.quickedit{ display:none; }
Pura-Pura Gila

Oleh; Meta Hirata



Tangis pilu seorang lelaki setengah tua suatu senja disebuah gubuk dipinggiran danau ngebel daerah timur kabupaten Ponorogo. Sunyi senyap sore itu tak seorangpun tahu dalam sujud simpuhnya mengalirkan air mata yang memilukan.

Lelaki itu adalah Suroso. Yang akrab dipanggil kang Roso. Su artinya manusia dan Roso artinya kuat, Manusia yang kuat begitulah orang tuanya dulu memberi nama berharap suatu saat anaknya menjadi orang yang kuat menghadapi kerasnya terjangan badai hidup.


Dan sorepun beranjak berganti petang, Selimut keemasan senja berlahan digantikan jubah malam yang pekat. Kang Roso masih saja terdiam termenung ditempat Ia bersimpuh pasrah. Sepertinya sedang meratapi sesuatu. Pangdangannya terarah pada air danau yang tenang berhiaskan suara hewan malam dan kecipuk ikan dikaramba-karamba yang bisu.

..."Andaikan aku adalah engkau..." Katanya dalam hati seolah sedang berbicara pada danau ngbebel yang menemaninya malam ini.

Ia kini sangat kecewa bahwa Ia sadar Ia bukanlah air yang suci itu. Ia merasa dirinya tak lebih dari genangan limbah kotor, Keruh dan seperti selokan yang dipenuhi bermacam sampah plastik, Kotoran manusia dan hewan, Berbagai macam kuman dan penyakit serta onggokan sampah-sampah tak berguna. Pikirannya semrawut kacau tidak keruan.

Sesekali wajahnya menatap langit seolah ingin menumpahkan gejolak jiwanya, Ingin memprotes ketidak adilan hidup yang menimpa dirinya. Ingin rasanya Ia menggugat Tuhan.

..."Dimanakah keadilan? Protesnya pada Tuhan...".

Malam ini bulan sabit temaram memantulkan cahayanya diatas permukaan danau. Seberkas cahayanya menyapu muka kang roso yang sedari tadi masih merenung. Alam sekitar menyaksikan dan menjadi saksi atas segala keluh kesah yang mulai ditumbuhi bibit-bibit pembangkangan yang diklaimnya sebagai pembenaran atas dirinya demi untuk menuntut satu keadilan versinya. Segala isi hatinya berhamburan keluar memprotes segala skenario Tuhan sepuas-puasnya.

Tak lama kemudian, Setelah memanjakan mulut baunya, Ia berlari ditengah hutan rimbun yang ditumbuhi bermacam-macam pohon tua. jubah malam pun sempurna tak mengizinkan secercah cahaya menelusup diantara batang-batangnya yang rimbun.

Namun Ia masih terus saja berlari. Laju langkah terus maju tanpa menubruk sesuatu apapun. Terdengar semakin cepat seolah ada dedemit hutan yang mengejarnya. Instingnya tajam.

Langkah cepat kang Roso berangsur tenggelam larut dalam kesunyian hutan. Alampun membisu dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan keras yang memekakkan telinga.

..."huuu...waaa..." Dengan begitulah mungkin beban beratnya benar-benar musnah atau setidaknya berkurang.

###

"Kang datang-datang kok gak salam. Dari mana saja kang?"

Dengan terburu-buru seorang wanita muda meninggalkan sapu ijuknya dan bergegas menghampiri laki-laki itu. Si lelaki hanya terdiam membisu tanpa sepatah katapun dan bergegas masuk kamar merebahkan tubuhnya yang kusut diatas diapn bambu tua yang reot.

"Kang... kang...?"

"Jangan ganggu aku dulu Sri, Aku ngantuk sekali biarkan aku istirahat sejenak."

Percakapan pun berhenti wanita yang punya nama Sri seolah mengerti maksud suaminya. Dengan sedikit berat hati, Sri lantas berlalu menuju ruang depan ruamhnya untuk melanjutkan bersih-bersih. Melajutkan pekerjaannya kembali dengan masih diliputi dengan tanda tanya, Ada apakah dengan suaminya.

Lelaki yang diakmar itu adalah kang Roso. Seorang lelaki yang telah mengarungi bahtera ruamh tangga dengan Sri. Kini mata kang roso terpejam, Nmaun pikirannya tak dapat Ia istirahatkan barang sejenak. Padahal sejak semalam mata dan pikirannya terjaga. Ia tersiksa lantaran tak bisa tidur juga karena pikirannya buntu, Disamping himpitan ekonomi. Ia gelisah, Pesimis menghadapi hari-hari kedepan.

Bayang-bayang kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit semakin menghantuinya. Paranoid, Takut kalau kemiskinan tak kan bertepi.

Sudah sewajarnya kang Roso pantas dikasihani. Pasalnya dari segi ekonomi Ia sangat kekurangan bahkan mungkin sengsara. Ia hanya seorang buruh keramba yang berpenghasilan tak seberapa. Cobaan demi cobaan datang silih berganti tanpa ampun. Belum selesai satu cobaan datang cobaan lain dengan status dan tingkat yang lebih mengenaskan. Ini sudah barang tentu atas penilaian mahkluk saja. Sementara Tuhan lebih tahu kadar segala sesuatau yang diciptakanNya. Sayang kang Roso adalah tipe lelaki rapuh, Sehingga hakikat hidup telah Ia lupakan dan tidak mengambil hikamah yang terkandung.

Kemiskinan, Kehinaan, Lilitan utang juga semua ujian keduniaan lainnya berubah seketika. Fantastis, Spontan dan instan. Itulah harapan terbesarnya barang kali bisa membayar semau derita yang selama ini menimpanya.

Dalam kesunyian pagi man terus mencari akal untuk merubah garis takdirnya.

Sementara itu semilir angin masuk menelusup lewat jendela kamr dimana kang Roso merebahkan tubuhnya yang galau. Sang angin terus berhembus sepoi mengajak daun daun jendela bermain. Membuka dan menutupnya pelan, Konsisten dan romantis.

Sewaktu jendela tertutup serta merta anginpun hengkang, Kini suasana sunyi senyap seperti di danau ngebel sore itu.

"Jalan pintas? Ya... tapi apa?" Ternyata keremangan tersebut telah dimanfaatkan setan untuk membuat suatu makar."yah dari pada miskin terus".

Jalur pikirannya meluncur negatif. Seperti roda mobil yang lepas dan menggelinding terjun diantara kotoran dan bermuara pada jurang terjal kesesatan. Terlepas tiasa kendali. Pikiran kang Roso benar-benar lepas kendali iman.

Maka terjadialh dialog seru seperti keramaian pasar, Namun hanya hati kang Roso sendiri yang mendengarnya, Ya hanya kang Roso seorang.

"Pesugihan saja?"
"boleh tuh!" tapi aku tidak mau keluargaku jadi tumbal.

"Ngerampok saja gimana?"
"Siapa yang harus kurampok, Aku kurang minat dengan hal begituan terlalu beresiko kalu ketangkap polisi. Lagian bandanku terlalu kurus dan lemah untuk melakukan aksi itu."

"Oh jadi apa yang mesti aku lakukan?"

Beberapa alternatif untuk menjdi kaya mendadak berloncatan dari pikirannya, Tapi begitualh nyalinya menciut kemudian.

Begitulah. Ia memeras otaknya untuk menemukanjalan menjadi kaya mendadak dan segera lepas dari himpitan kesengsaraan yang mengurungnya. Hingga Ia bebas membeli semua yang di inginkan dan memarkan pada orang-orang kaya terutama pak lurah dan juragan-juragan keramba yang selama ini menindasnya tiada ampun. Terus sehingga dan sehingga. Nafsu telah mnguasainya hingga impiannya terlalu muluk. Impiannya hanya digantungkan saja tanpa ada usaha untuk mengupayakannya. Ia memang relatif lama menganggur setelah setelah berhenti jadi buruh tambak tiga bulan yang lalu Ia mencoba mencari pekerjaan dikota, Alih-alih semakin berhasil ternyata ia malah semakin terpuruk setelah ditangkap polisi karena dianggap gelandangan dan dipulangakn kembali kedesanya.

Saat ini ia tengah putus asa, Gawatnya lagi hatinya diambang kekafiran.

Ya, Seajk menganggur tabiatnya berubah drastis. Ia lebih banyak murung, Bawannya uring-uringan, Kusut dan minder bila bertemu orang lain. Barangkali itulah Kang Roso yang sebenernya. Sebab jika orang dalam posisi terpepet maka tabiat aslinya akan muncul.

Sebenarnya Kang Roso pernah mendapt bantuan pinjaman dari pemerintah modal untuk mengelola karamba ikan di danau ngebel seperti warga sekitar temapt tinggalnya. Namun uang itu tak jelas rimbanya, Ia yang tak bisa mengelola uang dan menghasilkannya membuatnya terpuruk dan menyesali jalan hidupnya. Yaitu kenapa masa mudanya dulu acuh terhadap ilmu ketrampilan. Kang Roso lupa bahwa belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.

Mulai saat itulah hidup Kang Roso dan keluarganya tergantung pada mertuanya yang tak jauh dari rumahnya. 2 kilo meter disebelah bukit yang membatasi kecamatn ngebel dan kecamatan sooko. Jarak itu terbialng dekat bagi orang desa yang biasa jalan jauh.

Mertuanya setiap hari berdagang sayur dipasar kecamatan. Dan rumahnya tepat dibelakangnya. Selain strategis untuk peluang usaha disore hari biasanya para pedagang emnurunkan harganya hingga tuju puluh persen, Begitulah hingga kini bisa tetap eksis menghidupi Kang Roso dan keluarganya.

Sebagai lelaki tumpuan keluarga harga diri kang roso hilang dan sifatnya berubah sensitif.

"Kang bangun, Sudah adzan lo!" Lembut suara Sri membangunkan suaminya.

"Ya, Aku juga dengar"

"Bangunlah, Kang, Waktunya shoalt dhuhur lo"

"Ngapain sholat segala, Biarpun sholat tiap hari gak akan bikin aku kaya"

mendengar jawaban suaminya Sri terkejut bukan main.

"Istighfar, Kang, Nyebut?"

"Alah... pokoknya kau sudah gak mau shalat lagi, titik."

Ketegangan mewarnai percakapan itu. Namun mendadak berhenti ketika terdengar ketukan pintu dari luar. Sri berlari menuju pintu melihat siapa yang bertamu, Roman mukanya masih menyisakan kegalauan, Matanya sembab menahan tangis.

"Eh, Yu karti ada apa ya?"

"Begini, Tadi aku dipasar ketemu si mbokmu, Kamu san suamimu disuruh kesan katanay ada masalah penting, Intinya kamu disuruh kesana siang ini juga.

"Wah, Ada apa ya Yu? Kok kayaknya penting sekali"

"La mboh aku ndak tau kalau itu, Yo sudah aku pamit dulu lagi buru-buru aku mau pulang dulu"

Sri begegas menemui suaminya dan melaporkan hal itu. Kendati hatinya masih sakit dengan pernyatan nyeleneh suaminya tapi Ia masih bisa mengontrol emosinya. Ia akan tetap mendesak suaminya untuk menjelaskan kata-katanya barusan. Ia berharap suaminya lagi tidak sadar ketika berkata-kata demikian, Dan akan berubah ketiak perasaannya sudah normal. Namun jika meang suaminya sudah terlanjur begiut adanya Sri berharap bisa meluruskkan iamn suaminya yang sudah bengkok, Suatu hjati nanti tidak sekarang karena Ia tahu suaminya masih marah. didekatinya suaminya yang masih tiduran diatas dipan, Lembut suaranya menjoba membujuk Kang Roso untuk pergi bersam kerumah si mboknya.

"Kamu saja yang datang kesana, Aku malu, Bilang saja sama si mbok kalau aku lagi sakit."

"Tapi kang?"

"Jangan banyak tanya?". Bentak Kang Roso sambil melotot. kalau sudah marah Sri harus menuruti kata-katanya kalau tidak akan menjdai seperti banteng ngamuk, Akibatnya fatal.

###

Begitulah Kang Roso akhir-akhir main bentak, Main perintah seenaknya saja. Tambah hari tambah semakin gak karuan.

"Ya sudah aku keruamh si mbok dulu nanti kalu thole sudah pulang sekolah tolong antar dia kesana, Ya Kang?" Kata Sri sambil melangkah menjauh tidak betah dengan perilaku suaminya.

"Wo jan tenan, Kurang Asem."Naik pitamlah Kang roso.Terlihat istrinya keluar rumah dengan sedikit berlari. lantas Kang Roso terdiam mendengar suaranya kata-katanya sendiri. Tak lam kemudai Ia terkekeh berbinar bola matanya menemukan jawaban sebagai solusi ampuh problem hidupnya.

"Wah akhirnya ketemu juga, Aku pura-pura stres saja biar lepas dari semau problem ekonomi dan hutang-hutangku". Katanya sambil terus cekikikan layaknya orang gila beneran.

Dengan senangnya Kang Roso melepas baju kusutnya, Diaduk-aduknya lemari pakaian tuanya. Rupanya dai masih sibuk mencari piranti yang bisa Ia gunakan untuk aksi pura-pura stresnya. Tak lama kemudian ketemulah asesoris yang dicarinya, Celana kolor totol-totol warna warni milik anak lelakinya yang baru beruamur dua belas tahun.

Dengan senyum gembira Kang Roso mematut dirinya didepan cermin, Celana butut, Baju usang yang biasa dipakainya ketambak dan topi aneh yaitu color warna-warni punya nak lelakinya.

"Alangkah jeniusnya aku", guamnnya sabil mengacak-acak rambutnya.

Kang Roso telah membulatkan tekadnya untuk pura-pura stres. Dan hari ini adalah hari perdananya memulai aksi yang dianggapnya jenius. Ia akan keliling kampung, Menari, Mennyanyi bertingkah polah sesuka hatinya. Semakin banyak yang tau semakin bagus. Pikirnya.

"Jika nanti orang-orang tau, maka aku akan diaksihani, Disantuni dan semua hutang-htuangku akan dianggap lunas. Aku tidak perlu bekerja lagi. Lantas kang roso keluar rumah menjalankan aksinya.

###

Dirumah mbok Asih yaitu mboknya Sri, Terliaht dua orang sedang berbicara serius dengan muak yang sumringah.

"Seratus juta untuk saya mbok? Banyak sekali mbok?" Seru Sri setengah tak percaya.

"Lha wong sawahnya juga laku tinggi sawah kitakan dipinggir jalan raya, Jadi yo segitu bagianmu, Digunakan baik-baik ya? Bagian adikmu masih mbok simpan, Nanti setelah dia pulang dari jakarta lebaran nanti mbok kasih."

Panjang lebar mbok Asih berpesan pada anaknya untuk menggunakan harta warisannya sebaik-baiknya. Dan berdoa semoga harta warisan yang dia beriakn diberi barokah oleh Allah.

Dengan diliputi kegembiraan dan rasa syukur Sri menerim harta warisan itu, Dengan dibungkus kertas koran bekas Ia tampak tergesa-gesa. Simboknya pun tak henti-hnetinya menasehatinya agar hati-hati membawa uang banyak. Akhirnya uang dalam koran diamsukkan keresek hitam oleh Sri.

Bagi Sri tiada hari yang lebih bahagia melebihi hari ini, Hatinya terus memuji dan bersyukur atas kemurahan gusti Allah. Ia kini benar-benar tahu bahwa setealh kesulitan akan datang kemudahan. dan kemudahan setelah kesulitan akan serasa sangant membahagiakan. Ya setaip orang pada hakekatnya kan menemui suratan takdirnya sendiri, seperti roda kehiduapn kan terus berputar, Adakalnya dibawah dalam kesusahan dan ada kalanya juga diatas dalam masa kejayaan. begitualh Sri sekarang sedang diatas menemui kejayaannya.

Usai berbasa-basi akhirnya Sri undur diri. Membawa kegembiraan dihati. Ia berjalan setengah berlari melewati jalan berkerikil yang kurang bersahabat. Kerikil-kerikil tajam acap kali menusuk kaki telanjang Sri, Angin berhembus kencang, Debu-debu berterbangan, Langit semakin gelap pertanda hari mau turun hujan. Ia semakin bergegas. Tak peduli dengan semua itu Ia tetap berlari dengan senyum yang terkulum, Ia berharap lekas sampai rumah secepatnya.

Ditengah perjalanan alangkah terkejutnya Sri melihat sosok lelaki yang sangat dikenalnya, Meskipun tersamar oleh debu namun suara celotehan, Nyanyian serta postur tubuh itu hanya dimiliki oleh suaminya. Lelaki tersebut sedang menari-nari, Berjoged-joged konyol di ikuti arak-arakan anak-anak kecil yang menyorakinya.

"Orang gila... orang gila... Kang Roso gila....Kang Roso gila" riuh suara anak-anak kecil menyoraki Kang Roso.

Sri berdiri mematung dan rak-arakan itu semakin mendekat. Kang Roso yang dari tadi sibuk berjoged tidak sadar kalu istrinya berdiri persis didepannya.

Hilanglah semua kegembiraan Sri, Air matanya mengalir deras, Mendahului huajn yang telah dikabarkan oleh mendung. Lalu pandangan mata mereka beradu, Jogetan Kang Roso dan nyanyian anak-anak itu berhenti. Sejenak Kang Roso terdiam sedangakn anak-anak yang mengikutinya berlari berhamburan. Hanya ada Kang Roso dan Sri yang kini berhadap-hadapan. Kang Roso mencoba menutupi kegugupannya dengan pura-pura tidak mengenal Sri. Ia tetap pura-pura gila.

Mulut Sri menganga. Seakan kakinya tak lagi berpijak pada bumi. Pandangannya mulai gelap, Hatinya kosong namun bergejolak, Tangannya lemas bungkusan uang dalam tas kresek hitampun jatuh ketanah. Terbentur batuan jalan yang runcing, Mulai sobek dan terbuak oleh hembusan angin. untung angin segera berhenti, uang itu hanya tercecer dikaki Kang Roso dan Sri.

Menyaksikan itu mata Kang Roso melotot dan melongo...


Cairo, 03 Okotber 2009

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget