.quickedit{ display:none; }
Sebuah Antologi Cerpen


Judul Buku: Ibuku Perawan; Sebuah Antologi Cerpen
Penerbit: Lembaga Penerbitan PCIM Kairo-Mesir
Tahun Terbit: 2006 M
Cetakan: Ketiga
Jumlah Halaman: 257 halaman
Resensi: Sastra Yang Religi-Humanis, Membuang Sastra Yang Absurd-Dehumanistik.







"Bila sebutir atom dipindah dari letaknya yang wajar,
alam semesta akan runtuh dari atap sampai ke dasar"
-Rumi-

Hidup di abad ke-21 ini, denyut nadi manusia tidak bisa dilepaskan dari adanya gerakan kesusteraan dan gerakan berkesenian. Seakan gerakan berestetika itu telah menjadi semacam ideologi yang menuntut untuk memecah dalam sebuah tatanan dunia tersendiri. Dan betul, tanpa sadar dan melintas geografis, dunia sastra telah hadir mengisi hari-hari manusia. "Masnawi"-nya Rumi dan "Gulistan"-nya Hafidz, yang menjadi ciri khas timur, kini bisa dinikmati oleh seorang penumpang sebuah kereta Metro bawah tanah di London, Berlin, atau New York. Bahkan penafsir terhebat Rumi sendiri adalah Annemarie Schimmel, seorang Jerman yang notebene bukan orang timur. Naskah teatrikal Romeo-Juliet-nya Shakshepeare pun telah dipentaskan oleh hampir seluruh panggung teater di muka buni ini. Kita di Indonesia pun dengan mudah membaca Umberto Eco, Albert Camus(The Plague), Goethe, Paulo Coelhoe dengan "Sang Alkemis", Nietsche, Gabriel Garcia Marques, Milan Kundera, Anton Chekov, Doystosky, Charles Dickens(Tale of Two Cities), Thaha Husein, Najib Mahmud(Nobel Sastra 1989), Taufik Hakim(Muhammad), Abdurrahman Syarqawi, Najib Kaelani dengan "Perawan Jakarta", Nawal Sadawi dengan "Woman at Point Zero", Iqbal , Agatha Christie, Ernest Hermingway hingga karya "menggegerkan teologi kristiani" terbaru, "The Da Vinci Code" milik Dan Brown.

Sementara mewakili dalam negeri semacam Pramoedya Ananta Toer(Tetralogi Bumi Manusia, yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa. Karya ini juga menjadi kandidat Nobel Sastra), Akhadiyat Kartadiharja(Atheis), AA Navis(Robohnya Surau Kami), HAMKA(Tenggelamnya Kapal Vanderwijk), Danarto(Abracadabra), A. Tohari(Ronggeng Dukuh Paruk), Kuntowijoyo(Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Mantra Penjinak Ular), Mbak Helvy(Ketika Mas Gagah Pergi), Ayu Lestari(Saman dan Larung), Dewi Lestari/Dee(Supernova), dan karya terbaru yang memang novel"pembangun jiwa" milik Habiburrahman Saerozi(Ayat-Ayat Cinta). Hingga anak-anak muda pun setelah populernya film Ada Apa Dengan Cinta(AADC) mulai memburu, mana sih "Aku-nya Chairil Anwar" milik Sumandjaya yang hingga penggal bait sajaknya dihafal oleh sang tokoh "Rangga" dan "Cinta" itu? Sastra adalah sebuah gelombang.

Karya sastra(novel,cerpen, puisi, naskah tetrikal) dewasa ini seolah menjadi semacam menu "kitab Suci" lain yang dibaca dan bahkan menjadi pedoman seseorang dalam sebuah diksi(Sosial-sejarah, psikologi) menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini. Orang lebih concern untuk duduk berjam-jam dalam keadaan apapun untuk membaca sebuah novel, dibanding membaca kitab suci mereka. Sebab tak bisa dipungkiri juga, karya-karya sastralah yang berperan dalam merekam perputaran dialektika kehidupan manusia. Seperti karya-karya Pramoedya yang muncul dan dikarangnya ketika ia menjadi tahanan kolonial di pulau Buru. Karya –karya di atas tentu saja muncul dari latar belakang yang beragam; berbagai sudut pandang; juga tak bisa dihindari, kepentingan ideologi.

Tapi, dari tawaran karya tersebut manakah yang bisa memblaur dan mengejawantah dengan kerangka teologi seorang muslim? Pertanyaan ini penting dilontarkan di tengah berlarinya dunia yang terus-menerus berbenturan di dalamnya berbagai macam ideologi. Dan mau tak mau, wilayah seni-sastra-filsafat juga tak bisa lepas dari cengkeraman ideologi ini. Kapitalisme-materialistik yang menggejala hingga sekarang juga menjadikan wilayah ini sebagai mata rantai ciri khususnya yang serba materi dan berujung kepada pemahaman absurditas-tanpa makna terhadap segala hal. Dalam dunia tanpa arti ini, kata Rugria, tidak ada sesuatupun yang punya makna. Tidak ada sesuatu yang baik atau buruk, suci atau profan, indah atau jelek. Tapi seniman itulah yang memberikan arti baik atau buruk-pada suatu obyek dalam alam atau suatu gagasan dalam dunia. Begitu juga dengan Samuel Beckett dalam bukunya Waiting for God, suatu karya besar yang telah mempopulerkan unsur absurd dalam teater modern dan menjadi rujukan penting. Teater dialihkan fungsi aslinya dari alat penyebaran gagasan religius-moral, sosial, ideologis, filosofis-ilmiah menjadi tontonan absurditas atau mengetengahkan ketiadaan. Sebab menurut pendiriannya, bahwa dalam dunia yang tanpa rasa tidak ada sesuatupun yang memiliki makna(Ali Shariati:1972:26-27). Sebuah konsep materialis-atheistik dalam memandang dunia ini. Dunia adalah kefanaan dan manusialah sang pemegang kebijakan.

Selanjutnya, coba komparasikan dengan dua bait syair Rumi di atas; yang kalau kita cerna lebih jauh mengandung nilai yang berkaitan erat dengan filosofi misi dan fungi manusia di muka bumi(vision de monde) menurut Islam. Sebuah syair yang mengandung visi kosmik ketuhanan; memandang alam semesta sebagai sebuah keteraturan dan manusia menjadi bagian di dalamnya. Manusia adalah makhluk bi-dimensial; roh Tuhan dan tanah bumi. Seseorang yang memahami alam semesta dengan kesadaran ilahi tidak akan mengotorinya dengan absurditas, keputusasaan, berbuat seenaknya pada kehidupan, dan bergerak tanpa tujuan. Disinilah letak kelebihan konsep karya sastra yang ditawar dan dikembangkan Islam. Menjadi pengiring laju hidup seorang muslim. Sebuah sastra yang mendidik dan menyelamatkan. Misalkan "Mantra Penjinak Ular-nya" Kuntowijoyo. Mengisahkan tentang seorang muslim jawa yang hidup di tengah-tengah masyarakat kejawen yang penuh mistik. Tapi, -Abu Kasan Sapari, tokoh utama dalam novel- mampu mengemban jati dirinya menjadi manusia religius dalam keadaan tersebut. Ia berdakwah di masyarakatnya dengan berprofesi sebagai seorang dalang muslim dan membuat sebuah akulturasi kebudayaan. Wayang jenis baru dengan mengangkat tema-tema islam. Jadi di sini, sastrawan juga termasuk kategori seorang intelektual yang bertanggungjawab terhadap masyarakatnya.

Maka, karya kecil antologi cerpen dari "Gank of Papyrus" ini mencoba untuk memulai dan menjadi bagian dari karya-karya sastra yang telah beredar. Dengan corak sastra yang sedikit penulis baca pada sebagian besar cerpennya, bertemakan religi-humanis. Juga perlu diketahui, sebagian besar dari para penulisnya adalah pemula; dan tak ada salahnya untuk mencoba. Karena mencoba adalah setengah keberhasilan. Maka, saya ucapkan salut kepada teman-teman yang telah menggoreskan penanya dalam antologi ini. Semoga karya kita ini menjadi bagian dari penghambaan kita kepada-Nya. Amien.

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar

  • Translate Language

    English French German Spain Italian Dutch

    Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

    Sekilas Tentang PAPYRUS

    Lingkaran Sastra Papyrus satu-satunya lembaga kajian yang berada di bawah naungan Majelis Seni Budaya dan Olah Raga Pimpinan Cabang Istimewa Muhamadiyah Kairo dari periode 2006-2009 sampai sekarang. Di usianya yang sangat relatif muda, Lingkaran Sastra Papyrus senantisa mencoba dan mencoba untuk berusaha memperbaharui serta memperbaiki kreativitas berkarya yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga guna mencapai titik tertinggi kesuksesan berkreasi dan berkarya.

    Kolom Papyrus

    Jejak Pengunjung


    ShoutMix chat widget