan kenyamanan. Kau yang sesekali mengipasiku dengan buku tipis yang kau bawa, aku sedikit mendapatkan angin segar.

“Maafkan aku,” kataku lirih.

“Maaf atas apa Erlita?”

“Maafkan aku yang diam-diam mencintaimu. Maafkan aku yang mencari orang lain yang mirip denganmu, lalu aku anggap dia itu kamu. Aku tahu kita tidak mungkin bersama karena kita berbeda kepercayaan. Aku Nasrani dan kau Islam. Kau tidak mungkin berpindah kepercayaan, aku pun begitu. Kalau boleh aku bercerita, sekitar dua bulan yang lalu, aku berkenalan dengan orang yang sangat mirip denganmu, dia berkebangsaan Libanon. Kalian sangat mirip, jika mataku ini ditutup, lalu salah satu dari kalian berbicara, aku pasti tidak tahu suara siapa itu. Aku sudah menganggapnya dia adalah dirimu. Kalian teramat mirip. Aku terlalu bahagia waktu itu. Aku kelepasan. Mahkotaku yang paling berharga telah kuberikan padanya,” aku sesengukan tak kuasa menahan butiran kristal yang meleleh di pipiku.

Kau hanya bisa termangu memahami apa yang baru aku ucapkan. Terpantul dari sinar matamu, aku tahu sebenarnya kamu juga memendam perasaan yang sama terhadapku. Tapi apalah daya, orang mempunyai kepercayaan masing-masing yang tidak bisa digadaikan dengan kebersamaan.

Mobil peugeut 405 yang terbungkus balutan hitam dan putih ini sudah memasuki gerbang rumah sakit Rab’ah el Adawiyah. Aku masih bisa melihat kau berbicara dengan dokter jaga bahwa ada pasien kritis yang butuh pertolongan secepatnya. Aku juga masih melihat kepanikan itu belum hilang dari wajahmu.

*****

Sekarang aku percaya apa yang kau katakan itu adalah sebuah kebenaran. Negerimu memang lebih indah dari negeriku. Dan Jogja memang jauh lebih indah dari Qaherah. Aku tak akan menyangkal lagi. Dan yang paling aku suka dari negerimu adalah kesopanan dalam bertingkah laku yang tidak aku temui di negeriku. Padahal kalau dipikir, negeriku lebih dekat dengan peradaban Islam dan tentunya mengajarkan tentang perilaku orang beradab. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Aku baru sehari memeluk Islam. Dan aku baru mengerti keindahan agamamu di negerimu. Sungguh aneh. Semalam, aku menghafal surat al-Ikhlas. Alhamdulillah, aku sekarang sudah hafal tiga surat. Kata orang yang suka pakai sorban putih dan yang menjadi saksi keIslamanku, aku hafal triple Qul. Ah, ada-ada saja.

Udara subuh yang segar mengirim aroma surga. Pelan-pelan masuk ke hidung, melewati bulu-bulu halus, terus masuk kedalam sampai paru-paru, membuat badan siap untuk menghadap Ilahi. Langit sebagai alas bagi para bintang untuk saling bercanda, terang. Ritual setiap pagi di langgar yang hanya dua rekaat itu cepat diselesaikan para jamaahnya. Tak puas hanya terpejam semalam, aku pun hanyut dalam dekapan selimut.

Seperti suara dentuman bom atom yang jatuh di Herosima dan Nagasaki, suara itu kembali, tepat di bawah bumi tempat kuberpijak. Ranjang tempat kutertidur, bergerak sendiri dengan irama maha dahsyat. Samar kudengar masyarakat pada teriak, panik, tak karuan. Aku sendiri bingung dengan apa yang harus kuperbuat. Untuk mencapai pintu saja, aku harus merangkak. Takut, panik, bingung.

“Gempa..! Gempa..!” teriakan mereka yang kudengar. Aku tidak tahu apa maksud mereka. Aku masih mencoba meraih gagang pintu yang tinggal sedikit lagi kuraih. Dalam hati, aku mengira inilah akhir dunia. Inilah kiamat. “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa semua orang mukmin dan orang muslim yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal,” doa tulusku dalam hati.

Dinding di sekitarku sudah pada retak. Bumi masih bergoyang kuat membuatku lebih susah meraih gagang pintu. Bruak.. Aku mendengar seperti sesuatu runtuh. Aku tak perduli. Yang penting sebentar lagi aku bisa membuka pintu lalu keluar menyelamatkan diri. Harapan tinggal harapan. Kakiku terjepit reruntuhan dinding. Berdarah, sakit, tak bisa bergerak. “Ya Allah, bantu aku,” pekikku. Dalam keadaan tak berdaya seperti ini, aku hanya bisa menyebut namaNYA. Praak.. aku mendengar suara itu lagi. Atap kamarku jatuh, aku mencoba melindungi kepalaku dengan kedua tanganku. Tapi manusia hanya bisa berusaha. Salah satu genteng yang jatuh mengenai tengkukku. Merah pekat darah segar segera meleleh melewati leher. Aku tak tahu, aku pingsan atau mati.

Selengkapnya...

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget