Judul Buku: Ibuku Perawan; Sebuah Antologi Cerpen
Penerbit: Lembaga Penerbitan PCIM Kairo-Mesir
Tahun Terbit: 2006 M
Cetakan: Ketiga
Jumlah Halaman: 257 halaman
Resensi: Sastra Yang Religi-Humanis, Membuang Sastra Yang Absurd-Dehumanistik.
"Bila sebutir atom dipindah dari letaknya yang wajar,
alam semesta akan runtuh dari atap sampai ke dasar"
-Rumi-
Hidup di abad ke-21 ini, denyut nadi manusia tidak bisa dilepaskan dari adanya gerakan kesusteraan dan gerakan berkesenian. Seakan gerakan berestetika itu telah menjadi semacam ideologi yang menuntut untuk memecah dalam sebuah tatanan dunia tersendiri. Dan betul, tanpa sadar dan melintas geografis, dunia sastra telah hadir mengisi hari-hari manusia. "Masnawi"-nya Rumi dan "Gulistan"-nya Hafidz, yang menjadi ciri khas timur, kini bisa dinikmati oleh seorang penumpang sebuah kereta Metro bawah tanah di London, Berlin, atau New York. Bahkan penafsir terhebat Rumi sendiri adalah Annemarie Schimmel, seorang Jerman yang notebene bukan orang timur. Naskah teatrikal Romeo-Juliet-nya Shakshepeare pun telah dipentaskan oleh hampir seluruh panggung teater di muka buni ini. Kita di Indonesia pun dengan mudah membaca Umberto Eco, Albert Camus(The Plague), Goethe, Paulo Coelhoe dengan "Sang Alkemis", Nietsche, Gabriel Garcia Marques, Milan Kundera, Anton Chekov, Doystosky, Charles Dickens(Tale of Two Cities), Thaha Husein, Najib Mahmud(Nobel Sastra 1989), Taufik Hakim(Muhammad), Abdurrahman Syarqawi, Najib Kaelani dengan "Perawan Jakarta", Nawal Sadawi dengan "Woman at Point Zero", Iqbal , Agatha Christie, Ernest Hermingway hingga karya "menggegerkan teologi kristiani" terbaru, "The Da Vinci Code" milik Dan Brown.
Sementara mewakili dalam negeri semacam Pramoedya Ananta Toer(Tetralogi Bumi Manusia, yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa. Karya ini juga menjadi kandidat Nobel Sastra), Akhadiyat Kartadiharja(Atheis), AA Navis(Robohnya Surau Kami), HAMKA(Tenggelamnya Kapal Vanderwijk), Danarto(Abracadabra), A. Tohari(Ronggeng Dukuh Paruk), Kuntowijoyo(Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Mantra Penjinak Ular), Mbak Helvy(Ketika Mas Gagah Pergi), Ayu Lestari(Saman dan Larung), Dewi Lestari/Dee(Supernova), dan karya terbaru yang memang novel"pembangun jiwa" milik Habiburrahman Saerozi(Ayat-Ayat Cinta). Hingga anak-anak muda pun setelah populernya film Ada Apa Dengan Cinta(AADC) mulai memburu, mana sih "Aku-nya Chairil Anwar" milik Sumandjaya yang hingga penggal bait sajaknya dihafal oleh sang tokoh "Rangga" dan "Cinta" itu? Sastra adalah sebuah gelombang.
Karya sastra(novel,cerpen, puisi, naskah tetrikal) dewasa ini seolah menjadi semacam menu "kitab Suci" lain yang dibaca dan bahkan menjadi pedoman seseorang dalam sebuah diksi(Sosial-sejarah, psikologi) menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini. Orang lebih concern untuk duduk berjam-jam dalam keadaan apapun untuk membaca sebuah novel, dibanding membaca kitab suci mereka. Sebab tak bisa dipungkiri juga, karya-karya sastralah yang berperan dalam merekam perputaran dialektika kehidupan manusia. Seperti karya-karya Pramoedya yang muncul dan dikarangnya ketika ia menjadi tahanan kolonial di pulau Buru. Karya –karya di atas tentu saja muncul dari latar belakang yang beragam; berbagai sudut pandang; juga tak bisa dihindari, kepentingan ideologi.
Tapi, dari tawaran karya tersebut manakah yang bisa memblaur dan mengejawantah dengan kerangka teologi seorang muslim? Pertanyaan ini penting dilontarkan di tengah berlarinya dunia yang terus-menerus berbenturan di dalamnya berbagai macam ideologi. Dan mau tak mau, wilayah seni-sastra-filsafat juga tak bisa lepas dari cengkeraman ideologi ini. Kapitalisme-materialistik yang menggejala hingga sekarang juga menjadikan wilayah ini sebagai mata rantai ciri khususnya yang serba materi dan berujung kepada pemahaman absurditas-tanpa makna terhadap segala hal. Dalam dunia tanpa arti ini, kata Rugria, tidak ada sesuatupun yang punya makna. Tidak ada sesuatu yang baik atau buruk, suci atau profan, indah atau jelek. Tapi seniman itulah yang memberikan arti baik atau buruk-pada suatu obyek dalam alam atau suatu gagasan dalam dunia. Begitu juga dengan Samuel Beckett dalam bukunya Waiting for God, suatu karya besar yang telah mempopulerkan unsur absurd dalam teater modern dan menjadi rujukan penting. Teater dialihkan fungsi aslinya dari alat penyebaran gagasan religius-moral, sosial, ideologis, filosofis-ilmiah menjadi tontonan absurditas atau mengetengahkan ketiadaan. Sebab menurut pendiriannya, bahwa dalam dunia yang tanpa rasa tidak ada sesuatupun yang memiliki makna(Ali Shariati:1972:26-27). Sebuah konsep materialis-atheistik dalam memandang dunia ini. Dunia adalah kefanaan dan manusialah sang pemegang kebijakan.
Selanjutnya, coba komparasikan dengan dua bait syair Rumi di atas; yang kalau kita cerna lebih jauh mengandung nilai yang berkaitan erat dengan filosofi misi dan fungi manusia di muka bumi(vision de monde) menurut Islam. Sebuah syair yang mengandung visi kosmik ketuhanan; memandang alam semesta sebagai sebuah keteraturan dan manusia menjadi bagian di dalamnya. Manusia adalah makhluk bi-dimensial; roh Tuhan dan tanah bumi. Seseorang yang memahami alam semesta dengan kesadaran ilahi tidak akan mengotorinya dengan absurditas, keputusasaan, berbuat seenaknya pada kehidupan, dan bergerak tanpa tujuan. Disinilah letak kelebihan konsep karya sastra yang ditawar dan dikembangkan Islam. Menjadi pengiring laju hidup seorang muslim. Sebuah sastra yang mendidik dan menyelamatkan. Misalkan "Mantra Penjinak Ular-nya" Kuntowijoyo. Mengisahkan tentang seorang muslim jawa yang hidup di tengah-tengah masyarakat kejawen yang penuh mistik. Tapi, -Abu Kasan Sapari, tokoh utama dalam novel- mampu mengemban jati dirinya menjadi manusia religius dalam keadaan tersebut. Ia berdakwah di masyarakatnya dengan berprofesi sebagai seorang dalang muslim dan membuat sebuah akulturasi kebudayaan. Wayang jenis baru dengan mengangkat tema-tema islam. Jadi di sini, sastrawan juga termasuk kategori seorang intelektual yang bertanggungjawab terhadap masyarakatnya.
Maka, karya kecil antologi cerpen dari "Gank of Papyrus" ini mencoba untuk memulai dan menjadi bagian dari karya-karya sastra yang telah beredar. Dengan corak sastra yang sedikit penulis baca pada sebagian besar cerpennya, bertemakan religi-humanis. Juga perlu diketahui, sebagian besar dari para penulisnya adalah pemula; dan tak ada salahnya untuk mencoba. Karena mencoba adalah setengah keberhasilan. Maka, saya ucapkan salut kepada teman-teman yang telah menggoreskan penanya dalam antologi ini. Semoga karya kita ini menjadi bagian dari penghambaan kita kepada-Nya. Amien.
Selengkapnya...
Tangis pilu seorang lelaki setengah tua suatu senja disebuah gubuk dipinggiran danau ngebel daerah timur kabupaten Ponorogo. Sunyi senyap sore itu tak seorangpun tahu dalam sujud simpuhnya mengalirkan air mata yang memilukan.
Lelaki itu adalah Suroso. Yang akrab dipanggil kang Roso. Su artinya manusia dan Roso artinya kuat, Manusia yang kuat begitulah orang tuanya dulu memberi nama berharap suatu saat anaknya menjadi orang yang kuat menghadapi kerasnya terjangan badai hidup.
Dan sorepun beranjak berganti petang, Selimut keemasan senja berlahan digantikan jubah malam yang pekat. Kang Roso masih saja terdiam termenung ditempat Ia bersimpuh pasrah. Sepertinya sedang meratapi sesuatu. Pangdangannya terarah pada air danau yang tenang berhiaskan suara hewan malam dan kecipuk ikan dikaramba-karamba yang bisu.
..."Andaikan aku adalah engkau..." Katanya dalam hati seolah sedang berbicara pada danau ngbebel yang menemaninya malam ini.
Ia kini sangat kecewa bahwa Ia sadar Ia bukanlah air yang suci itu. Ia merasa dirinya tak lebih dari genangan limbah kotor, Keruh dan seperti selokan yang dipenuhi bermacam sampah plastik, Kotoran manusia dan hewan, Berbagai macam kuman dan penyakit serta onggokan sampah-sampah tak berguna. Pikirannya semrawut kacau tidak keruan.
Sesekali wajahnya menatap langit seolah ingin menumpahkan gejolak jiwanya, Ingin memprotes ketidak adilan hidup yang menimpa dirinya. Ingin rasanya Ia menggugat Tuhan.
..."Dimanakah keadilan? Protesnya pada Tuhan...".
Malam ini bulan sabit temaram memantulkan cahayanya diatas permukaan danau. Seberkas cahayanya menyapu muka kang roso yang sedari tadi masih merenung. Alam sekitar menyaksikan dan menjadi saksi atas segala keluh kesah yang mulai ditumbuhi bibit-bibit pembangkangan yang diklaimnya sebagai pembenaran atas dirinya demi untuk menuntut satu keadilan versinya. Segala isi hatinya berhamburan keluar memprotes segala skenario Tuhan sepuas-puasnya.
Tak lama kemudian, Setelah memanjakan mulut baunya, Ia berlari ditengah hutan rimbun yang ditumbuhi bermacam-macam pohon tua. jubah malam pun sempurna tak mengizinkan secercah cahaya menelusup diantara batang-batangnya yang rimbun.
Namun Ia masih terus saja berlari. Laju langkah terus maju tanpa menubruk sesuatu apapun. Terdengar semakin cepat seolah ada dedemit hutan yang mengejarnya. Instingnya tajam.
Langkah cepat kang Roso berangsur tenggelam larut dalam kesunyian hutan. Alampun membisu dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan keras yang memekakkan telinga.
..."huuu...waaa..." Dengan begitulah mungkin beban beratnya benar-benar musnah atau setidaknya berkurang.
"Kang datang-datang kok gak salam. Dari mana saja kang?"
Dengan terburu-buru seorang wanita muda meninggalkan sapu ijuknya dan bergegas menghampiri laki-laki itu. Si lelaki hanya terdiam membisu tanpa sepatah katapun dan bergegas masuk kamar merebahkan tubuhnya yang kusut diatas diapn bambu tua yang reot.
"Kang... kang...?"
"Jangan ganggu aku dulu Sri, Aku ngantuk sekali biarkan aku istirahat sejenak."
Percakapan pun berhenti wanita yang punya nama Sri seolah mengerti maksud suaminya. Dengan sedikit berat hati, Sri lantas berlalu menuju ruang depan ruamhnya untuk melanjutkan bersih-bersih. Melajutkan pekerjaannya kembali dengan masih diliputi dengan tanda tanya, Ada apakah dengan suaminya.
Lelaki yang diakmar itu adalah kang Roso. Seorang lelaki yang telah mengarungi bahtera ruamh tangga dengan Sri. Kini mata kang roso terpejam, Nmaun pikirannya tak dapat Ia istirahatkan barang sejenak. Padahal sejak semalam mata dan pikirannya terjaga. Ia tersiksa lantaran tak bisa tidur juga karena pikirannya buntu, Disamping himpitan ekonomi. Ia gelisah, Pesimis menghadapi hari-hari kedepan.
Bayang-bayang kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit semakin menghantuinya. Paranoid, Takut kalau kemiskinan tak kan bertepi.
Sudah sewajarnya kang Roso pantas dikasihani. Pasalnya dari segi ekonomi Ia sangat kekurangan bahkan mungkin sengsara. Ia hanya seorang buruh keramba yang berpenghasilan tak seberapa. Cobaan demi cobaan datang silih berganti tanpa ampun. Belum selesai satu cobaan datang cobaan lain dengan status dan tingkat yang lebih mengenaskan. Ini sudah barang tentu atas penilaian mahkluk saja. Sementara Tuhan lebih tahu kadar segala sesuatau yang diciptakanNya. Sayang kang Roso adalah tipe lelaki rapuh, Sehingga hakikat hidup telah Ia lupakan dan tidak mengambil hikamah yang terkandung.
Kemiskinan, Kehinaan, Lilitan utang juga semua ujian keduniaan lainnya berubah seketika. Fantastis, Spontan dan instan. Itulah harapan terbesarnya barang kali bisa membayar semau derita yang selama ini menimpanya.
Dalam kesunyian pagi man terus mencari akal untuk merubah garis takdirnya.
Sementara itu semilir angin masuk menelusup lewat jendela kamr dimana kang Roso merebahkan tubuhnya yang galau. Sang angin terus berhembus sepoi mengajak daun daun jendela bermain. Membuka dan menutupnya pelan, Konsisten dan romantis.
Sewaktu jendela tertutup serta merta anginpun hengkang, Kini suasana sunyi senyap seperti di danau ngebel sore itu.
"Jalan pintas? Ya... tapi apa?" Ternyata keremangan tersebut telah dimanfaatkan setan untuk membuat suatu makar."yah dari pada miskin terus".
Jalur pikirannya meluncur negatif. Seperti roda mobil yang lepas dan menggelinding terjun diantara kotoran dan bermuara pada jurang terjal kesesatan. Terlepas tiasa kendali. Pikiran kang Roso benar-benar lepas kendali iman.
Maka terjadialh dialog seru seperti keramaian pasar, Namun hanya hati kang Roso sendiri yang mendengarnya, Ya hanya kang Roso seorang.
"Pesugihan saja?"
"boleh tuh!" tapi aku tidak mau keluargaku jadi tumbal.
"Ngerampok saja gimana?"
"Siapa yang harus kurampok, Aku kurang minat dengan hal begituan terlalu beresiko kalu ketangkap polisi. Lagian bandanku terlalu kurus dan lemah untuk melakukan aksi itu."
"Oh jadi apa yang mesti aku lakukan?"
Beberapa alternatif untuk menjdi kaya mendadak berloncatan dari pikirannya, Tapi begitualh nyalinya menciut kemudian.
Begitulah. Ia memeras otaknya untuk menemukanjalan menjadi kaya mendadak dan segera lepas dari himpitan kesengsaraan yang mengurungnya. Hingga Ia bebas membeli semua yang di inginkan dan memarkan pada orang-orang kaya terutama pak lurah dan juragan-juragan keramba yang selama ini menindasnya tiada ampun. Terus sehingga dan sehingga. Nafsu telah mnguasainya hingga impiannya terlalu muluk. Impiannya hanya digantungkan saja tanpa ada usaha untuk mengupayakannya. Ia memang relatif lama menganggur setelah setelah berhenti jadi buruh tambak tiga bulan yang lalu Ia mencoba mencari pekerjaan dikota, Alih-alih semakin berhasil ternyata ia malah semakin terpuruk setelah ditangkap polisi karena dianggap gelandangan dan dipulangakn kembali kedesanya.
Saat ini ia tengah putus asa, Gawatnya lagi hatinya diambang kekafiran.
Ya, Seajk menganggur tabiatnya berubah drastis. Ia lebih banyak murung, Bawannya uring-uringan, Kusut dan minder bila bertemu orang lain. Barangkali itulah Kang Roso yang sebenernya. Sebab jika orang dalam posisi terpepet maka tabiat aslinya akan muncul.
Sebenarnya Kang Roso pernah mendapt bantuan pinjaman dari pemerintah modal untuk mengelola karamba ikan di danau ngebel seperti warga sekitar temapt tinggalnya. Namun uang itu tak jelas rimbanya, Ia yang tak bisa mengelola uang dan menghasilkannya membuatnya terpuruk dan menyesali jalan hidupnya. Yaitu kenapa masa mudanya dulu acuh terhadap ilmu ketrampilan. Kang Roso lupa bahwa belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.
Mulai saat itulah hidup Kang Roso dan keluarganya tergantung pada mertuanya yang tak jauh dari rumahnya. 2 kilo meter disebelah bukit yang membatasi kecamatn ngebel dan kecamatan sooko. Jarak itu terbialng dekat bagi orang desa yang biasa jalan jauh.
Mertuanya setiap hari berdagang sayur dipasar kecamatan. Dan rumahnya tepat dibelakangnya. Selain strategis untuk peluang usaha disore hari biasanya para pedagang emnurunkan harganya hingga tuju puluh persen, Begitulah hingga kini bisa tetap eksis menghidupi Kang Roso dan keluarganya.
Sebagai lelaki tumpuan keluarga harga diri kang roso hilang dan sifatnya berubah sensitif.
"Kang bangun, Sudah adzan lo!" Lembut suara Sri membangunkan suaminya.
"Ya, Aku juga dengar"
"Bangunlah, Kang, Waktunya shoalt dhuhur lo"
"Ngapain sholat segala, Biarpun sholat tiap hari gak akan bikin aku kaya"
mendengar jawaban suaminya Sri terkejut bukan main.
"Istighfar, Kang, Nyebut?"
"Alah... pokoknya kau sudah gak mau shalat lagi, titik."
Ketegangan mewarnai percakapan itu. Namun mendadak berhenti ketika terdengar ketukan pintu dari luar. Sri berlari menuju pintu melihat siapa yang bertamu, Roman mukanya masih menyisakan kegalauan, Matanya sembab menahan tangis.
"Eh, Yu karti ada apa ya?"
"Begini, Tadi aku dipasar ketemu si mbokmu, Kamu san suamimu disuruh kesan katanay ada masalah penting, Intinya kamu disuruh kesana siang ini juga.
"Wah, Ada apa ya Yu? Kok kayaknya penting sekali"
"La mboh aku ndak tau kalau itu, Yo sudah aku pamit dulu lagi buru-buru aku mau pulang dulu"
Sri begegas menemui suaminya dan melaporkan hal itu. Kendati hatinya masih sakit dengan pernyatan nyeleneh suaminya tapi Ia masih bisa mengontrol emosinya. Ia akan tetap mendesak suaminya untuk menjelaskan kata-katanya barusan. Ia berharap suaminya lagi tidak sadar ketika berkata-kata demikian, Dan akan berubah ketiak perasaannya sudah normal. Namun jika meang suaminya sudah terlanjur begiut adanya Sri berharap bisa meluruskkan iamn suaminya yang sudah bengkok, Suatu hjati nanti tidak sekarang karena Ia tahu suaminya masih marah. didekatinya suaminya yang masih tiduran diatas dipan, Lembut suaranya menjoba membujuk Kang Roso untuk pergi bersam kerumah si mboknya.
"Kamu saja yang datang kesana, Aku malu, Bilang saja sama si mbok kalau aku lagi sakit."
"Tapi kang?"
"Jangan banyak tanya?". Bentak Kang Roso sambil melotot. kalau sudah marah Sri harus menuruti kata-katanya kalau tidak akan menjdai seperti banteng ngamuk, Akibatnya fatal.
Begitulah Kang Roso akhir-akhir main bentak, Main perintah seenaknya saja. Tambah hari tambah semakin gak karuan.
"Ya sudah aku keruamh si mbok dulu nanti kalu thole sudah pulang sekolah tolong antar dia kesana, Ya Kang?" Kata Sri sambil melangkah menjauh tidak betah dengan perilaku suaminya.
"Wo jan tenan, Kurang Asem."Naik pitamlah Kang roso.Terlihat istrinya keluar rumah dengan sedikit berlari. lantas Kang Roso terdiam mendengar suaranya kata-katanya sendiri. Tak lam kemudai Ia terkekeh berbinar bola matanya menemukan jawaban sebagai solusi ampuh problem hidupnya.
"Wah akhirnya ketemu juga, Aku pura-pura stres saja biar lepas dari semau problem ekonomi dan hutang-hutangku". Katanya sambil terus cekikikan layaknya orang gila beneran.
Dengan senangnya Kang Roso melepas baju kusutnya, Diaduk-aduknya lemari pakaian tuanya. Rupanya dai masih sibuk mencari piranti yang bisa Ia gunakan untuk aksi pura-pura stresnya. Tak lama kemudian ketemulah asesoris yang dicarinya, Celana kolor totol-totol warna warni milik anak lelakinya yang baru beruamur dua belas tahun.
Dengan senyum gembira Kang Roso mematut dirinya didepan cermin, Celana butut, Baju usang yang biasa dipakainya ketambak dan topi aneh yaitu color warna-warni punya nak lelakinya.
"Alangkah jeniusnya aku", guamnnya sabil mengacak-acak rambutnya.
Kang Roso telah membulatkan tekadnya untuk pura-pura stres. Dan hari ini adalah hari perdananya memulai aksi yang dianggapnya jenius. Ia akan keliling kampung, Menari, Mennyanyi bertingkah polah sesuka hatinya. Semakin banyak yang tau semakin bagus. Pikirnya.
"Jika nanti orang-orang tau, maka aku akan diaksihani, Disantuni dan semua hutang-htuangku akan dianggap lunas. Aku tidak perlu bekerja lagi. Lantas kang roso keluar rumah menjalankan aksinya.
Dirumah mbok Asih yaitu mboknya Sri, Terliaht dua orang sedang berbicara serius dengan muak yang sumringah.
"Seratus juta untuk saya mbok? Banyak sekali mbok?" Seru Sri setengah tak percaya.
"Lha wong sawahnya juga laku tinggi sawah kitakan dipinggir jalan raya, Jadi yo segitu bagianmu, Digunakan baik-baik ya? Bagian adikmu masih mbok simpan, Nanti setelah dia pulang dari jakarta lebaran nanti mbok kasih."
Panjang lebar mbok Asih berpesan pada anaknya untuk menggunakan harta warisannya sebaik-baiknya. Dan berdoa semoga harta warisan yang dia beriakn diberi barokah oleh Allah.
Dengan diliputi kegembiraan dan rasa syukur Sri menerim harta warisan itu, Dengan dibungkus kertas koran bekas Ia tampak tergesa-gesa. Simboknya pun tak henti-hnetinya menasehatinya agar hati-hati membawa uang banyak. Akhirnya uang dalam koran diamsukkan keresek hitam oleh Sri.
Bagi Sri tiada hari yang lebih bahagia melebihi hari ini, Hatinya terus memuji dan bersyukur atas kemurahan gusti Allah. Ia kini benar-benar tahu bahwa setealh kesulitan akan datang kemudahan. dan kemudahan setelah kesulitan akan serasa sangant membahagiakan. Ya setaip orang pada hakekatnya kan menemui suratan takdirnya sendiri, seperti roda kehiduapn kan terus berputar, Adakalnya dibawah dalam kesusahan dan ada kalanya juga diatas dalam masa kejayaan. begitualh Sri sekarang sedang diatas menemui kejayaannya.
Usai berbasa-basi akhirnya Sri undur diri. Membawa kegembiraan dihati. Ia berjalan setengah berlari melewati jalan berkerikil yang kurang bersahabat. Kerikil-kerikil tajam acap kali menusuk kaki telanjang Sri, Angin berhembus kencang, Debu-debu berterbangan, Langit semakin gelap pertanda hari mau turun hujan. Ia semakin bergegas. Tak peduli dengan semua itu Ia tetap berlari dengan senyum yang terkulum, Ia berharap lekas sampai rumah secepatnya.
Ditengah perjalanan alangkah terkejutnya Sri melihat sosok lelaki yang sangat dikenalnya, Meskipun tersamar oleh debu namun suara celotehan, Nyanyian serta postur tubuh itu hanya dimiliki oleh suaminya. Lelaki tersebut sedang menari-nari, Berjoged-joged konyol di ikuti arak-arakan anak-anak kecil yang menyorakinya.
"Orang gila... orang gila... Kang Roso gila....Kang Roso gila" riuh suara anak-anak kecil menyoraki Kang Roso.
Sri berdiri mematung dan rak-arakan itu semakin mendekat. Kang Roso yang dari tadi sibuk berjoged tidak sadar kalu istrinya berdiri persis didepannya.
Hilanglah semua kegembiraan Sri, Air matanya mengalir deras, Mendahului huajn yang telah dikabarkan oleh mendung. Lalu pandangan mata mereka beradu, Jogetan Kang Roso dan nyanyian anak-anak itu berhenti. Sejenak Kang Roso terdiam sedangakn anak-anak yang mengikutinya berlari berhamburan. Hanya ada Kang Roso dan Sri yang kini berhadap-hadapan. Kang Roso mencoba menutupi kegugupannya dengan pura-pura tidak mengenal Sri. Ia tetap pura-pura gila.
Mulut Sri menganga. Seakan kakinya tak lagi berpijak pada bumi. Pandangannya mulai gelap, Hatinya kosong namun bergejolak, Tangannya lemas bungkusan uang dalam tas kresek hitampun jatuh ketanah. Terbentur batuan jalan yang runcing, Mulai sobek dan terbuak oleh hembusan angin. untung angin segera berhenti, uang itu hanya tercecer dikaki Kang Roso dan Sri.
Menyaksikan itu mata Kang Roso melotot dan melongo...
Cairo, 03 Okotber 2009
Oleh; Meta Hirata
Hari berlarian dalam rintik hujan yang sore ini mengguyur kota kecil dimana ia tinggal, Basah kuyup tak dihiraukannya. Meliuk-liuk diantara keramaian mahasiswa yang sore ini baru pulang kuliah. Hari semakin petang dan sebentar lagi bedug adzan maghrib akan terkumandang dari masjid-masjid yang bertebaran diseluruh sudut kota.
Kota yang damai penuh wahana iman yang membentuknya menjadi seorang mukmin sejati. Di kanan-kiri jalan yang dilaluinya penuh sesak dengan kendaraan yang saling berpacu untuk mengejar waktu berbuka. Di teras-teras masjid para pemuda menyiapkan buka puasa gratis yang sudah menjadi tradisi dikota itu, tradisi yang sudah turun temurun dari leluhur para wali yang selalu mereka kagumi.
Beberapa menit sebelum adzan berkumandang Hari telah sampai di masjid dimana dia selama ini berteduh dan menumbuhkan benih-benih imannya. Sore ini seperti hari-hari sebelumnya dia akan mengumandangkan adzan sekaligus sebagai relawan yang menyiapkan berbuka puasa. Setelah mandi dan berganti baju seadanya Hari bergegas menyiapkan minum dan makanan yang diantar warga secara suka rela. Walaupun terliahat lelah dia tetap bersemangat melakukan semua mungkin karena dia tau di masjid inilah pertolongan Allah menghampirinya. Beberapa tahun yang lalu.
"Allahu akbar Allahu akbar"...adzan maghrib pun berkuamandang saatnya berbuka puasa.
Seorang ibu tua duduk dipojok ruangan yang hanya diterangi temaram lampu duduk yang hampir sama tua dengan usianya. Seolah redupnya cahaya diruangan itu mengungkapkan hati pemiliknya yang suram tak bercahaya.
Dipandanginya foto seorang pemuda disamping jendela tepat di depan dia duduk di kursi goyang yang sudah tua. Pemuda itu adalah anak semata wayangnya. Kini dia sangat kesepian diusianya yang senja dia hanya berteman sepi setelah suami yang menemaninya selama ini meninggal mendadak beberapa tahun yang lalu.
Dari sinilah kesepian hidup mulai membalut seluruh tubuhnya yang renta, rapuh termakan usia dan jiwanya yang selalu kosong.
Lirih terdengar suaranya berkata pada hujan yang turun sore ini. Sambil diamatinya patung salib yang jatuh kelantai menyisakan puing-puing yang berserakan. Akidah yang dianutnya selama ini mulai hancur barantakan menyisakan puing-puing layaknya salib itu. Semua hanya dibiarkannya begitu saja.
"Nak kembalilah, Ibu sudah sadar tentang apa yang ibu anggap dulu kamu lakukan adalah sesat, kini Ibu hanya ingin meminta maafmu untuk yang terakhir kalinya"
"Pulanglah anakku"
"Har, Sini bapak mau bicara sama kamu". Seorang bapak separo baya memanggilnya dari teras masjid yang sudah sepi.
"Iya pak" Jawabnya sambil berjalan membawa dua gelas teh hangat sisa buka puasa tadi.
"Har gini lo sekarang sepertinya memang sudah waktunya, kamu sudah lulus kuliah dan sudah bekerja, pastinya 5 tahun merupakan waktu yang lama untuk memulai kembali bagian hidup kamu yang sudah hilang."
"Iya pak haji saya tahu" Jawabnya singkat denagn penuh rasa hormat, tak patut rasanya dia membantah seorang guru sekaligus penolong yang menuntunnya menuju cahaya hidayah Allah.
"Ya sudah bapak pulang dulu, inget pesen bapak ya". Kata bapak itu sambil berlalu pulang kerumahnya disamping masjid.
Hari masih saja merenung diteras masjid hingga larut malam itu, Ditemani rintik hujan yang dari tadi tak kunjung reda hatinya mulai gundah.
"Sudah saatnyakah aku kembali?"
Hatinya masih tampak ragu menimbang semua permasalahan yang setiap menjelang idul fitri selalu menghimpitnya. Dia hanya ingin minta maaf.
Angannya kembali menelusuri jejak masa lalu yang pernah menjadi cerita dalam hidupnya. Beberapa tahun yang lalu sewaktu baru saja menamatkan SMA dia putuskan untuk mengejar panggilan batin yang terus mengusiknya. Perbadaan keyakinan dan keputusan untuk mencari hidayah dalam Islam membuatnya diusir oleh bapaknya, Bukan karena bapaknya seorang pastor namun bapaknya tak kuat menanggung malu karena setelah mendapat beasiswa selama 6 tahun sejak kelas satu smp dari gereja katolik dimana mereka beribadah anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan oleh sang pastur untuk menjadai penggantinya malah berbelok mencari jalan baru dalam hidupnya.
Malam itu hujan turun dengan derasnya, Petir dan halilintar mengelegar menjilat-jilat diluar sana. Suasana semakin mencekam. Tangis sesenggukan seorang ibu yang bagaikan siraman hujan menetes tiada henti dan harus beradu dengan gelegar kemarahn sang ayah yang mirip petir diluar sana, Menyeruak diantara kesunyian malam.
"keluar kamu dari rumah ini, Bapak sudah tidak menganggap kamu anak lagi, keluar!!!"
Saat itu pula dia langkahkan kaki untuk pergi bersama deraian tangis ibu dibawah guyuran hujan yang tiada henti, Pikirannya bergejolak hebat menerima keputusan seorang ayah dengan kemarahan menggelegar bagaikan peitr yang terus saja menyambarkan lidah-lidah cahaya yang meremukkan seluruh kesadarannya. Dia hanya terus berlari hingga panggilan Tuhan memanggil jiwanya singgah menemui hidayah yang dicarinya disebuah masjid dipinggir kota.
Dia sadar dengan sepenuh hati bahwa lebih memilih pergi dari pada bertahan menemani ibunya yang diam-diam ternyata mulai tertatrik dengan apa yang semakin dipercayainya, Dengan berat hati dia tak lagi melihat tetes air mata sang Ibu yang beranak sungai menangisi kepergian buah hati yang paling diharpakannya bisa membawa raga tuanya menuju hidayah yang sesungguhnya.
"Ashadu alla Ilaha Ilallah, Wa ashadu anna Muhammadar Rasulullah"
Dengan dibantu Ustad Ghofur Ibu Elliana mengucapkan kalimat sahadat, setelah bertahun-tahun melalui proses yang sangat melelahkan kini dipenghujung usia senjanya siIbu akhirnya menemukan kembali hidayah yang sesungguhnya. Prosesi yang dipimpin oleh seorang Ustad muda itu berlangsung hikamt dan sederhana disebuah musholla yang baru dibangunnya didaerah terpencil yang masyarakatnya mayoritas kristen. Namun semenjak juragan juwono yang menjadi penopang dana gereja meninggal setelah anakl alki-lakinya pergi dari ruamh dan menjdi muslim otomatis gereja semakin sepi dan tak punya andil lagi dalam desa itu. gereja sudah tak mampu lagi mensubsidi akidah kristen yang mereka tuakr dengan bermacam-macam sembako dan uang. Masyarakat sudah bosan mendengar doktrik-doktrin palsu mereka.
"Ustad, Boleh saya minta bantuannya!" Ibu itu melontarkan sebuah permintaan yang menurut firasatnya adalah mungkin yang terakhir untuknya.
"Iya ibu silahkan saya akan bantu dengan semampu saya" Jawab ustad ghofur dengan raut muka penuh senyum.
"Saya minta tolong sampaikan surat permohonan maaf saya kepada anak laki-laki saya jika suatu saat nanti dia kembali ke desa ini" Nadanya sedikit lemah berharap anaknya mau memaafkan khilaf yang selama ini menjadi beban hidupnya.sambil menyerahkan surat itu dia meneteskan air mata.
"Oh ya Bu, Saya akan tunaikan amanat ibu. Maaf anak ibu namanya siapa dan kalau boleh saya lihat mungkin ibu masih ada fotonya!"
Mendengar jawaban ustad itu wajah si ibu terlihat tersenyum walaupun airmatanya masih menganak sungai menuruni pipinya yang keriput termakan usia senja.
"Hari samudra, Nama anak saya ustad dan ini fotonya sekitar 5 tahun yang lalu sebelum dia diusir bapaknya karena lebih memilih masuk islam. Saya merasa bersalah karena waktu itu saya takut akan ancaman suamai saya jika tetap mengakuinya sebagai anak maka hari dan saya akan dibunuhnya. Akhirnya dengan berat hati saya hanya mampu menangis saat dia pergi dibawah hujan deras bercampur petir yang menggelegar sepanjang malam. Namun tak lama setelah hari pergi suami saya mulai menyesal dan membawa penyesalannya hingga ajal menjemput".
Ustad ghofur termenung sebentar, Sepertinya dia sangat kenal wajah pemuda itu.
"Subhanallah, anak ibu itu sepertinya teman satu kuliah saya. Iya benar namanya adalah Hari Samudra yang biasa saya panggil mas hari kalau gak salah tinggal disebuah masjid dipinggir kota sebagai relawan sekaligus ustad ngaji di masjid itu, Masya Allah benar-benar anugrah Allah Bu."
Dengan penuh rasa syukur si Ustad meberikan secercah harapan untuk si Ibu. Namun Ibu tua itu masih saja terperanjat tak percaya betapa dekat dan betapa besar pertolongan Allah pada hambanya. Air matanya kembali menetes haru.
"Hari anakku, Ibu pergi dulu, sudah saatnya kamu pulang. Ibu hanya bisa ngasih ini buat kamu."
Suara dan wujud itu tiba-tiba menghilang dalam kabut putih yang pekat aku berlari mengejarnya tapi entah mengapa semakin jauh dan hilang dari pandanganku. Aku masih terdiam menggenggam surat yang Ibu tinggalkan, aku ingat benar itu adalah wajah Ibuku.
"Iii...bu..uuu" aku berteriak.
"Subhanallah"
Hari terabngun dari mimpinya dengan peluh yang membasahi keningnya. Termenung memikirkan tentang mimpi yang baru dia alami. Kerinduan untuk kembali kepangkuan sangBunda tak lagi tertahankan. Rencana untuk pulang esok pagi dia yakinkan untuk terealisasi setelah bebrapa tahun terakhir selalu gagal karena keraguan yang menyesakkan hatinya. Mungkin mimpi itu juga yang terus menghantuinya beberapa hari ini, Perasaanya pun mulai bergejolak.
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laiilaha illahu wallahu akbar...
gema takbir masih terdengar disana-sini, Suasana yang sungguh dirindukannya kini benar-benar nyata ada dikampungnya. Sepujuk surat maaf sekaligus surat terakhir dari Ibunya masih terpegang erat ditangan kanannya.
Dia kini hanya mampu duduk bersimpuh ditanah pekkuburan yang masih merah, Ibunya baru saja meninggal beberapa ahri yang lalu. Tetes air mata sedih dan bahagia bercampur menjadi satu, bahagia karena Ibunya telah menemukan hidayah Islam yang sesungguhnya, sekaligus sedih karena dirinya sudah tak bisa lagi bersimpuh meminta maaf.
Sepucuk surat maaf dari Ibu masih tergenggam ditangannya.
Oleh; Mukhlis Rahmanto
Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia
Meski terpisah samudera yang beberapa kilometer
aku tak henti badan untuk bertempur
awal matahari aku telah siap batin dhahir
saatnya mengisi diri agar lebih teratur
mengais mutiara-mutiara ilmu yang sedikit berdebur
mencari warisan keshalehan dibawah peninggalan leluhur
menyibak nafas kenabian yang hampir hilang tersungkur
kudapat, kubawa, kutempel pada satu sudutmu yang coba rapi terukur
meski bayangku kenyataan mengabur
Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia
Dada ini hampir sesak mikul masa depan
terang inginku padamu yang cerah berkemajuan
jiwa ini tak pernah bersepakat di meja perjanjian
jiwa ini tak sekali mengenalmu jauh sedalam lautan
aku hanya keringatmu basah embun
aku hanya darahmu kental merumpun
aku bau tanahmu subur tambun
Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia
Matahari ditimurmu, matahari disini
hari ini cuacamu, jadi hariku disini
sedu sedan sedihmu, sedu sedanku disini
gurau tawa harapmu, rasa plongku disini
maka jangan gundah, aku setia bersamamu disini
Rindu kau ibu pertiwi
Rinduku padamu indonesia
Selengkapnya...