.quickedit{ display:none; }
Senja Yang Hilang

Oleh; Meta Hirata















Senja pun hilang. Seketika semuanya gelap dan kosong, aku masuk dalam dimensi ruang yang tak kumengerti...

***

Tiba-tiba tubuhku kurasakan berada di tempat yang asing, aku tak mengerti dimana itu, aku hanya sendiri, aku kini masih termenung sendiri, hembusan angin musim panas mengalun lembut menerobos celah-celah rambutku yang merah. Kupandangi pasir yang terhampar luas dilautan padang gurun yang gersang, tapi sore ini senja dimusim panas terlalu indah jika sekedar gersang. Ia hangat, cerah, begitu mempesona berselendang matahari senja yang merona.



”Patutkah semua untuk kujadikan kenangan?” Kuputar lagi episode demi episode yang pernah aku jalani. Berkelebat bayang demi bayang yang tertulis dengan tinta abadi diatas lembaran-lembaran putih jalan hidupku.

Aku tersipu malu, tersenyum sejenak. Me-replay bayang-bayang itu. Kurasa manis, sungguh teramat manis. Pandanganku sekali lagi kuedarkan menatap bayangan itu, kemudian terpejam sejenak mengulangnya dalam dimensi gelap labirin-labirin kosong. Mataku kembali terbuka, kembali kutatap episod manis yang ia suguhkan. Sarafku seakan berhenti untuk kembali memutarnya. Mungkin enggan, mungkin dia ingin membiarkan aku tetap tersenyum, mungkin dia hanya ingin menyuguhkan betapa indahnya senyum itu. Senyum yang memberikan ribuan cahaya dalam relung hati yang suram.

”Oh... benarkah cahaya itu milikmu?” Tanyaku pada hembusan angin. Kudekatkan pandangan mataku lagi, lagi, dan lagi.
“Tuhan, cahaya itu apakah benar cahaya dia? Tapi, bukankah cahaya adalah lambang kesucian?” ratapku sejenak pada Tuhan.

Kulihat lagi sesosok cahaya itu. Tertunduk malu dalam balutan jilbab polos berwarna biru. Kini kubertanya pada langit.
”Lihatlah langit! cahaya itu dalam balutan jilbab polos berwarna biru, bukankah seperti dirimu?”

Warna biru yang menyejukkan pandangan mataku. Kupandang dia seperti memandang dirimu. Kuharapkan ada kedamaian yang sama disana.

Kuturunkan pandanganku berlahan mengamati cahaya itu. Tak sedikitpun dia mencuri pandang padaku. Sesosok cahaya itu tetap terdiam disana. Lalu kumelangkah mendekat kearahnya, dalam jilbab itu kutemukan wajah yang tak kalah bercahaya. Wajah yang sendu, wajah yang melukiskan putihnya kejujuran dan memancarkan eloknya kesetiaan.

Lamat-lamat kudengar suara kecil melantun sangat merdu. Kuyakin itu suara cahaya berjilbab polos berwarna biru itu. Angin terhembus sepoi menyampaikan kata-katanya untuk menggugah hatiku. Suara itu mengalun lembut menerobos masuk kedalam hatiku. Suara itu menyebar menggetarkan dinding hati yang mulai rapuh. Suara itu membawa ruh untuk menghidupkan cinta yang mati. Suara itu membawa embun surgawi untuk menyirami bibit-bibit cinta yang tersisa dilahan yang kering kerontang tak berdaya.

Ragaku, jiwaku dan hatiku kembali hidup saat itu. Rasanya ribuan ucapan terima kasih takkan sanggup membayar kebaikannya untukku. Kembali aku berfikir apa yang harus aku berikan padanya. Apa yang harus kulakukan untuknya?

Angin kembali berhembus lewat helaian rambutku, angin mengajariku untaian kata-kata. kata-kata yang patut ku ucapkan untuknya. Kata-kata dari dinding hatiku yang dulu tak kumengerti. Sekali lagi aku pejamkan mata ini. Kucoba tuk menarik nafas untuk mengumpulkan tenaga yang tersisa ditubuh yang mulai rapuh. Kualirkan untaian kata itu berlahan dari hati menuju dinding saraf yang kan terus berjalan mengetuk pita suaraku

”...ukhti...uhibbuki fillah...”

***

Senja semakin tenggelam diufuk barat, kurasakan kemiluan cahaya hangatnya menyirami sekujur tubuhku yang lelah. Saat kuangkat pandangan mataku

”Ouhhh... silau cahayanya menghujam mataku. Perih...” Sontak kupejamkan mata. Dunia kembali gelap, mataku kembali terbuka sedikit demi sedikit. Samar-samar masih kulihat semburat cahaya itu. Kini semakin jelas tergambar cahaya itu adalah seorang gadis berjilbab biru, yah biru seperti langit. Dia sejukkan pandangan mataku, dia hembuskan kedamaian dalam relung jiwaku.

”Gadis, rupanya kau tetap disana, tampak diam namun mempesona.” Kuputar lagi barisan-barisan episode yang terpotong dari hidupku. Kugerakkan jiwa untuk menelusuri jejak rekam yang pernah kusimpan dalam memori ingatanku. Kucoba memejamkan mata sedikit untuk mengingat masa itu. Sejenak kumerenung.

”Stop...!!!” mulutku tiba-tiba berteriak pada putaran itu.

Mataku kembali terbuka mengamati cincin yang ada dijari manis tangan kananku. Cincin dijari manis tangan kanan adalah simbol ikatan seseorang dengan gadisnya, kuingat kata guruku berkelebat tiba-tiba.

Sontak aku berpikir.
”Aku sudah menjalin ikatan,dengan siapa?”
”Apakah aku sudah punya gadis, siapakah gadis itu?”
”Bukankah aku baru mengucapkan ikrar cinta pada gadis bercahaya berjilbab biru polos itu.” Pertanyaan itu mencoba menggodaku.

Kembali kuputar lambaran-lembaran memori dalam otakku. Tak kutemukan apapun disana. hanya bayang gelap terus mendominasinya. Hingga kupejamkan mata tak sedikitpun terbuka ingatan itu. Aku semakin lelah tak berdaya. Kutegakkan pandangan yang semakin melemah.

Mataku terbelalak heran.
”Oh... ya...???” Otakku kembali dipenuhi cahaya.
Byarrr, terang benderang, cerah, bagaikan langit siang tadi.

Kuamati jari manis tangan kanan gadis yang muncul dalam putaran penggalan episode itu. Kuyakinkan disana, dijari itu terselip cincin yang sama persis seperti yang ada dijariku. Cincin itu semakin membuat aku yakin dengan tiga permata biru yang berkerlipan tertimpa cahaya sama seperti punyaku.

Plasss...!!!
Tiba-tiba gelap. Bayangan itu hilang, musnah begitu saja. Tak mampu aku ulangi untuk sekedar mengingatnya.

***

Kini aku hanya mampu terdiam. Sejenak kau rasakan tubuhku mulai merasakan aliran darah dalam pori-porinya, udara yang masuk keparu-paruku juga mulai berhembus pelan. Badanku bergetar. Sepertinya ada suara merdu didekatku. Kuyakin itu lantunan ayat-ayat suci kalam Ilahi. Suara itu mengalir lembut lewat telingaku, aku hayati makna dari setiap katanya. Sungguh mendamaikan hatiku. Kudengarkan lamat-lamat ayat demi ayat. Kuhayati setiap hurufnya mengalirkan angin kedamaian dalam jiwaku.

Aku menemukan diriku dalam dimensi yang berbeda. Kurasakan jiwaku tak lagi berpijak pada bumi. Aku terasa melayang bercumbu bersama tiupan angin. Aku takut ini adalah kematianku. Namun tak kurasakan Izroil menjemput ruhku, aku hanya melayang bersama sepoi angin di alam yang berdimensi serba putih.

Ataukah aku hanya bermimpi? kurasa juga tidak. Aku berada di alam yang tak kumengerti. Dan tak sekalipun aku terbangunkan dari mimpi. Namun lantunan ayat-ayat suci itu masih dapat kudengar.

Perlahan kubuka mataku, sungguh terasa berat. Kulihat setiap sudut ruangan serba putih. Aroma khas obat menusuk hidungku. Kembali menyadarkan kalau ternyata hidungku masih bernafas.

”Ourrrggg...” Aku kesulitan untuk menggerakkan badanku. Rasanya semua hanya beku kaku terdiam. Aku sama sekali tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.

Entah mengapa aku sendiri masih bertanya pada ruangan putih ini.
Kenapa dan sejak kapan aku dirumah sakit ini?
Mungkin gadis yang membaca la-quran disampingku tau.
”Hai gadis, dimanakah aku?”
Dia hanya diam.

"Hai gadis, dimanakah aku?” Kucoba berulang-ulang memanggilnya, namun gagal. Seditik kemudian aku baru sadar, ternyata mulutku masih terdiam membisu.

”Aaauuurrgg...” gerutuku.
Hanya potongan jeritan yang entah didengarnya atau tidak.Tapi aku masih mencoba. Padahal aku sangat ingin bertanya kepadanya. Ingin kutanyakan tentang aku, aku sendiri tak tau kini siapa sebenarnya aku…

”Aneh, kenapa aku bisa dirumah sakit ini?...” Sekarang aku coba sekuat tenaga.
”..auurrgg...ya Allah...ya Robbi...?!?” Tubuhku mulai bisa kugerakkan berlahan.

"Alhamdulillah ya Allah!" Teriak gadis disampingku. Didekapnya mushaf kecil itu, matanya kulihat berkaca-kaca.
"ya Allah, ya Robbi… Mas yus sudah sadar, terima kasih Tuhan”
"Mas, mas, ini aku mas, fatimah… fatimah adik mu?" Gadis itu hanya bingung bercampur gembira, mukanya masih tersendu menangis haru.

"Ya Allah… bentar ya mas, aku panggil dokter joko dulu, mas tenang saja”
” Oh ya, aku harus telpon mbak resya, dia sudah lama nugguin mas sadar loh. Pasti gembira banget lihat mas sudah sadar.”
”Ya sudah mas tenang dulu ya, fatim panggil dokter joko dulu. Inget loh mas… jangan mikir yang berat dulu, mas belum kuat. Nanti kalau terasa pusing, minum saja obat di meja samping yang warnanya hijau." Pintanya tergopoh-gopoh.

Gadis itu bergegas berlari keluar. Aku masih terpaku dengan ucapannya tadi. Tak mampu kuingat semua dan membuatku cukup bingung dengan keadaan yang tiba-tiba ini. Kucoba menguraikan ingatan-ingatan tadi sedikit demi sedikit.

”Yus?...”
”Apakah ini namaku?...”
Entahlah, mungkin iya. Kulewati lagi ingtanku. Gadis disampingku tadi adalah fatimah adikku. Aku punya adik yang tadi mebaca al-qur’an disampingku, suaranya merdu mendayu-dayu.

Terus ada satu lagi resya, siapakah dia?
Apakah gadis yang bercahaya berjilbab biru polos dalam mimpi itu?
Entahlah aku masih belum bisa menguraikannya.

”Auuuhhhggg...ya Allah kepalaku” Kurasakan kepalaku pusing. Sangat sakit. Kuhentikan ingatan-ingatan itu. Kuraih pil hijau diatas meja disamping tempat tidurku.

Pusing dikepalaku berlahan menghilang setelah kutelan pil hijau itu. Dokter pun datang dengan si fatimah. Dia mulai memeriksa keadaanku.

"Ok, gini mbak fatim, mas kamu sudah sadar. Ingatanya sudah cukup kuat untuk dipulihkan kembali. Kita harus menjalani terapi dan tentunya akan ada pengobatan yang terus berlanjut dibawah pengawasan saya. Saya sungguh takjub dengan mas kamu. Ini semua berkat pertolongan Allah tentunya.”

“Ok well, sebulan kedepan kita akan mencoba terapi untuk mas kamu. Saya minta tolong untuk menyiapkan beberpa hal yang bisa membangkitkan ingatannya.”

“Oh ya, jangan lupa kalau bisa datangkan orang yang terakhir kali berinteraksi dengannya."

Kuperhatikan dokter itu berbicara sambil tersebyum pada fatimah adikku. Aku hanya mengamati dalam kebingunganku sendiri.

"Ya dok, terima kasih, saya akan persiapkan semuanya" fatimah tersenyum.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu, Assalamualaikum." kata dokter yang memeriksaku sambil berlalu keluar.

Wa’alaikum salam” fatimah menjawab dengan sopan sambil berjalan mengantarkan dokter sampai kepintu ruangan ini.

Perlahan kugerakkan tangan, kaki dan badanku. Berat dan sangat berat, namun aku terus berusaha dibantu gadis itu.

***


Hari-hari selanjutnya aku muali dilatih kembali bergerak untuk mengembalikan fisikku yang lemah. Terapi pun kujalani. Kini aku mulai bisa mengingat siapa diriku. Aku adalah yus, lengkapnya Yusuf Al-amin. Aku adalah seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi Islam di negeri ini. Gadis itu adalah fatimah adik semata wayangku. Dia selalu menemani aku selama perawatan ini. Aku ternyata mengalami kecelakaan di sore hari tepat setelah aku silaturahmi ketempat salah satu orang yang aku kenal, itupun aku masih belum bisa mengingatnya. Dan masih banyak hal lagi yang kembali dalam memoriku. Aku kini sudah mulai bisa kembali berinteraksi dengan orang-orang disampingku.

Namun satu hal yang belum aku ingat, bayang-bayang dalam mimpi di padang pasir senja itu. Dan siapakah gadis itu? Aku masih termenung mencoba menguraikan semua. Aku hanya bisa simpulkan gadis dalam mimpi itulah yang mungkin menjadi teman hidupku. Kemarin adikku juga cerita kalau aku sebelumnya sudah melamar seorang gadis dan memberikan cincin yang sama seperti yang kupakai sebagai tanda ikatan. Toh dengan cerita itu aku juga masih tampak bingung. Tak dapat kurangkai sedikitpun simpul untuk mecapai titik terangnya. Dalam mimpi itu aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.

***

Sore ini matahari cerah merekah, mengiring senja yang berkilau merah diufuk barat sana. Kutatap pohon, bunga dan rumput-rumput ditaman ini bergoyang berselendangkan cahayanya yang jingga merona layaknya bidadari yang menari-nari bersama mentari. Sore yang indah pikirku.

”Oh ya, aku pernah menemukan sore yang indah ini. Tapi dimana dan kapan?” Aduh, masih saja ingatanku terlalu lemah untuk mengingat masa laluku. Gerutuku sendiri.
ya begitulah. Lagi-lagi aku tak pernah sempurna mengingatnya. kurenungi sore ini sambil meratap pada Ilahi Robbi.

Ya Allah, aku ingin mengulang bayang-bayangan itu. Aku ingin berada di lautan padang pasir saat senja untuk menemui gadis berkerudung biru itu. Ya Allah, benarkah ia cahaya yang kan terangi hidupku Izinkanlah aku memandangnya walapun hanya sekali jika lantas Kau kan cabut nyawaku.

"Mas...mas...mas..."
kudengar suara teriakan disana. Aku terhentak kaget, kemudian menoleh kearah lorong rumah sakit yang sunyi.

"Mas, ini mbak resya datang mas, mbak resyamu datang" Adikku berlari kearahku, seorang gadis berjalan cepat dibelakangnya. Aku masih mencoba membuka ingatanku. Kucoba membuka lembaran-lembaran memori melewati labiri-labirin yang gelap dan kosong.

Ya Allah, seketika aku terhenyak. hatiku tiba-tiba berdetak. dadaku kembang-kempis menahan rasa yang begitu saja muncul. Aliran darahku mengalir cepat. Saraf-saraf mulai hidup. Seperti terbangun dari tidur yang panjang dan melelahkan.

Simpul-simpul yang tercerai mulai bersatu kembali. Aku mulai bangkit dan berusaha berlari menjemput gadis berjilbab biru itu. Ingatanku mulai pulih sempurna. Aku terus mencoba berlari kearahnya.

Ya Allah maha besar diriMu, ingatanku benar-benar telah Engaku kembalikan. Dalam mimpi itu, ternyata gadis yang beberapa hari yang lalu diceritakan adikku, gadis itu adalah resya tunanganku. senja benar-benar mengungkapkan semua padaku. Resya gadis yang sudah memberiku cahaya dalam hidup yang kelam, gadis yang membimbingku menuju jalan yang dipenuhi cahaya iman.

Aku terus berlari, rasanya badanku kini sangat ringan, aku terasa mempunyai dua sayap untuk terbang menghampirinya. Aku ingin menghampiri cahaya itu, aku sangat merindukan cahaya itu, tak kuhiraukan adikku berteriak dari kejauhan, aku hanya terus berlari.

"Mas, hati-hati mas, awas ada tangga didepanmu maaasss..." Teriakan adekku semakin keras meyongsong aku yang terus saja berlari mengejar cahaya itu. Tak sempat kulihat keadaan didepanku.

Bruk...?!?
Tak kusadari aku tergelincir, kepalaku roboh jatuh tepat diatas tangga keramik yang runcing, hanya sempat kupanggil cahaya itu, "resya". Namun tubuhku sudah roboh, kulihat darah membanjiri lantai putih itu, kudongakkan kepala untuk menggapai cahaya itu, ingin kulambaikan tangan namun separuh nyawaku sepertinya sudah melayang bersama Izroil sang pencabut nyawa.

Rupanya cahayaku resya sudah didepanku memegang tangan kananku, samar-samar kulihat matanya meneteskan air mata. Sebelum akhirnya semua gelap, nyawaku tercerabut sempurna dari ragaku yang malang. Senja pun hilang bersama datangnya gelap.

***

Tanah di atas kuburan itu aku rasa masih belum kering oleh tetesan air matanya. kujadiakan semua sebagai saksi atas dukanya yang begitu dalam.

Senja sore ini kurasakan masih berduka, kilauan cahaya yang seharusnya indah kini tak lebih hanya semburat garis-garis merah kecoklatan yang menakutkan dan membuat hatinya semakin perih. Cahaya itu tajam menghujamkan kepedihan ke dalam lubuk hati menjadikannya semakin perih. Dia terlalu shock akan kematian tunangannya. Calon imam dalam menyempurnakan agamanya dan sunnah Rasul. Dia masih tak percaya akan semua ini.

Namun kejadian itu menyadarkannya tentang arti cinta, hidup dan kematian yang telah digariskan di lauhul mahfudz sana. Sebagai hamba kita hanya wajib berusaha, ada pun takdir hanya Allah yang menentukan.

”Begitu kejamkah takdir?” protesnya seketika itu, tapi dia lantas sadar bahwa gerutuannya tak lebih hanyalah sia-sia belaka. Hanya hasutan setan yang terus saja mengintimidasinya dalam kebimbangan ini. Mereka sangat tak peduli dengan dukanya.

Sambil meratap pada sang Maha kuasa, dia pun berdoa.

"Ya Allah, ya Tuhanku... saat tumpuan jiwa ini hanya terpaku padanya namun mengapa Engkau ambil dia dari sisiku selamanya? Saat kutemukan cinta suci dihatinya, mengapa tak Engkau izinkan aku memeluknya? Saat azzam ini terpatri untuk menyempurnakan agamamu, mengapa Engkau tak izinkan aku berjuang bersamanya? ya Allah jika memang yus adalah cinta dalam hatiku, izinkan aku menyimpanya selama hidupku. Jika memang yus bukanlah jodoh yang kau kirimkan sebagai imamku, kuharapkan ada mujahid yang seperti dia untuk kujadikan pejuang pendampingku".

Dia merenungi kembali kisah-kisah itu, saat menemukan kata cinta untuk yang pertama kali. Dia hanya bisa berdoa memohon kepada Allah, semoga cintanya pada hati yang benar. Cinta itupun tertuju padaku. Aku adalah yus tepatnya yosef. Aku seorang pemuda katolik yang mempunyai keluarga berbeda agama. Keluargaku pun terpecah. Aku ikut bapak, seorang misionaris. Sedangkan adikku hidup bersama ibu yang memilih kembali sebagai muslim setelah berpindah katolik. Dia hanya bisa menolak dengan berat hati karena kita beda agama.

Sebesar apapun cinta itu, percuma jika Allah tidak merestuinya. Dia hanya bisa terus memohon dan pasrah, hingga waktu itu pun tiba. Hingga aku menemukan hidayah dan mengucapkan kalimat syahadat saat aku bertemu ibu kembali.

Beberapa tahun kemudian aku kembali dari studi di kairo. Sekarang aku sudah berbeda, aku adalah seorang muslim sejati yang kokoh memegang agama Islam. Kini dia tak kuasa menolak lamaranku. Aku memberikan cincin itu sebai tanda ikatan kami.

Namun musibah itulah menimpaku, aku kecelakaan dan menderita gagar otak yang luamayan serius hingga mengalami hilang ingatan yang menghapus memori otakku dan membuat diriku koma berminggu-minggu. Dia sangat khawatir tentunya. Kejadian itu tepat 3 hari sebelum kami mengikrarkan akad nikah. Tak henti-hentinya ia memohon pada Allah, siang dan malam. Sebulan kemudian aku pun sadar dan mulai pulih dari hilang ingatan.

Saat itu mestinya dia sangat gembira karena doa-doanya selama ini didengar oleh Allah. Tapi senja itu lain, dia merasakan cahayanya sedikit buram menggambarkan kepedihan.

Musibah itu pun lagi-lagi mencoba menguji ketabahan resya. Aku meninggal dunia setelah terjatuh dari tangga ketika berlari mengejarnya.

"Ya Allah mengapa begitu perih duka ini, ya Allah... belum sembuh rindu penantianku yang panjang, engkau sudah menjemput dia ke pangkuanMu"
resya pun terisak bercampur sedih.

Hanya mulutnya mampu mengucap lirih "Innallilahi wa inna ilaihi rajiun. Ya Allah., ya Robbi, inikah takdirMu untukku? Sekuat tenaga kupertahankan keyakinanku akan hikmah takdir yang telah digariskan" Suaranya terbata-bata.

Senja pun mulai hilang seiring datangnya malam...

Cairo tengah malam jumat, 14 Agustus 09

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget